“Ramadan, Ramadan, Ramadan di hati. Ramadan, Ramadan, kumohon usah pergi.”

Menjelang bulan Ramadan, biasanya H-1, petikan lagu karya Maher Zain di atas pasti tidak asing lagi bagi umat beragama di Indonesia. sebab lengking lagu Maher Zain akan memenuhi lini masa Facebook pun Twitter, lebih-lebih pada iklan YouTube

Dengan demikian, tidak hanya umat Islam, umat yang lain dari bangsa Indonesia pasti mendengarnya dan akan segera tahu bahwa bulan berkah bagi umat Islam sebentar lagi akan menjelang.

Pada malam sebelum puasa, lagu-lagu religius dari berbagai kalangan akan ramai dikumandangkan, ditambah lagi dengan ucapan-ucapan selamat menunaikan ibadah puasa di story WhatsApp.

Tak luput pula orang-orang non-muslim yang memiliki jiwa keberagaman dan toleransi juga akan mengucapkan “selamat” untuk saudara sebangsanya. Dengan demikian, keadaan makin ramai serta meramaikan. Aduhai, sungguh keadaan yang menenteramkan serta harmonis.

Namun, berbicara soal toleransi, khususnya di bulan Ramadan, tentu saja tidak hanya sekadar ucapan “selamat” dari saudara sebangsa yang berbeda agama, melainkan membumikan sikap hormat-menghormati untuk sesama saudara sebangsa dan setanah air. Mengapa demikian?

Jika kita renungi kembali, bulan Ramadan tidak hanya sekadar bulan berkah bagi umat muslim, melainkan bulan yang menganjurkan kita (umat muslim) untuk selalu berhati-hati, baik dalam ucapan maupun tindakan, baik dalam urusan beragama maupun dalam berbangsa. Lho, apa hubungannya puasa dengan berbangsa?

Sebelum kita menjawab pertanyaan di atas, coba kita kembali merenungi kebiasaan atau bisa dikatakan kejadian yang sering terjadi di bulan suci Ramadan.

Warung Makan Dilarang Buka Waktu Siang

Makan waktu siang memang dilarang bagi orang yang sedang berpuasa. Secara sederhana, hukum puasa yang berlaku memang demikian, tetapi lebih dari itu larangan berpuasa yang utama adalah menjaga nafsu. 

Larangan dan kewajiban di bulan suci Ramadan sangat berimbang. Pun pahala dan dosa juga sangat mudah didapatkan. Saking mudahnya, tidurnya orang yang berpuasa pun dianggap ibadah.

Sekalipun pada bulan ini masyarakat Indonesia mayoritas berpuasa – meskipun cuma awwaluhu wa akhiruhu – tidak ada sedikit pun anjuran untuk merusak atau mengintimidasi si Mbok yang sedang buka warung makan pada siang hari. 

Kejadian menutup paksa bahkan merusak warung makan di bulan puasa sering kali terjadi di sekeliling kita. Misalnya, pengrusakan warung makan khas Manado Andy Watung dan Bunaken pada bulan puasa 2018 lalu.

Tindakan oknum merusak warung makan yang buka pada siang hari di bulan puasa, tentu saja tidak hanya mengakibatkan kerugian secara individu, melainkan kerugian sosial yang bersifat kolektif. Kerugian individu yang dimaksud adalah, pertama, tentu saja orang yang merusak warung adalah orang yang berpuasa dan mungkin dengan merusak warung tersebut adalah jihad yang diganjar pahala besar. Eh, entar dulu, ente telah melakukan kesalahan besar.

Seandainya orang yang suka merusak warung makan dengan dalih jihad itu tahu betapa mulianya orang yang berpuasa dengan tidak mengumbar nafsu, mungkin puasanya akan lebih murni dan barangkali bisa dikatakan ‘ikhlas’. 

Kedua, kerusakan secara kolektif yang dimaksud adalah orang yang berjihad dengan cara merusak warung secara tidak langsung telah menunjukkan bahwa Islam adalah agama yang tidak ramah terhadap sesama. Bagaimana tidak, mengerjakan ibadah sedikit sudah jihad dan beseru: takbir!

Setidaknya kita selaku umat agama yang mayoritas, menunjukkan sikap beragama yang saling menghargai, khususnya pada orang-orang yang beda agama. Kita harus sadar bahwa di bulan suci ini tidak semua masyarakat Indonesia menahan makan pada siang hari, tetapi ada orang-orang yang masih butuh makan pada siang hari. 

Oleh karenanya, di bulan suci Ramadan ini, lebih baik menghancurkan nafsu buruk kita ketimbang menghancurkan warung milik si Mbok yang kalian anggap buruk dan melanggar aturan agama.

Lebih Baik Tidur daripada Nge-julid

Adalah hal yang sangat lumrah jika kita mengenal atau mengeklaim bahwa tidurnya orang berpuasa adalah ibadah. Meskipun terbilang hadis yang cukup lemah, alangkah lebih baiknya memang tidur ketimbang nge-julid di media sosial. 

Sebab, maraknya media sosial saat ini tidak hanya menyajikan informasi yang aktual, melainkan juga memudahkan orang untuk saling menghujat, memaki, membully, dan yang lebih tepat adalah jual lidah (julid); entah demi apa, Abang juga nggak ngarti.

Muda-mudi yang tengah berpuasa pasti akan mengalami kegabutan yang luar biasa, apalagi detak-detik jarum jam masih menunjukkan pukul 12.30, dan di jam-jam inilah biasanya para muda-mudi akan beraksi, memainkan jempolnya. Entah dalam rangka memotret diri, sekadar buat story, atau bahkan mengomentari hal-hal yang berbau agama dan politik.

Agama dan politik menjadi isu sentral dan paling ramai dibicarakan di media sosial. Jika kita sadari, kali ini kita dihadapkan dengan momentum keagamaan (bulan Ramadhan) dan momentum politik (pengumuman hasil Pilpres pada 22 Mei nanti). 

Sepanjang tahun 2018-2019, kehidupan berpolitik kita diwarnai dengan isu agama, etnis, suku, dan budaya; dari isu mengenai antek Asing dan Aseng hingga ijtimak ulama yang berjulid berjilid-jilid.

Tampaknya isu politik dan agama tersebut masih keras mengalir di media sosial sampai saat ini. Tidak menutup kemungkinan bahwa esok hari, ketika kita sedang berpuasa, jempol kita masih senang menghujat, menghakimi, dan memaki satu sama lain karena perbedaan pilihan demi mempertahankan egoisme kubu masing-masing: Cebong dan Kampret.

Dan yang tidak kalah penting dari isu politik adalah tidak menghujat orang yang sedang tidak berpuasa di media sosial. Sebab perlakuan yang sedemikian tidaklah sama sekali akan berbuah pahala, melainkan akan mengurangi ibadah kita dalam berpuasa. 

Merasa lebih baik dari orang lain, sekalipun beda agama, merupakan tindakan mengumbar nafsu ingin dipuja dan disanjung. Kau tahu, bukan, apa konsekuensi meninggikan diri sendiri dalam aturan beragama?

Dalam segala tindak tanduk dalam berpuasa mestinya kita semua harus berhati-hati, selaras dengan petikan lagu Maher Zain, ‘Ramadan di Hati’. Ramadan bukan sekadar bulan yang menganjurkan kita untuk menahan lapar, melainkan bulan yang menganjurkan kita untuk belajar; belajar menahan nafsu, belajar merendahkan hati, dan belajar menghormati. 

Penulis ingat kata-kata KH Abdurrahaman Wahid, Gusdur sapaan akrabnya, bahwa jika kita muslim terhormat, maka kita berpuasa dengan menghormati orang yang tidak berpuasa.

Oleh karenanya, Ramadan akan selamanya singgah di hati kita. Tidak perlu bahagia berlebihan untuk menyambutnya, juga tidak perlu menangis tersedu-sedu saat bulan Ramadan usai. Sebab, yang namanya tinggal di hati akan kekal sampai kita masuk ke liang lahat dan bangkit bersama di padang Mahsyar.

Selamat menunaikan Ibadah Puasa; puasa mata, telinga, mulut, hidung, tangan, kaki, dan nafsu.