“Warisi apinya jangan abunya.” – Bung Karno (Harlah PNI dan Marhaenisme ke-36)
Sebuah amanat kepada para front marhaenis yang dicetuskan tepat 4 Juli 1963 ini sesungguhnya menjadi tamparan pembuka bagi seseorang yang sudah mulai meninggalkan ajaran-ajaran Marhaenisme dan cenderung kontradiktif dengan api sejarahnya.
Sedikit membuka lembaran cerita rakyat (folklor) pada masa Bung Karno mencetuskan cikal bakal Marhaen yang didapat dari Mang Aen seorang petani di daerah pedalaman Jawa Barat dengan alat produksinya cangkul yang mana masih berada di bawah kendali tuan tanah (feodal).
Berbeda dengan Komunisme yang mengalami sebuah penindasan tidak dengan alat produksinya, berkiblat pada ajaran Marx, Haegel dan Engels mengharuskan kader GMNI memakai pisau analisis Marhaenisme dengan pola Matrealisme Dialektika Historis (MDH) yang mana berorientasi kembali pada perjuangan kelas ala Revolusi Bolshevik, sehingga ada sebuah persepsi yang mengakar kuat di benak saya bahwa Marhaenisme merupakan Marxisme ala Indonesia.
Sebuah kesesatan berpikir dengan melontarkan Komunis tidak bertuhan adalah propaganda lama yang mana menurut Tan Malaka seorang Minang yang daerahnya dikenal menerapkan syariat islam berpesan bahwa komunis tidak boleh mengabaikan realita ketika pada masanya ada 250juta Muslim di penjuru dunia. Bahkan dalam buku Materialisme, Dialektika dan Logika, Tan menolak pernyataan dan tuduhan Komunisme di konteks Indonesia anti-Tuhan.
Kita mampu melihat bahwa beliau mampu menemukan sintesa antara Komunisme-sosialisme dan Agama yang dianutnya. Sedikit mengilas balik zaman kegelapan (dark age) yang melanggengkan dogma melalui Gereja sangatlah melegitimasi aktivitas masyarakatnya dengan ajarannya.
Kita mengenal istilah “Agama adalah Candu” yang mana kegagalan dalam persoalan manusiawi selalu diserahkan kepada agama sebagai satu-satunya pemecah kebuntuan umat. Namun antitesis ketika zaman pencerahan (Renaisanas) membongkar kebiasaan lama dengan sedikitnya mengklasifikasikan peran agama dan negara sebagai entitas yang tetap bahu membahu.
Dahulu paska 1946 diterbitkannya uang republik dan mulai mengontrol harga-harga negara, dengan sendirinya siklus kehidupan sosial pun bermuara kesejahteraan walaupun menyisakan masalah yang pelik, stagnanasi impor yang berusaha dihalangi oleh pihak Belanda. Namun justru muncul resistensi dari gerakan buruh yang terpusat pada SOBSI dengan menegaskan bahwa negara harus berdikari dan berdiri di garis depan membela negaranya yang telah merdeka.
Pengingkaran perjanjian dalam rangka menasbihkan kedaulatan Indonesia rupanya menjadi sebuah sumpah serapah bangsa kita untuk benar-benar mengusir segala bentuk penindasan kolonial serta imperialis demi keselamatan rakyat. Sedikit mengutip tulisan Bung Karno pada DBR Jilid ke-II bahwa “Maukah kita berkebudajaan? Ingatlah kepada tuhan. Men must be governed by God or they will be governed by tyrants.”
Satu hal yang dapat dilihat bahwa Marhaenisme ada guna diamalkan untuk kemaslahatan bangsa kita, kita tidak memungkiri relasi kuasa yang terjadi di era kepemimpinan Bung Karno dengan DN Aidit menceritakan sebuah prosa Komunisme ala Indonesia, buah pemikiran yang dituangkan menjadi Nasakom (bukan nasib ip satu koma, Nasionalisme Agama dan Komunisme).
Romantisme ini terjadi paska Dekrit Presiden 1959 yang terus meyikapi dan bertindak selaras dengan kebijakan yang dibuat oleh era Orde Lama, hingga munculnya wacana kepemimpinan seumur hidup dengan diterapkannya Demokrasi Terpimpin, namun yang kita pahami adalah seseorang akan cenderung berpikir fundamentalis ketika sudah berumur, wajar sehingga generasi muda mampu mengguncang dunia sesuai apa yang diidamkan pemimpin besar Revolusioner ini.
Tap MPRS 1966 yang dikeluarkan untuk membasmi PKI setelah tragedi G30S menyisakan beberapa dilema yang tak kunjung usai terkait dengan kebenarannya, tampuk kepemimpinan berganti dengan legitimasi Super Semar karena sebuah tragedi terbunuhnya 7 jenderal yang diklaimkan negara pada masanya terhadap PKI, setelahnya terjadi genosida yang diasumsikan mencapai 3 juta manusia yang tidak mendapatkan keadilannya.
Terkait sejarah yang dibuat oleh pemenang, saya hanya berbicara menyoal kemanusiaan semata. Apa dengan kita belajar ideologi maka kita dianggap subversif? Kebebasan memilih nilai serta keberpihakan ilmu pengetahuan sejatinya dilegitimasi oleh August Comte.
Sebuah otokritik bagi bangsa yang masih terjembab pada ketakutan laten, terutama aparatur negara baik sipil atau militer serta kader sah ideologi pewaris Marhaenisme.
Alhasil ketakutan berasosiasi dengan PKI ataupun berasimilasi dengan ajaran Komunisme adalah sebuah dikotomi yang tidak dapat selalu dikaitkan, bahkan GMNI yang berdiri sejak 1954 ini merupakan golongan Soekarnois yang mana sebagai pewaris sah melekat segala pemikiran serta romantismenya dengan golongan kiri.
Trisakti Tavip 1964 pun menyiratkan sebuah arti pembebasan serta pencerdasan masyarakat dari belenggu era kapitalisme yang sesuangguhnya perlu untuk diruwat dengan diskursus sebagai anti tesa dan menyelenggarakan sosialisme Indonesia.
Salah satu bagian Panca Azimat yang masih dijaga, Pancasila. Benar adanya negara ini diciptakan atas dasar keberagaman serta primordialismenya, sehingga kebabasan itulah yang harus dijaga.
Jangan hanya disibukkan untuk mencari aman dan senantiasa menghindar dan mengklarifikasi bahwa anda bukan Komunis atau berafiliasi atau sekadar belajar, pelbagai cara kader-kader opurtunis ini menganggap bahwa ideologi bukan menjadi sebuah prinsip dan keteguhan, namun sebagai sematan formal sehingga hanya orang-orang seperti inilah yang menjadi penyakit dan kontra revolusioner serta cenderung reaksioner.
Lantas, masihkah kita berjuang secara dinamis di dalam front marhaenis?