Berbicara mengenai isu gender tentu akan membawa kita kepada perbedaan maupun persamaan antara laki-laki dan perempuan. Mulai dari perilaku, sikap, kebiasaan, hingga cara pandang dalam hidup seakan dibedakan antara laki-laki dan perempuan.
Memang secara fisik antara laki-laki dan perempuan memiliki beberapa perbedaan. Namun, di satu sisi banyak yang menyuarakan tentang kesetaraan dan bukan hanya untuk perempuan. Sebuah kesetaraan dibutuhkan juga oleh seorang laki-laki.
Kesetaraan yang dimaksud adalah bagaimana seorang laki-laki juga bisa memiliki sifat yang lembut dan terkesan feminism. Di dunia ini tidak ada yang tidak mungkin termasuk setiap sifat yang dimiliki oleh manusia.
Laki-laki dituntut untut memiliki sebuah jiwa yang berwibawa dan harus lebih mendominasi dari kaum perempuan. Berbagai aktivitas dikelompokkan untuk menjadi aktivitas perempuan dan laki-laki. Seperti terdapat sekat dan perbedaan agar laki-laki yang harus melakukan ini bukan perempuan begitu juga sebaliknya.
Aktivitas yang menjadi sebuah syarat agar seorang laki-laki menjadi lebih maskulin adalah salah satunya merokok. Entah dari mana stigma ini terbentuk, mengingat merokok tidak ada kaitannya untuk menjadi seseorang yang maskulin.
Secara umum maskulin diartikan sebagai sesuatu yang memiliki sifat kejantanan, baik berupa kepribadian, perilaku, pekerjaan, benda atau lainnya. Melihat dari pengertian tersebut mungkin terbersit dalam hati bahwa seorang maskulin adalah seseorang yang memiliki perilaku dan tubuh yang terkesan jantan.
Kecenderungan pria akan rokok hingga diartikan sebagai sebuah tanda maskulinitas memang memiliki makna. Tubuh pria yang kuat dianggap memiliki daya tahan yang cukup baik. Seperti contohnya rokok yang memiliki beberapa dampak buruk.
Namun kenyataannya tidak semua tubuh manusia tahan akan akibat yang ditimbulkan oleh rokok. Tidak memandang gender berbagai penyakit dapat menyerang siapa saja yang tubuhnya tidak memiliki daya tahan yang baik untuk menghalau dampak buruk dari rokok.
Pernah saya mendengar dalam sebuah tongkrongan ketika saya masih duduk di bangku SMP. Terdapat seorang siswa yang memberitahu kepada siswa lain yang baru belajar merokok bahwa ketika seorang laki-laki tidak merokok maka dia tidak akan memiliki teman.
Mungkin banyak yang tidak setuju akan pernyataan tersebut karena pada kenyataannya laki-laki yang tidak merokok masih dapat berteman dengan siapa saja. Namun bila kita pahami makna pernyataan di atas adalah tidak memiliki teman yang bisa dibilang keren atau tidak dapat masuk dalam sebuah kelompok tertentu.
Saya sendiri juga pernah mengalami toxic masculinity ketika saya bermain ke rumah salah satu paman saya. Ketika itu saya berkunjung bersama kakak saya. Di situ kakak saya membawa rokok yang diberikan kepada pekerja di rumah paman saya. Semua laki-laki yang berada disana termasuk paman saya mereka merokok.
Kemudian paman saya mendekati saya dan menawari rokok kepada saya. Saya hanya menganggukkan kepala dan berkata “iya”, namun tidak mengambil rokok tersebut. Disitu kakak saya hanya tersenyum begitu pula dengan saya.
Tak sampai di situ. Untuk kedua kalinya paman saya menawari rokok kepada saya, namun kali ini ada sesuatu yang membuat saya sedikit kesal. Dimana paman saya berkata “Kamu enggak merokok?, masak laki-laki enggak merokok”
Saya hanya terdiam dan tersenyum. Tak ada kata-kata yang keluar dari mulut saya. Saya juga bingung harus menjawab apa pertanyaan semacam itu. Tidak mungkin saya memberi edukasi kepada paman saya.
Dari peristiwa tersebut membuat saya berpikir bahwa seperti ini budaya di masyarakat kita. Entah karena pemikiran yang sempit atau karena memang persepsi bahwa kewajiban laki-laki untuk merokok.
Saya juga berpikir apakah saya harus memiliki riwayat penyakit agar ada sebuah alasan untuk saya tidak merokok. Kenyataannya banyak sekali orang yang berhenti merokok karena telah terkena sebuah penyakit dan mereka tidak ingin memperburuk keadaan.
Jika ditelusuri sebenarnya merokok bukan hanya dilakukan oleh pria saja namun ada beberapa perempuan yang merokok. Bahkan saya pernah melihat iklan rokok jaman dulu yang menggunakan model perempuan. Dan tidak ada yang salah dengan hal itu.
Kini perempuan merokok dianggap kurang baik atau bahkan bisa diberi gelar sebagai perempuan yang nakal. Hal ini mengakibatkan para perempuan enggan untuk mendekati rokok. Namun menurut saya ini kabar baik bagi kaum perempuan.
Mereka menjadi jauh dan terhindar dari rokok yang banyak menyebabkan masalah kesehatan. Kalau bisa dikatakan itu adalah sebuah privilege bagi kaum perempuan.
Kaum laki-laki justru berbeda. Karena sudah bukan merupakan barang yang biasa bagi perempuan. Rokok mengarah ke kaum laki-laki. Sebagai contoh iklan rokok yang tayang hampir di tengah malam.
Dalam sebuah iklan rokok hampir semuanya menggunakan model yang menggambarkan sosok pria sejati. Seperti ketampanan, tubuh yang proporsional, hingga seorang model wanita yang menjadi pasangan sang pria.
Ini juga dapat mendoktrin bahwa simbol pria sejati harus memiliki apa yang dalam iklan itu tayangkan walaupun dalam iklan tidak menampilkan sang pria sedang merokok. Namun anggapan bahwa merokok itu keren sudah terbentuk dalam iklan.
Merokok bukan syarat untuk menjadi laki-laki sejati. Rokok juga bukan diciptakan hanya untuk gender tertentu dan mengubahnya seperti sebuah kewajiban yang harus dilakukan.
Laki-laki maupun perempuan memiliki hak yang sama dalam hidup. Mereka dapat memutuskan apa yang mereka inginkan. Ketika dewasa mereka juga tahu apa yang baik bagi diri mereka dan apa yang buruk bagi diri mereka.
Tidak sepantasnya memaksa satu gender untuk melakukan sesuatu yang tidak mereka inginkan. Apalagi jika aktivitas tersebut tidak membawa dampak yang baik bagi diri mereka. Jika mereka ingin pasti sudah mereka lakukan, namun jika tidak mereka juga tidak akan melakukan.