Membicarakan Pendidikan adalah suatu kegiatan yang tak akan punah, karena topik, isu dan tema-tema yang berkaitan dengan dunia akademik itu tak akan pernah usai bahkan dari sejak era klasik, pertengahan, pencerahan, modern hingga sekarang (benar-benar saat ini).

Kiblat Pendidikan juga bukan hanya di dunia Barat (read; Eropa & Amerika), Timur Tengah, Afrika dan Australia, tapi juga di Asia baik itu Asia Timur jauh (Jepang, Korea dan China/Tiongkok) bahkan juga Indonesia di Asia Tenggara. Perspektif masing-masing memiliki ciri khas yang menjadi karakteristik unggul dalam ukuran dan standar-standar yang beragam.

Asia saat ini kembali memiliki potensi menjadi pusat peradaban dunia. Kemajuan ekonomi di negara-negara berkembang di Asia mendorong peningkatan kualitas pendidikan, ilmu pengetahuan dan teknologi, dan kehidupan masyarakat. 

Di masa lalu, Asia merupakan pusat peradaban dunia dan hampir seluruh agama besar dunia lahir dan berkembang di Asia. Agama menjadi salah satu faktor dalam pertumbuhan peradaban Asia yang melahirkan warisan dunia yang tak ternilai hingga saat ini.

Oswald Spengler, seorang sejarawan, menulis buku yang berjudul The Decline of the West yang pertama kali terbit pada 1918. Dalam buku dua jilid tersebut memaparkan asal usul peradaban barat dan ia mengungkapkan bahwa kemunduran peradaban Barat sudah dimulai sejak abad 20. 

Jika melihat kondisi saat ini, meski Amerika Serikat (AS) merupakan negara yang kuat dan banyak Negara Asia yang masih bergantung dengan AS dalam ekonomi, politik, dan militer, akan tetapi kebangkitan Cina dalam bidang ekonomi, ilmu pengetahuan, dan teknologi membuat AS mau tidak mau “terkejut”. Dan pada akhirnya AS harus menggantungkan diri kepada Cina dalam aspek ekonomi dan devisanya.

Melihat Cina yang bangkit melesat bahkan menyusul kemajuan Jepang, membuat kita bertanya-tanya, apakah Indonesia juga mampu bangkit? Tentunya Indonesia harus melihat apa saja yang perlu dipenuhi sebelum mengikuti jejak Cina. Hal pertama ialah stabilitas politik. 

Contohnya memperkuat demokrasi Indonesia dengan tiga hal, yaitu basis konstitusional-legal, kelembagaan (partai politik, legislatif, dan eksekutif), dan budaya politik. Selain aspek pemerintahan, prasyarat mutlak untuk kebangkitan peradaban ialah pendidikan. Penilaian pendidikan bukan hanya dari pemerataan tetapi kualitas pendidikan itu sendiri. 

Di Indonesia tentunya membangun kualitas itu mulai tingkat dasar, menengah, sampai Perguruan Tinggi (Kampus). Harapannya perguruan tinggi bukan hanya sebagai institusi pengajaran tetapi juga sekaligus sebagai institusi berbasis riset.

Prasyarat lainnya ialah pemberdayaan kembali masyarakat madani, sipil, dan kewargaan. Hanya dengan keadaban publik yang kuat, Indonesia akan maju, berharkat, dan berperadaban. Untuk mencapai peradaban Indonesia maka negeri ini haruslah meningkatkan ekonominya. 

Masyarakat Indonesia masih banyak yang miskin, sehingga untuk membicarakan peradaban masih sangat sulit. Padahal jika masyarakat Indonesia beradab, mereka akan menggunakan sumber daya alam dengan tanggung jawab. Sehingga negeri ini dikelola dengan baik dan terhindar dari bencana alam seperti banjir, kebakaran hutan, dan lain sebagainya.

Membangun sumber daya manusia (SDM) Indonesia yang baik dan berkualitas sebagai sumber utama pembangunan peradaban, Indonesia haruslah meningkatkan mutu pendidikannya. 

Akan tetapi dengan kondisi ekonomi saat ini, dilema pun muncul antara kualitas dan besarnya dana yang harus dikeluarkan. Dengan anggaran 20% dari APBN/APBD untuk pendidikan ternyata belum mampu untuk meningkatkan fasilitas dan kualitas pendidikan. Oleh karena itu, jalan keluarnya adalah kejelasan strategi dan kurikulum pendidikan.

Kurikulum menjadi salah satu masalah yang cukup serius di negeri ini. Para siswa dibebani dengan mata pelajaran yang banyak setiap semesternya, sehingga banyak siswa yang tidak cukup hanya dengan belajar di sekolah. 

Kebanyakan para siswa akan mengambil bimbingan belajar (bimbel) atau mendatangkan guru privat ke rumahnya. Terlalu banyak terbebani oleh mata pelajaran, berdampak negatif pada kreativitas siswa, karena mereka terlalu stress dan tidak menikmati sepenuhnya proses belajar di sekolah.

Pemerintah saat ini sudah melakukan usaha penyederhanaan kurikulum. Tetapi yang pemerintah lakukan dengan penghilangan mata pelajaran Bahasa Inggris dan penggabungan IPA dan IPS melalui Bahasa Indonesia, menimbulkan ketidak-jelasan kerangka dasar kurikulum yang baru. 

Pergantian KTSP menjadi Kurikulum 2013 menimbulkan kontroversi. Selain menghabiskan dana yang sangat besar, pergantian tersebut menimbulkan kebingungan dan disorientasi bagi guru, murid, serta orang tua murid.

Seharusnya penyederhanaan kurikulum haruslah jelas dan tidak membebani siswa dengan kurikulum yang berat. Dengan begitu, para siswa mendapatkan ruang untuk berimajinasi dan berkreativitas sesuai bakat mereka masing-masing. 

Pendidik harus mulai mencari metode dan pendekatan yang baru sesuai dengan perkembangan “internet” saat ini. Teori Tabularasa pun harusnya sudah berganti karena tidak sesuai dengan kondisi sekarang dan juga tidak sesuai dengan HAM serta perlindungan anak.

Untuk meningkatkan peradaban Indonesia melalui pendidikan, hal lain yang penting adalah riset. Riset sangat dibutuhkan dan perlu diberikan perhatian khusus, terutama untuk menyelesaikan permasalahan yang ada di negeri ini. Namun, sayangnya lagi-lagi selama ini anggaran untuk riset sangat kecil. Dalam kondisi anggaran yang sulit, seharusnya kita masih bisa melakukan sesuatu dengan dimasukkannya riset sebagai salah satu metode pengajaran.

Contohnya adalah adanya pembelajaran riset untuk tingkat sekolah menengah pertama dan atas. Sedangkan untuk tingkat perguruan tinggi, mesti ada penyesuaian kebijakan pendidikan, seperti struktur pendidikan yang lebih kondusif untuk riset, rekrutmen dan promosi dosen berbasis riset, dan perkuliahan yang berbasis riset.

Perguruan tinggi selama ini sebagai lembaga pendidikan tertinggi yang berkompeten untuk melakukan berbagai riset. Pemerintah seharusnya membebaskan perguruan tinggi dari penjajahan kementerian (berbeda dengan tingkat pendidikan SD, SMP, atau SMA). 

Perguruan tinggi juga harusnya mendapatkan kepercayaan penuh dalam menjalankan tugasnya sebagai lembaga pendidikan yang independen dan otonom. Praktik-praktik yang membatasi dan bahkan membelenggu perguruan tinggi harus segera dihapuskan agar terciptanya kemajuan bagi pendidikan Indonesia. Oleh sebab itu, berjuang untuk membebaskan pendidikan dari “kolonialisasi” sama dengan berjuang untuk kemajuan dan peradaban Indonesia.