Menggeluti profesi sebagai pelatih sepak bola sebelum menjadi pemikir filsafat eksistensialis, tentu saja Jean Paul Sartre bukan orang yang berkutat pada ‘satu tujuan hidup’. Begitu pula dengan Slavoj Žižek yang juga filsuf namun memiliki sisi lain sebab begitu lucu ketika melawak atau pun menjadi penasihat cinta. 

Barangkali hanya Soe Hok Gie yang dikabulkan permohonannya untuk mati muda seperti yang berulang kali ia kemukakan mengutip filsuf Yunani ‘nasib terbaik ialah tidak dilahirkan, yang kedua dilahirkan tapi muda, dan tersial ialah umur tua ‘. Bahwa kebahagiaan baginya diartikan bukan sekadar mengumpulkan pundi-pundi demi masa tua penuh hura-hura bergelimang harta.

Memberikan kesan tersendiri kemudian menghadirkan ketiga tokoh tersebut meski memiliki perjalanan hidup berbeda bahkan sangat berjauhan, mulai dari; negara, tahun gemilang, terlebih Žižek dan Sartre merupakan filsuf, sedangkan Gie ialah aktivis di zaman peralihan orde lama menuju orde baru yang kacau itu. Namun menjadi menarik kemudian ketika dapat berbincang dengan ketiganya melalui sebuah urai tulisan tentang ‘kebahagiaan’. 

Banyak yang menafsirkan kebahagian sebagai tujuan hidup. Bahkan kebahagiaan merupakan kewajiban yang tak boleh ditinggalkan. Kata ‘jangan lupa bahagia’ pun telah menjadi mainstream untuk menggenapi runyamnya kehidupan sehari-hari yang barangkali jauh dari bahagia. Namun mengapa menjadi demikian, seolah-olah kebahagiaan sukar didapatkan, tetapi harus diwujudkan.

Memulai perenungan dengan menghadirkan sosok yang catatan hariannya terangkum dalam buku ‘Catatan Seorang Demonstran’ sekaligus penulis buku ‘Zaman Peralihan’, Soe Hok Gie barangkali melalui berbagai interpretasi pembacanya digambarkan sebagai sosok yang garang, sangat kritis sebagai aktivis khususnya saat menjadi mahasiswa. Gie juga diceritakan sebagai sosok yang selalu mempertanyakan nilai-nilai yang sudah mapan. Hingga temannya pernah mendikte bahwa dengan perilakunya yang demikian membuatnya harus menerima ‘nasib takkan pernah bahagia’.

Namun siapa yang menyangka bahwa Gie ternyata tidaklah sekaku itu dengan segala sikap kritisnya, melainkan Gie justru adalah sosok yang periang. Meski seorang aktivis identik dengan logika perlawanan, namun sikap itulah yang membuatnya bahagia. Ibarat pesannya bagaimana dijelaskan tentang cara kita mencintai. Menurutnya misal ‘untuk mencintai Indonesia dapat diwujudkan dengan menyambangi alamnya yang indah’. Gie mewujudkan kecintaan itu dengan kegemarannya mendaki mulai dari Gunung Gede Pangrango hingga yang tertinggi di Jawa yakni Semeru. Berkat salah satu pendakiannya ia menulis puisi ‘Mandalawangi-Pangango’, beberapa baris itu dapat dikutip:

             “Aku cinta padamu Pangrango

             Karena aku cinta pada keberanian hidup”

Keberanian-keberanian Gie bukanlah ketidakbahagiaan melainkan justru ‘cinta’ yang berkelindan dalam kebahagiaan tersebut. Lantas kebahagiaan tidak melulu tentang material, baginya yang ‘ingin mati muda dan menyayangkan nasib tua’ mengisyaratkan pada sikap merawat idealisme dan prinsip hidupnya. Sebab imbuh Tan Malaka bahwa ‘idealisme ialah kemewahan terakhir’ bukan.

Perenungan lanjutan setelah sosok Gie, seorang Sartre di salah satu bukunya ‘Seks dan Revolusi’ membicarakan soal ‘hasrat’. Bagaimana ia yang seorang filsuf menggambarkan hasrat dikorelasikan dengan keinginan-keinginan manusia termasuk kebahagiaan. Hasrat bagi Sartre ialah sebuah rasa ‘ingin’ akan suatu hal yang menggugah, menciptakan semangat hidup, serta mendorong untuk siapa saja yang berhasrat untuk mewujudkannya. 

Namun ‘hasrat’ tidak lagi menjadi dirinya ketika telah tercapai. Hasrat ingin makan, takkan lagi dirasakan ketika ‘kenyang’. Hasrat seperti halnya kebahagiaan, ketika itu dimaknai sebagai ‘tujuan’ ia tak pernah berakhir dengan makna bahagia itu sendiri. Ia harus senantiasa seperti ‘hasrat’ berupa; keinginan, proses mewujudkan tujuan, dinamika mencapai, dan sebagainya.

Pungkas, kita perlu menyelesaikan sisi pencarian makna kebahagiaan dengan lawakan ala Slavoj Žižek. Sebagai filsuf Žižek sosok yang lucu cum jenius. Guyonan yang dirangkum dalam sebuah buku ‘Mati Ketawa Cara Slavoj Žižek’ menyajikan dagelan jenius ala dirinya. Salah satunya dikisahkan bahwa terdapat orang yang bertanya soal penjelasan suatu hal pada orang lain. 

Orang tersebut menjawab dengan embel-embel ‘satu kata’ yang dapat menerangkan serta membedakan suatu hal tersebut. Padahal sebenarnya dia tak paham arti ‘satu kata’ itu sendiri. Dianalogikan dengan pertanyaan tentang kebahagiaan.

“Apakah kamu bahagia dapat mewujudkan cita-citamu?” “Tentu saja sebab aku akan memiliki uang. Uang dapat memenuhi banyak keinginan…” lagi “Apakah kamu bahagia dapat menulis?” “Ya karena menulis dapat menghasilkan uang. Uang dapat memenuhi banyak keinginan…” “Apakah kamu bahagia mendapat IPK cumlaude?” “Ya, karena akan mudah mendapat kerja yang banyak uang. Uang dapat memenuhi banyak keinginan…” lalu “Apa itu uang?”. Pada dagelan ala Žižek tersebut dikisahkan bahwa ‘sang penjawab’ menangis tersedu-sedu sebab ia tak pernah benar-benar tahu apa itu makna ‘uang’.

Agaknya kurang lucu, namun itulah lawak cum jenius ala Žižek yang sesunggunya memiliki pesan “yang paling penting bukanlah soal kebahagiaan, namun bagaimana kita memahami tentang apa yang benar-benar kita inginkan. Pun yang membuat kita bahagia bukanlah mendapat apa yang kita inginkan. Melainkan memimpikan apa yang benar-benar diinginkan.”

Terakhir penulis hanya ingin mengimajinasikan dialog jika mereka bertiga dapat ngopi sambil bersua bersama, sebagai berikut:

“Hai anak muda, bagaimana pendapatmu soal kebahagiaan?” Sartre pada Gie.

“Seperti kata filsuf Yunani tentunya, Coach Sartre yang Mulia, bahwa ‘nasib terbaik ialah tidak dilahirkan, kedua dilahirkan tapi mati muda, dan nasib tersial adalah umur tua.” Jawab Gie.

“Oh, apa maksudmu, anak muda?” Sartre menanggapi.

“Gimana, sih, Sar, sana tak usah jadi filsuf. Kembalilah jadi pelatih sepak bola. Agar kau tahu apa yang betul-betul dirimu kemukakan soal hasrat itu. Tidak penting makna kebahagiaan, yang paling penting bagaimana keinginan-keinginan untuk bahagia itu. Memimpikan keinginan-keinginan yang membahagiakan. Berhasrat.” Sua Žižek malah menyela.

“Oh, santai, Žek, Žižek aku sudah paham. Pelan-pelan, agar anak muda seperti Gie ini tidak terseret arus pikir sepak bola hanya sekadar kolektivitas. Padahal hasrat individu yang ingin eksis dan merdeka itu juga dapat mewujudkan tujuan berupa ‘gol-bahagia’.” Sartre sedikit ngeles.

“Mohon maaf, bapak-bapak saya undur diri. Ada persiapan mendaki, baca buku, dan konsolidasi. Tidak penting Indonesia makmur kapan, revolusi sedang diagendakan.” Tutup Gie, memimpikan kebahagiaan Indonesia.