Narasi dalam filsafat, secara esensi spiritnya, menelurkan sains dan sejalan dengan tujuan keagamaan. Jika seseorang mengira bahwa jalan agama berbeda dengan filsafat, mungkin definisi dua hal ini tidak dipahami dengan benar.

Ada ungkapan bahwa filsafat dimulai dengan keraguan, sedangkan agama tidak. Tapi jika mau untuk menilik kembali, apa agama tidak dimulai dari keraguan? Bagaimana seseorang dapat mengklaim dirinya “yakin” jika keraguan pun tidak muncul sama sekali? 

Padahal ada sebuah statement dalam masyarakat, yang kita sudah tahu semua, bahwa seorang muslim mu’alaf (seorang yang non-muslim pindah memeluk agama Islam) cenderung lebih saleh daripada seorang muslim keturunan. Mengapa? Ya sudah jelas bahwa dia meragukan lalu mencari dan menemukan.

Apa yang sebagai muslim keturunan tidak ada dalam fase hidupnya meragukan dan mencari? Saya rasa itu tidak mungkin. Mustahil untuk bisa menetapkan “saya yakin” tanpa melewati kedua fase itu sebelumnya.

Manusia saat lahir mempunyai akal dan berbagai potensi-potensi kemanusiaan yang belum matang. Proses kematangan ini memerlukan waktu yang tidak lama dan juga bimbingan yang tidak mudah. 

Tidak semua potensi manusia itu dapat menjadi matang sempurna. Ada yang kurang matang atau malah yang salah matang. Saat kecil, manusia akan selalu bertanya, berbicara, dan banyak berekspresi. Mengapa? Karena di situlah awal mulanya kita sebagai manusia merasakan nikmatnya hidup. 

Mungkin kita sekarang lupa tentang kenikmatan dan kesenangan itu. Kesenangan dalam melihat. Melihat apa saja. 

Melihat itu sendiri adalah sebuah kenikmatan dan kesenangan. Begitu juga dalam mendengar, merasakan, berbicara, berpikir, melakukan sedikit penganalisisan, menyambungkan ide-ide yang didapat dengan indra menjadi imajinasi, menyampaikan keputusan yang sederhana dan lain sebagainya. Saya yakin, kita lupa dengan kenikmatan awal itu.

Saat mulai dewasa, semua potensi itu telah mencapai tahap kematangan. Manusia mulai bertindak, mengubah, dan menguasai alam semesta berdasarkan ideologinya tentang diri manusia sendiri dan alam. Pada tahap inilah manusia meragukan, mencari, dan menemukan ideologi tersebut. Jika tidak ada tindakan demikian, lalu mengapa kita menganggap diri lebih tinggi dari hewan sedangkan potensi manusiawi itu sendiri tidak digunakan? 

Ajaran dan bimbingan orang tua dan keluarga hanya berefek pada kebiasaan, bukan dalam membentuk ideologi, yang di mana ideologi tersebut akan menurunkan tindakan-tindakan sebagai tugas manusiawi manusia di dunia. Dari sini terlihat bahwa dalam berideologi tidak ada kata “mengikuti”. 

Lain halnya dalam melakukan ajaran ideologi tersebut. Dalam melakukan ajaran ideologi tersebut, dianjurkan untuk mengikuti para ahli, jika kita merasa tidak mampu untuk merumuskan berbagai hal di dalamnya.

Ideologi hidup yang menyeluruh ini, yang berlandaskan pada konsep alam semesta dan diri manusia itu sendiri, dinamakan agama. Maka filsafat menjadi suatu keniscayaan dan keharusan. 

Dalam mengartikan makna filsafat, tidak perlu untuk merujuk kepada teori-teori para filsut barat maupun timur. Filsafat sejatinya adalah love of wisdom, mencintai kebijaksanaan. 

Filsafat adalah sebuah eagerness, sebuah kekuatan atau ruh yang berjalan dibawah panggung dunia ini. Tidak ada definisi filsafat secara pasti dan komprehensif yang dapat mengungkapkan filsafat sebagai sebuah disiplin ilmu. Filsafat hanya perlu didefinisikan sebagai kecintaan terhadap kebijaksanaan atau Kebenaran Tertinggi. Sedikit mengutip perkataan Gandhi, bahwa Kebenaran Tertinggi ini adalah Tuhan.

Dalam hal ini, menafikan filsafat sama halnya dengan menutup jalan keagamaan itu sendiri. Maka dalam filsafat timur, khususnya India dan China, tidak ada batasan khusus antara filsafat dan agama. Keduanya seperti menjadi satu dan mencampur. 

Sejarah pun telah menceritakan bahwa filsafatlah yang melahirkan berbagai disiplin ilmu pengetahuan yang di zaman modern ini telah melepaskan diri dari diskursus melingkar dalam filsafat. Tapi harus diingat, ruh filsafat dan agama adalah untuk berjalan beriringan mesra dengan Tuhan, Realitas Absolut atau Alam Semesta itu sendiri.

Sampai di sini, mohon untuk dipikirkan kembali.