Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia dalam jaringan (daring) edisi III, sastra dimaknai sebagai bahasa (kata-kata, gaya bahasa) yang dipakai dalam kitab-kitab (bukan bahasa sehari-hari). Paling tidak, makna paling umum itulah yang secara kolektif disepakati bersama.
Dalam peziarahan manusia bersama sastra, definisi tiap kepala tentangnya pasti berubah dan bertambah. Sastra bahkan bisa dianggap bukan lagi sekadar sesuatu yang mati seperti gaya bahasa. Ia dapat pula berupa hal terluar dari diri manusia, yaitu pergulatan sosial, serta hal terdalam dalam diri manusia, yaitu rasa dan intelektualitas.
Sebuah cerita pendek Mona Sylviana, Wajah Terakhir (sama dengan judul kumpulan cerpen), adalah salah satu karya yang cukup berkesan bagi saya. Berlatar tempat Singapura, seorang tokoh perempuan bernama Maria mengulang ingatan.
Mona membedah memori Maria dengan kembali ke peristiwa rusuh besar di Jakarta pada Mei 1998. Peristiwa itu tentu menyisakan banyak kesan pada masyarakat Indonesia. Kerusuhan dan kekerasan yang dilakukan terhadap etnis Tionghoa itu diulas Mona dengan sangat intim.
Dalam Wajah Terakhir, wajah Jakarta yang porak-poranda memang tidak utuh terkatakan. Namun, keterbatasan spasial itu tidak mengurangi keikutsertaan emosi saya dalam membaca cerpen itu. Hal itulah yang kemudian membuat saya punya banyak pertanyaan tentang proses kreatif, pandangan Mona tentang kandungan sastra, dan hakikat berkarya: estetika, atau etika?
Saya pun terlecut untuk berbincang dengan Mona (wawancara lebih lengkap dapat dilihat di blog pribadi saya, ‘Sastra Adalah Cara Pandang’).
Mona adalah salah satu penulis yang menemukan sastra sebagai pelengkap hidup manusia. Bagaimana tidak, sastra baginya adalah cara pandang. Sastra adalah sejenis ideologi yang mencakup pembelajaran tentang demokrasi, toleransi, dan sejenisnya. Di sepanjang perjalanan kepenulisannya yang cukup panjang, Mona menemukan sastra sebagai penerang hidup manusia.
Dalam buku Tentang Sastra yang ditulis Jan van Luxemburg, Mieke Bal, dan Willem G. Weststeijn, sastra memang merupakan hasil dari kebudayaan. Maka, setiap definisinya pasti terikat pada waktu dan budaya. Keterikatan itulah yang juga diamini Mona.
Baginya, tidak ada sastra yang steril. Ia lahir bukan di ruang kosong. Penulis dan pembaca sastra tidak mungkin bersih diri dari sejarah hidup atau lingkungan tertentu. Berdasar pada pemaknaan itu, sebagai makhluk yang berpikir, manusia butuh sastra.
Manusia butuh sastra, maka manusia juga butuh liyan. Bagi Mona, penulis bertaut dengan pembaca, kritikus, penerjemah, editor, industri buku, dan lembaga pendidikan. Hal itu menjadikan sastra milik bersama. Untuk penulis yang turut program residensi di Ubud Writers and Readers Festival 2009 ini pun demikian. Opininya, penting menjalankan pendidikan sastra di luar pendidikan formal.
Di era digital, kelompok-kelompok atau grup-grup sastra diharapkan dapat menemukan formula untuk menjadikan media sosial sebagai media bergelut. Saya pun ngeh. Saya mengenal sastra sebagai gaya bahasa serta deretan jenis prosa sejak Sekolah Dasar. Tetapi menemukan ruang sastra yang melengkapi hidup, butuh waktu lama. Melengkapi hidup? Mungkin terdengar dramatis, tetapi begitulah realitanya. ‘Melakukan’ sastra adalah sama dengan menjalani hidup.
Sebelum Mona menyampaikan bahwa baginya sastra adalah cara pandang, saya sempat menduga Mona punya keberpihakan terhadap sastra sebagai penyampai ideologi penulis. Dugaan saya subur karena membaca karya-karyanya yang mengangkat beragam isu sosial seperti kemiskinan dan moralitas. Beberapa review malah mengkategorikan Mona sebagai seorang penulis feminis.
Interpretasi terhadap segala macam peristiwa yang terdapat dalam karya, diakui Mona, terbuka lebar. Ia tidak mengharapkan pembaca memberi nilai-nilai pada peristiwa itu. Merujuk pada The Death of The Author dari Barthes, Mona telah mati ketika karyanya selesai dibuat. Ini memang bagian paling menyenangkan ketika membahas karya sastra.
Siapa pun yang membaca karya, ia adalah seorang penafsir, bahkan bagi saya, pembaca bisa mengembangkan cerita dalam kepala, atau di atas kertas. Ada kesempatan untuk mengulik realitas, menguji imajinasi, bahkan menguleni keduanya menjadi satu.

Tahun 2016 ini, dua puluh lima tahun sudah Mona menulis puisi dan prosa. Seluruh karyanya—baik yang sudah terpublikasi atau belum—telah membebaskannya. Ya, bagi Mona, ia bisa merdeka ketika menulis. Kegelisahan lepas dari dirinya. Paling tidak, ia tidak berkarya karena didorong oleh tendensi ideologi tertentu, pesanan, atau mengharap royalti. Baginya, itulah kungkungan bagi umat manusia.
Lalu, estetika atau etika? Pertanyaan itu tidak saya tanyakan secara eksplisit pada beliau. Tetapi membaca karyanya dan meraba percakapan kami, pada estetika Mona sangat peduli. Dalam Tentang Sastra disebut bahwa rancang bangun dan bentuk sastra hanyalah salah satu sudut dari interpretasi.
Sila Anda baca pada karya-karya Mona, interpretasi yang dilakukannya tidak serampangan. Lagipula dalam wawancara, penguasaan bahasa adalah salah satu aturan main yang menurut Mona dapat membuat sebuah 'karya' menjadi 'karya sastra'.
Pada etika, tampaknya ia percaya bahwa selama sastra tak diperlakukan sebagai ruang sempit maka sastra juga berhak atas etika. Ideal bagi saya ketika ‘etika’ adalah sekadar etika, bukan penilaian baik-buruk yang melegitimasi kekerasan di dunia (baca ‘Sastra, Jamu Penangkal Kekerasan’).
Saya hanya manusia yang menggemari karya sastra. Pendekatan minimalis saya selama ini terhadap karya-karya memberi saya feeling bahwa sastra itu tidak sederhana. Sastra bukan sekadar kesigapan berbahasa, tetapi pun mewakili pergolakan manusia merdeka; manusia subjek yang berinteraksi dengan liyan.