Diantara topik kultum paling hitz di setiap episode Ramadhan, tema puasa dan menahan hawa nafsu adalah yang tak pernah terlewatkan. Mula-mula kultum tersebut akan mengutip risalah Al-Baqarah ayat 183 sebagai mukadimahnya, lalu dilanjutkan dengan diktum bahwa puasa merupakan ibadah yang mewajibkan kita menahan napsu makan dan minum, napsu misuh wal ghibah, hingga napsu kelon.

Kita pun termotivasi untuk tetap tabah dengan khabar gembira bahwa seluruh iblis telah dibelenggu. Di akhir bulan, konon iblis bergentayangan dalam presentase diskon di mall-mall.

Saya sepakat untuk memandang ibadah puasa sebagai upaya pengendali hawa nafsu. Namun, itu baru pada taraf penebusan dosa individu, sementara sebagai makhluk yang bermasyarakat, otomatis kita terbenani dengan dosa sosial.

Inilah pentingnya untuk tidak membiarkan pesan mendiang Kuntowijoyo kandas bersama kenangan dengan mantan. Melalui catatan dalam buku Islam Sebagi Ilmu, belio mengingatkan bahwa agama harus bersifat kontekstual, agar memiliki fungsi dalam bermasyarakat. Bukan hanya sebagai media kontemplasi diri.

Islam sendiri hadir dalam habitat dimana mendem, medok, mokel, dan sederet perilaku dzalim menjadi hal lumrah. Bukankah Makkah adalah prototipe untuk mengaplikasikan agama ini dalam konteks sosial yang jahiliyah? Maka, ibadah puasa sebagai salah satu aktualisasi keberislaman harusnya tidak cukup berperan sebagai sarana melatih kesabaran.

Selain kurang kontekstual, kok yo kurang universal. Bayangkan, kurang menahan sabar apa buruh-buruh pabrik yang disandera tenaganya sejak berkumandangnya kukuruyuk hingga adzan maghrib. Atau kuli bangunan yang tabah menanti keterlambatan upah.

Bagaimana ibadah puasa menuntaskan dosa sosial? Terjawab oleh konsep amalan-amalan ibadah puasa yang mengarah pada sebuah konsep distribusi kekayaan. Betapa amalan ini sesungguhnya akrab dengan nilai-nilai sosialisme. Setidaknya, ada tiga konsep yang menunjukkannya.

Konsep Sahur dan Berbuka.

Normalnya, kita makan 3 kali sehari di hari-hari biasa. Namun, hanya ada sahur dan berbuka saat puasa, maka uang makan siang kita tersisa. Kemana akumulasi ketersisihan rupiah makan siang ini bermuara? Idealnya, ia akan bermuara pada perut-perut fakir, miskin dan anak kosan (para musafir ilmu).

Bentuknya bisa berupa takjil-takjil di sepanjang masjid yang kita serbu setiap sore itu. Jadi, bukan bermuara di resto-resto mahal dalam bentuk jadwal bukber beruntun yang panjangnya lebih dari shaf jama’ah masjid.

Konsep Fidyah

Bagi orangtua renta yang masuk kategori sebagai “uzur permanen” dan tak lagi berdaya untuk berpuasa, blio wajib mengganti dalam bentuk membayar fidyah. Fidyah ini wajib sebagai kompensasi berpuasa. Fidyah berbentuk sejumlah uang atau makanan yang disalurkan untuk fakir dan miskin.

Bisa dengan tiap hari traktiran bukber sama anak-anak jalanan atau dibayar sekaligus pada satu waktu. Berbeda dengan orang sakit, musafir atau Ibu hamil dan menyusui yang dikategorikan sebagai “uzur temporer”, mereka wajib membayar hutang puasa, bukan membayar fidyah, lantaran mereka masih mampu menyisihkan rupiah makan siang di lain waktu.

Di sini kita bisa berefleksi (meskipun refleksinya mungkin sudah di malam-malam i’tikaf saat Ramadhan kemarin). Jika bulan puasa adalah bulan mulia untuk kita menjadi muslim yang baik (dalam tataran simbolik), dengan i’tikaf sembari tadarus semalam suntuk demi mengejar khataman di malam-malam lailatul qadr, mengapa fidyah tidak berbentuk hafalan atau bacaan qur’an saja? Seperti yang akhi dan ukhti kerjakan selama satu bulan penuh kemarin. Apalagi saat Ramadhan pahalaya akan berlipat ganda dari 10 hingga 700 kali lipat.

Konsep ber-Zakat

Puncak dari amalan ibadah puasa Ramadhan ini akhirnya akan ditutup dengan pengalokasian sejumlah batas minimal makanan pokok untuk ber-zakat. Kita menyebut versi zakat di bulan Ramadhan sebagai zakat fitrah. Selama ini kita di beri tahu bahwa zakat adalah upaya penyucian kekayaan. Pemahaman ini berimplikasi pada perayaan hari raya yang disebut Idul Fitri, yakni diartikan sebagai penyucian diri yang harus dituntaskan untuk saling bermaafan agar kita suci kembali

Padahal Zakat adalah sebuah mekanisme distribusi kekayaan, dikelola secara kolektif melalui Amil. Sekarang berupa LAZIS (Lembaga Amil, Zakat, Infaq dan Shodaqoh). Jadi, kalau ada orang yang masih saja membagi sedekah atau zakat secara mandiri hingga antriannya bikin orang pingsan, pastilah ia adalah manusia purbakala yang tak mengenal mekanisme modern.

Puncak dari zakat ini kemudian dirayakan pada hari raya Idul Fitri. ‘Idul fitri sebagai sarana selebrasi ketercapaian misi sosial ini bisa direfleksikan melalui ketentuan waktu-waktu penyaluran zakat, yakni hari-hari terakhir di bulan Ramadhan, malam takbiran dan paling utamanya ba’dha subuh sebelum sholat Ied. Sedangkan zakat haram dikeluarkan ba’dha sholat Ied. Karena ba’dha sholat Ied adalah waktunya berselebrasi dengan makan-makan.

Jadi, ibadah puasa dan perayaan idul fitri tentu memiliki korelasi, namun bukan karena sama-sama menjadi mesin laundry, agar harta dan diri bersih kembali. Keduanya merupakan praktik amalan yang secara maknawi melangsungkan konsep pembebasan.

Bahkan, secara mendetail Islam membagi subyek yang harus dibebaskan tidak hanya dalam tipe kelas sosial borjuis dan proletar, melainkan delapan golongan, yakni: fakir, miskin, amil zakat, mu’allaf, budak, gharim, fisabilillah, dan musafir.

Tentu 8 golongan ini perlu tafsir agar menemukan konteksnya pada hari ini. Misalnya, apa yang dimakasud musafir, bukan lagi pengendara onta, bisa jadi wujudnya adalah anak kos rantau yang sedang dalam pengembaraan mencari ilmu.

Namun, setelah upaya membagi-bagi zakat, yakinkah  kita bahwa makanan pokok itu telah terdistribusi dengan sempurna ke 8 golongan? Itulah mengapa, ucapan yang sunnah disampaikan ba’dha sholat ied adalah: Taqobalallahu minna wa minkum. Semoga Allah menerima amalanku dan amalan mu. Amalan yang mana lagi jika bukan amalan yang sarat akan prinsip sosialis sebulan kemarin?

Melalui konsep amalan ibadah di bulan Ramadhan tersebut, diam-diam Islam telah menyepakati cita-cita sosialisme bahkan jauh sebelum sosialisme lahir secara ragawi. Akumlasi rupiah makan siang yang bermuara pada takjil, fidyah yang berupa sedekah materi, dan zakat yang merupakan klimaks dari ibadah berpuasa dalah sebuah konsep distribusi kekayaan yang ditawarkan Islam jauh sebelum manusia butuh diyakinkan dengan simbol ilmiah dan ideologi. Bukankah pemahaman semisal ini yang juga dipakai Ali Syariati dalam membantah tesis agama adalah candu yang memelihara manusia dalam kesadaran palsu?

Maka, seharusnya klimaks bulan Ramadhan bukanlah praktik menyantap opor, gulai, rendang hingga mengubah rumah menjadi warung makan pribadi sebagai pelampiasan praktik bersabar selama sebulan penuh. Bukan menyerbu barang-barang diskon dan berbagi parsel dan amplop ke sesama kelas sosial yang mapan.

Di mana benda-benda ini hanya akan jadi piala bergilir dari kerabat ke kerabat. Atau broadcasat pesan maaf-maafan di seluruh medsos dengan mengatasnamakan diri “yang belum berkeluarga”, upaya pamer kelajangan.

Seberapa kita memaknai selebrasi idul fitri sebagai perayaan ketercapaian misi sosial? Untuk berefleksi dan kemudian kembali menebus kekurangan dengan berpuasa syawal 10 hari, juga dengan pendistribusian daging di perayaan idul adha? Jangan-jangan kita menjadi bagian yang menyukseskan paktik agama menjadi sekedar tradisi?

Dengan demikian, tidak perlu kita marah kalau ada yang menyebut agama adalah produk budaya, lha bukankah kita sendiri yang memperlakukan agama serupa tradisi?