Semakin sulitnya mencari lahan untuk tempat pembuangan akhir (TPA) di daerah perkotaan dan mahalnya biaya transportasi sampah merupakan permasalahan yang dihadapi pemerintah kota saat ini.
Tumpukkan sampah yang semakin meningkat akibat semakin tingginya jumlah penduduk perkotaan membuat pemerintah kota harus berupaya untuk mencari solusi alternatif mengatasi permasalahan sampah.
Salah satu solusinya dengan melakukan daur ulang sampah yang masih dapat diolah menjadi barang yang bernilai guna, contohnya sampah kertas. Menurut Wahyono (2001) sampah kertas berjumlah sekitar 10 persen dari jumlah keseluruhan sampah.
Sampah kertas memang dapat diolah menjadi berbagai macam bahan kerajinan, mulai dari bentuk sederhana seperti mainan dari kertas, perabotan, sampai ke tingkat yang lebih rumit, seperti mengubah limbah kertas menjadi papan partisi penganti multiplek (Khrisna dan Andreas, 2017).
Di Indonesia, salah satu lembaga kegiatan bisnis sosial yang bergerak dalam bidang pengelolaan sampah kertas adalah Salam Rancage. Salam Rancage didirikan pada 2012 di Bogor oleh Tri Permana Dewi dan Aling Nur Nolari.
Lembaga ini mampu menggerakkan sejumlah ibu rumah tangga di Bogor untuk memanfaatkan sampah kertas yang tidak terpakai menjadi barang yang bernilai ekonomis.
Bahkan ketika berita ini dimuat BBC pada 2015 lalu, omset produk daur ulang Salam Rancage telah mencapai Rp. 200 juta/tahun. Sungguh penghasilan dan capaian yang lumayan.
Bercermin pada pengalaman yang telah dilakukan lembaga bisnis sosial Salam Rancage, sepatutnya perlu dilakukan replikasi pengelolaan sampah kertas secara berkelanjutan di setiap daerah. Tujuannya adalah untuk memanfaatkan sampah kertas agar menjadi barang bernilai ekonomis.
Pastinya, upaya yang dilakukan tidak dapat hanya diserahkan pada satu pihak. Budaya positif tersebut dapat ditularkan ke daerah-daerah lain, khususnya di daerah pinggiran atau pedesaan.
Mengapa pedesaan? Karena selain membantu mengatasi permasalahan pengelolaan sampah di perkotaan, biasanya ibu-ibu rumah tangga di pedesaan memiliki banyak waktu luang.
Jadi akan lebih efektif waktunya jika digunakan untuk kegiatan yang produktif seperti mengelola sampah kertas.
Lalu bagaimana cara operasionalnya? Mari kita simak!
Saat ini, Kementerian Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi telah membuat program berupa penelitian dan pengabdian masyarakat yang dapat dilakukan oleh dosen atau mahasiswa di perguruan tinggi. Dana untuk kegiatan tersebut tidak sedikit, berjumlah triliunan per tahun.
Belum lagi dana internal perguruan tinggi yang secara mandiri dialokasikan untuk kegiatan yang serupa. Oleh karena itu, sayang sekali jika program dari pemerintah dan perguruan tinggi tidak disambut dengan baik terutama dalam bidang pengelolaan sampah kertas.
Perguruan tinggi dapat menggandeng beberapa desa untuk dijadikan tempat penelitian dan pengabdian. Misalnya satu kelompok mendampingi satu desa.
Jika antara masyarakat, pemerintah dan perguruan tinggi dapat bersinergi dengan baik, maka bukan tidak munkin pengelolaan sampah kertas di pedesaan akan menjadi kegiatan ekonomi baru bagi orang-orang desa. Bahkan dapat mendukung upaya pembangunan potensi desa.
Langkah tak kalah penting berikutnya adalah pengelolaan bank sampah. Pengelolaan ini bertujuan menjaring sampah-sampah yang dapat didaur ulang, agar tidak bercampur dengan sampah yang lain.
Di pedesaan, kebanyakan sampah kertas hanya dibakar atau dijadikan alat penutup dinding-dinding rumah yang berlobang.
Melalui perguruan tinggi, pemerintah dapat mengirim beberapa dosen dan mahasiswa serta beberapa tenaga ahli atau praktisi yang munkin mengerti dan memahami cara pengelolaan sampah kertas.
Sebagai target awal, bank sampah dapat dibuat pada tiap-tiap sekolah, dari level SD sampai dengan perguruan tinggi serta perkantoran.
Kemudian, setiap minggu atau setiap bulan sampah-sampah kertas tersebut dapat dijemput atau dikirim kepada kelompok-kelompok masyarakat yang telah terbentuk di perdesaan.
Pembentukan kelompok masyarakat sangat penting untuk memudahkan jalannya kegiatan. Jumlah anggota kelompok dapat diserahkan kepada forum bagaimana mekanismenya.
Biasanya untuk pembentukan kelompok percobaan jangan terlalu banyak, cukup lima sampai sepuluh orang terlebih dahulu. Kemudian setelah berjalan baik dan berkembang, silahkan ditambah atau ditingkatkan.
Kelompok-kelompok yang telah terbentuk harus didampingi oleh fasilitator. Fasilitator adalah orang yang berfungsi sebagai tutor yang akan mengajarkan bagaimana cara pengelolaan limbah kertas.
Jika telah ada sinergi dengan perguruan tinggi, mekanisme untuk mendatangkan fasilitator bukanlah suatu hal yang sulit.
Biasanya pihak perguruan tingginya akan menyiapkan tenaga ahli dari dosen dan mahasiswa. Jika pada perguruan tinggi tenaga ahli belum ditemukan, maka akan dicarikan dari pihak luar.
Fasilitator juga berfungsi sebagai pendamping dan tempat bertanya masyarakat. Selain itu, mereka juga berperan untuk memotivasi dan menginspirasi masyarakat agar semakin tertarik melakukan pengelolaan sampah kertas.
Caranya dengan memberikan cerita atau pengalaman-pengalaman dari daerah atau kelompok lain yang telah berhasil melakukan pengelolaan sampah kertas.
Untuk pembiayaan awal, kelompok masyarakat melalui pemerintah desa dapat memanfaatkan dana desa. Sejak zaman Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sampai kini, setiap desa memperoleh dana bantuan yang berjumlah sekitar 1 miliar per tahun.
Selain untuk kepentingan infrastruktur, dana desa juga dapat dimanfaatkan untuk kegiatan yang sifatnya bernilai ekonomi dan berkelanjutan. Salah satunya adalah pengelolaan sampah kertas.
Dana desa dapat digunakan untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran awal yang akan diperlukan untuk membentuk dan menjalankan proses pengelolaan sampah kertas. Misalnya, biaya mendatangkan kertas ke desa, biaya peralatan dan lain-lain.
Salah satu kunci kemajuan lembaga bisnis sosial Salam Rancage dalam memasarkan hasil produk daur ulangnya adalah teknologi. Oleh karena itu, cara tersebut perlu ditiru oleh kelompok-kelompok pengelolaan sampah yang telah dibentuk.
Lagi pula saat ini internet hampir dapat diakses pada semua daerah termasuk di pedesaan. Maka, fasilitator harus dapat memfasilitasi kelompok masyarakat agar dapat menggunakan teknologi untuk kegiatan pemasaran.
Pemanfaatan teknologi dalam bidang pemasaran dapat dilakukan dari bentuk yang sederhana, seperti pemanfaatan Facebook, Instagram dan lain-lain. Jika perlu, fasilitator dapat membuatkan website khusus untuk kegiatan pemasaran. Cara lain juga dapat dilakukan dengan membuka lapak online di Tokopedia atau marketplace lainnya.
Cara-cara ini akan sangat membantu mengenalkan produk daur ulang kelompok masyarakat perdesaan bukan hanya di lingkungannya, namun juga pada skala nasional dan internasional.
Jadi, jika hasil produk daur ulang sampah ingin dikenal lebih cepat, jalan satu-satunya adalah pemanfaatan teknologi.
Terakhir yang tidak kalah pentingnya adalah pendampingan dan evaluasi. Pendampingan dan evaluasi merupakan kunci terlaksananya program pengelolaan sampah kertas yang berkelanjutan.
Jangan sampai kegiatan yang telah direncanakan secara baik, hanya berlangsung sebulan atau setahun. Kita berharap kegiatan akan tetap berlangsung sampai mengalami perkembangan.
Kegiatan-kegiatan yang telah dilakukan oleh kelompok masyarakat perlu dimonitor dan didampingi, supaya dalam prosesnya diketahui kekurangan dan kelebihannya.
Proses dan hasil yang telah dicapai perlu dievaluasi untuk ditemukan kelebihan dan kekuranganya sehingga ke depan kelebihan dapat dipertahankan atau ditingkatkan, sedangkan kekurangan dapat diperbaiki.
Beberapa upaya di atas, dapat menjadi alat untuk membudayakan pengelolaan sampah kertas di masyarakat secara berkelanjutan. Pemerintah, perguruan tinggi, dan masyarakat harus saling bersinergi untuk menggali dan menciptakan inovasi pengelolaan sampah kertas.
Jika upaya tersebut dapat di tempuh, maka alternatif untuk mengatasi permasalahan sampah perkotaan sedikit dapat terbantu. Selain itu juga memberikan peluang masyarakat untuk meraup rupiah dari tumpukkan sampah kertas.