Pusaran globalisasi pendidikan mengalami disorientasi komersialisasi pada akhir-akhir ini membuat masyrakat terjun bebas pada pesona pragmatisme. Berbagai opini pro dan kontra yang dilontarkan oleh intelektual organik muncul melalui tulisan-tulisan di media massa. Hakikat pendidikan untuk mencerdaskan bangsa ditumpangi kepentingan kapitalis untuk mengeruk laba.  

Fenomena komersialisasi pendidikan merupakan  culture capitalism yang merusak kebudayaan sebuah bangsa. Pendidikan menjadi “lahan basah” untuk mencari pundi-pundi rupiah.

Culture capitalism berlawanan dengan idealitas pendidikan Indonesia dijelaskan oleh Wisnu Prasetyo Utomo (2013) dalam buku Pers Mahasiswa Melawan Komersialisasi Pendidikan yang membicarakan tentang cita-cita luhur Ki Hajar Dewantara untuk mendirikan Taman Siswa berupa kemerdekaan, bersifat tiga macam: berdiri sendiri (zelfstandig), tidak tergantung orang lain (onafhankelijk), serta dapat mengatur diri sendiri (vrijheid, zelfbeschikking).

Prinsip ini menjadi semangat pendidikan nasionalisme setelah kemerdekaan. Harapannya masyarakat dapat berpikir mandiri serta mendidik dirinya sendiri, untuk kemajuan bangsa bermartabat tanpa adanya penindasan kembali dari bangsa lain.

Pendidikan sebagai upaya menumbuhkan kemandirian. Teori didapatkan di kelas dengan praksis di lapangan. Teori yang telah didapat harusnya dipraktikkan dalam realitas sosial. Tujuan untuk melahirkan manusia-manusia merdeka bisa tercapai. Namun, peralihan orientasi demokrasi dari orde lama menuju orde baru, menjadi loncatan sejarah kelam bagi pendidikan Indonesia.

Koorporatisme pada masa orba, negara ikut menyusup pada sendi-sendi kurikulum serta mengintervensi  agar sejalan dengan pemerintahan. Kekuasaan selama 32 tahun telah memupuk neo-liberalisme yang menyebabkan pendidikan ikut terbawa arus insvisible hand.[1]  

Kapitalisme mengajarkan manusia untuk mengejar kepentingan dirinya sendiri. Tujuan semacam ini mengabaikan aspek kehidupan manusia lain untuk merealisasikan potensi yang lebih luhur.[2] Pendidikan dilepas di pasar sebagai komoditas guna memenuhi kebutuhan pasar yang berupa komersialisasi kapitalis. Paradigma pendidikan telah bergeser ke arah komersialisasi kapitalis.

Pendidikan dan ilmu pengetahuan dianggap sekadar komoditas yang bebas diperjual belikan. Hukum yang berlaku kemudian pun dirumuskan dalam kalimat “barang siapa yang memiliki uang, maka ia yang akan memperoleh pendidikan yang memadai.”[3]

Bahasa yang tercipta di kalangan masyarakat bawah, pendidikan hanya diperuntukan untuk orang berduit serta memenuhi pendidikan secara berkala. Kesempatan beasiswa, tertutup oleh “politisasi pendidikan”. Sehingga, tercipta culture capitalism pendidikan untuk memenuhi pasar (produksi) perusahaan. Seperangkat kurikulum disesuaikan dengan pasar  untuk mengaburkan idealitas pendidikan.

Sistem pendidikan masih dimuarakan ke link & match atau melayani keinginan industrialisasi serta sektor modern. Terdapat keharusan pemuda untuk masuk ke perguruan tinggi,  seminimal apapun otaknya. Lembaga pendidikan dianggap berjasa. Di mana menciptakan kompetensi antar yang kalah. Involusi pendidikan istilah yang digunakan oleh Cliford Gerz.

Generasi muda sebagai ujung tombak mendapatkan doktrin berupa mimpi-mimpi tanpa aksi nyata. Ini semua harus ditanggulangi dengan tindakan-tindakan realistis. Supaya generasi muda tidak terjerumus ke lubang-lubang pragmatis angan-angan tanpa mau bersusah payah dalam mencari ilmu.[4]  

Membangun jiwa bangsa

“Bangunlah jiwanya, bangunlah raganya”, penggalan bait lagu Indonesia Raya meyiratkan pesan untuk membangun jiwa-jiwa bangsa Indonesia. Mengisi dengan ribuan ilmu supaya dapat berdaulat dalam berpikir. Selaras dengan pepatah yang berbunyi di dalam jiwa yang sehat terdapat raga yang kuat. Kedaulatan sebuah bangsa ditentukan oleh jiwa-jiwa suatu bangsa.

Mohammad Abduhzeen berpendapat, cita-cita pendiri bangsa untuk mencerdaskan bangsa semakin menjauh dari panggang api. Pendidikan semakin kalah dengan pembangunan ekonomi, perubahan kelembagaan, serta “politisasi pendidikan”. Involusi pendidikan perlu diredam karena pada dasarnya, subtansi pendidikan guna mencerdaskan martabat manusia.[5]

Sejalan dengan Gagasan Peter Alberald (1079-1142) mengenai puncak nalar di mana terus-menerus mempertanyakan adalah sebuah kunci utama untuk menuju kebijaksanaan. Kesangsianlah kita menyelediki untuk menggapai kebenaran. [6] Orang Yunani yakin bahwa tujuan penidikan adalah pikiran yang sehat di dalam raga yang sehat.[7]

Perubahan kelembagaan sebuah pendidikan, jika tidak diacak oleh kepentingan kapitalis, maka titik kulminasi pengkoordinasiaan kegiatan kelas-kelas sosial akan berhasil. Politik pendidikan revolusioner dan filosofinya berakar pada dialektika. Komitmen terhadap transormasi revolusioner segenap masyarakat Indonesia. Mengubah segenap sendi masyarakat menjadi masyarakat yang dikehendaki dan  layak.[8]

Pengembangan pendidikan yang ramah terhadap warga sekitar harus menjadi tolak ukur lembaga pendidikan. Transparansi sistem sekolah kepada warga untuk pembelajaran mengenai seluk-beluk administrasi lembaga pendidikan. Sebagai ujung tombak pendidikan,  lembaga pendidikan mengoptimalkan pembelajaran informal, masyarakat aktif dalam pendidikan keluarga serta sosial.

Melawan keberadaan komersialisasi pendidikan melalui pendekatan bottom-up yang demokratis dengan memberdayakan sekolah dasar khususnya yang terdapat di desa. Mengubah stereotip masyarakat, bahwa sekolah di kota lebih maju daripada di desa sendiri menggunakan sistem pembelajaran adil, terbuka, menguatkan watak, budaya serta keterampilan peserta didik.

Sistem pembelajaran dipadu dengan pelatihan yang tidak melulu berproduksi melainkan untuk hidup. Di mana eksistensi dan kontrol disadari apa yang telah di ucapkan sesuai dengan realita untuk memanusiakan manusia. Program sekolah tidak stagnan pada persoalaan calistung (membaca, menulis, dan berhitung). Tetapi juga terdapat inovasi berupa kerajinan, menggambar, berseni, bersastra serta berbahasa. [9]

Intelektual tradisional dalam persfektif Antonio Gramsci dalam bukunya Selection from Prison (1979), ikut berperan dalam sendi-sendi pembangunan pendidikan berbasis masyarakat  diatur dalam UU No. 20 Tahun 2003 tentang sistem pendidikan sosial.  Menghidupkan religiusitas di desa melalui pengajian ba’da maghrib oleh ulama setempat, guru-guru menerjunkan peserta didik bersentuhan langsung dengan mata pencaharian desa setempat.

Peserta didik diberikan ruang-ruang partisipatif untuk mengekspresikan kesenian, olahraga, serta berpikir. Selain itu, masyarakat juga mengikuti ruang-ruang tersebut guna pembelajaran sosial bagi peserta didik. Siswa ikut beperan aktif dalam kegiatan karang taruna  atau perkumpulan pemuda setempat.

Mencerdaskan kehidupan bangsa merupakan falsafah yang dicetuskan oleh para pendiri bangsa. Bangsa yang memiliki kepekaan terhadap pendidikan formal maupun informal. Tidak terjerembab pada pendidikan pragmatis. Mengejar nilai semaksimal mungkin untuk mendapatkan gelar serta jabatan yang tinggi sehingga melupakan aspek sosial.

Komersialisasi dan kapitalisasi problem yang harus diselesaikan. Proses pendidikan yang menghalalkan segala cara demi mendapatkan keuntunngan. Sehingga menumbuhkan sifat asosial pada peserta didik. Tentu sangat bertentangan dengan budaya Indonesia, yang mengedepankan konsep keterlibatan pendidikan sosial. Permasalahan  tersebut harus di atasi bersama.

Birokrasi negara harus peka terhadap subtansi pendidikan, pembangunan infrastruktur publik yang apik tanpa dibarengi pembangunan jiwa melalui pendidikan tidak sejalan dengan jargon. Slogan berbunyi “Revolusi Mental” harus menyeimbangkan antara pembangunan jiwa dan raga terhadap generasi muda bangsa ini. Sehingga masyarakat ikut merealisasi kedaulatan di tiap bidang melalui ruang-ruang partisipatif.

[1]Wisnu Prasetyo , Persma Melawan Komersialisasi Pendidikan (Yogyakarta :Indie Book Corner, 2013), hlm.91

[2] Hendro Setiawan, Manusia Utuh ; Sebuah Kajian atas Pemikiran Abraham Maslow (Yogyakarta: PT. Kanisius, 2014), hlm. 95-96.

[3] Darmaningtyas, Tirani Kapital dalam Pendidikan: Menolak UU BHP ( Yogyakarta: Damar Press, 2009), hlm. 35. Lihat juga di Wisnu Prasetyo, Persma Melawan Komersialisasi, ……… , hlm. 93.

[4] Francis Wahono, Kapitalisme Pendidikan ; Antara Kompetisi dan Keadilan (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001), hlm. 52.

[5] Mohammad Abduhzen, Merawat Nalar Bangsa, Harian Kompas Senin, 2 Mei 2016.

[6] Paulo Freire, dkk, Menggugat Pendidikan ; Fundamentalis, Konservatif, Liberal, Anarkis (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2014), cet. V, hlm.  XVVI.

[7] Paulo Freire, dkk, Menggugat Pendidikan…., hlm. XV.

[8] Paulo Freire, dkk, Menggugat Pendidikan ….., hlm. 433.

[9] Francis Wahono, Francis Wahono, Kapitalisme Pendidikan, …….., hlm. 108.