Aplikasi yang pernah bikin heboh jagat perkontenan, dan sempat diblokir oleh kementerian kesayangan kita semua itu, iya, siapa lagi kalau bukan TikTok. Kini ia banyak digandrungi netizen ala-ala, selebgram, dan tak ketinggalan pula selebriti. Yah, sebut saja di antaranya mamah muda Gisel dan anaknya yang super unyu-unyu Gempi. Pokoknya semua kalangan deh yang menyukainya, titik.

Namun, seiring dengan meroketnya popularitas aplikasi ini, makin tebal juga stereotip yang melingkupinya: sarang bagi anak “alay”, joget-joget tidak jelas, berisi konten-konten nirfaedah, aplikasi tidak bermanfaat, dan perundungan lainnya.

Hmmm, mungkin orang-orang santuy yang berpendapat begitu, dulu ketika menggarap tugas bersama/kelompok hanya ikut menyetor nama, kemudian menghabiskan camilan. Bhaaa.

Jadi, setelah saya bermeditasi di dalam toilet, dapat ditarik kesimpulan dengan menggunakan metode yang dipinjam dari Planet Namek dengan bantuan 7 Bola Naga Dragon Ball, bahwa skor antara lovers dan haters aplikasi TikTok ini adalah 50:50. Bagi yang mau protes, silakan kirim nomer/alamatnya ke email [email protected]. Semoga kalian masih ingat dengan Babang yang satu itu ya.

Sebagai seorang lelaki yang teramat malas menyebutkan prestasinya, mengagumi Jihyo Twice, serta mengidolakan wifi gratis, tentunya di ponsel saya juga ter-instal dengan anggun aplikasi tersebut. Jangan tanyakan lagi posisi saya berada di wilayah lovers atau haters ya, gaes. Yang pastinya saya tidak berada di wilayah abu-abu.

Namun semenjak mengunduhnya hingga sekarang, tidak pernah sekalipun tercantol di pikiran untuk memulai debut pada platform ini. Bukan karena saya nirkreativitas atau gersang imajinasi dalam mengolah konten, tidak pula stok PD saya lagi krisis sebagaimana situasi di penghujung pemerintahan Orde Baru. Tidak. Melainkan, melalui aplikasi TikTok ini, saya hanya ingin mencapai pencerahan spiritual.

Tentunya pencerahan spiritual itu diperlukan untuk membimbing hidup menuju keharmonisan. Entah itu dalam relasi antar-sesama manusia maupun kepada Tuhan tanpa intervensi ego yang hobi mengaveling surga. Dan jalan untuk meraihnya memiliki beragam medium, salah satunya lewat aplikasi TikTok ini.

Tunggu, saudara-saudara sekalian, jangan tergesa-gesa memvonis saya telah menempuh jalan sesat dan menjadi penyembah aplikasi yang berasal dari Negara Tirai Bambu tersebut. Toh, tidak semuanya harus dipandang dengan hitam putih, saudara-saudara. Ingat, kita ini hidup di era menjamurnya layanan streaming, bukan lagi pada masa televisi dengan bentuk hitam putih.

Jadi, bagaimana dong caranya sehingga mendapat pencerahan tersebut?

Begini penjelasannya, dengan menyaksikan beragam konten yang berseliweran di beranda TikTok, pastinya juga terpantik spirit untuk memulai debut dan rasa ingin memanen puja-puji dari penggemar budiman. Nah, pada titik ini menjadi medium kita untuk belajar mengekang keinginan/hawa nafsu tersebut, minimal menjinakkannya.

Okelah, tahap ini bisa dikatakan sebagai awal dari penjinakan ragam keinginan dengan spektrum yang lebih luas.

Misalnya,  keinginan untuk meraih posisi strategis dengan jalan pintas, mem-"belut"-kan berbagai proyek dengan teknik sat-set-sut di sana sini, bahkan jual beli suara di akar rumput. Semua itu dapat ditundukkan dengan catatan bahwa nilai-nilai keluhuran yang kita dapat di aplikasi TikTok tadi tidak keluar melalui lubang hidung lagi. Hmmm, sungguh memberikan pencerahan spiritual, bukan?

Begitu pula dari sekian banyak ragam kontennya, seperti joget-joget, dubbing yang mengundang tawa, bahkan video yang memantik syahwat menjadi pemandangan aduhai bagi penglihatan. Dari sini, kita dapat mengelola pikiran serta menata hati agar tidak mudah men-judge orang pada pandangan pertama. Dan melontarkan ucapan yang hanya dimengerti oleh sekawanan kura-kura, bukan dari kalangan Homo Sapiens. Paham.

Tidak berhenti sampai di situ saja, tanpa disadari, kita juga belajar memperluas perspektif atau sudut pandang, agar tidak sembrono dengan mengadopsi pikiran yang gampang meledak dan berapi-api. Lha, cukup Pangeran Zuko saja yang memiliki keahlian itu.  

Dapat dibayangkan, setelah menonton video goyang-goyang, selanjutnya tutorial masuk surga, kemudian konten tips memasak, dan segala pluralisme konten lainnya. Sungguh, benar-benar melatih keluasan berpikir dan kelapangan dada.

Bahkan beberapa waktu dulu pernah bergulir wacana, bahwa BPIP ingin menyosialisasikan Pancasila kepada masyarakat, khususnya kaum rebahan, eh milenial maksudnya.  Iya, kan, ketika sampai pada tahap ini, Aplikasi TikTok, selain memberikan pencerahan spiritual, berkontribusi dalam mengampanyekan nilai-nilai kepancasilaan.

Sudah, lekas-lekas bertobat sajalah orang-orang yang sering mem-bully kehadiran aplikasi ini. Mari sama-sama kita beristigfar, memohon ampunan kepada Tuhan. Cukup ucapkan di dalam hati, tidak perlu teriak-teriak di jalanan dan tak mesti juga dijadikan status di media sosial.

Oh iya, ada satu hal penting yang ingin saya sampaikan sebelum mengakhiri tulisan ini. Bagaimanapun juga, menurut saya, menyaksikan pelbagai goyang-goyangan di aplikasi TikTok itu lebih menghibur. Lha, coba bandingkan saja, daripada menyaksikan kebijakan pemerintah yang sering kali bergoyang, tersebab ditiup oleh orang-orang yang memiliki kepentingan dan modal. Lebih mengasyikan yang mana, hayooo?