Seperti dikutip dari “Sistem Politik Indonesia; Suatu Model Pengantar” karangan Rusadi Kantaprawira, menurut Gabriel A. Almond partai politik adalah organisasi manusia di mana di dalamnya terdapat pembagian tugas dan petugas untuk mencapai suatu tujuan, mempunyai ideologi (ideal objective), mempunyai program politik (political platform, material objective) sebagai rencana pelaksanaan atau cara pencapaian tujuan secara lebih pragmatis menurut panahapan jangka dekat sampai yang jangka panjang serta mempunyai ciri berupa keinginan untuk berkuasa.
Dengan demikian, setiap organisasi manusia yang memenuhi kriteria di atas secara material dan substansial dapat dianggap sebagai partai politik. Sedangkan menurut Edmund Burke dalam bukunya Toughts upon the Cause of the Present Discontents, partai politik adalah suatu kumpulan manusia untuk memajukan keinginan-keinginan bersamanya, yaitu kepentingan nasional melalui prinsip-prinsip khusus yang telah disepakati.
Menurut Maurice Duverger, partai politik adalah sekelompok manusia yang memiliki doktrin politik yang sama. Berarti partai politik adalah sekelompok manusia yang terorganisir yang memiliki kesamaan ideologi (doktrin) dan berupaya untuk menduduki kekuasaan dengan serangkaian rencana langkah yang terukur dan terarah.
Melihat pemikiran di atas tidak ada yang salah dengan partai politik yang ada saat ini. Semua memang sudah dapat dikategorikan sebagai partai politik apalagi yang memang jelas secara juridis formal sudah melengkapi syarat–syarat seperti diatur peraturan perundang-undangan di Negara Kesatuan Republik Indonesia. Namun nampaknya pencarian partai politik idaman ini akan dibenturkan pada sebuah kajian teoritis umum mengenai fungsi partai politik. Kualitas sebuah partai politik dapat dinilai dengan indikator fungsi partai politik secara teoritis.
Adapun fungsi partai politik yang ideal menurut Gabriel A. Almond dan Coleman adalah: pertama, berpartisipasi dalam sektor pemerintahan, dalam arti mendudukkan orang-orangnya menjadi pejabat pemerintah, sehingga dapat turut serta mengambil atau menentukan keputusan politik ataupun output pada umumnya, kedua, berusaha melakukan pengawasan, bahkan oposisi bila perlu, terhadap kelakuan, tindakan, kebijaksanaan para pemegang otoritas (terutama dalam keadaan mayoritas pemerintahan tidak berada dalam tangan partai politik yang bersangkutan), ketiga, berperan untuk dapat memadu tuntutan-tuntutan yang masih mentah, sehingga partai politik bertindak sebagai penafsir kepentingan dengan mencanangkan isu-isu politik yang dapat diterima dan diterima oleh masyarakat secara luas. Untuk itu paling tidak ada berapa pegangan atas pencarian partai politik idaman yang kita lakukan.
Edukasi politik, untuk meningkatkan pengetahuan politik rakyat dan agar mereka dapat berpartisipasi secara maksimal dalam sistem politiknya. Sejatinya pendidikan politik dapat diterima di manapun. Baik itu di lembaga pendidikan formal maupun tempat yang bukan lembaga pendidikan. Dan partai politik adalah salah satu yang harus paling bertanggungjawab atas pemenuhan kebutuhan rakyat akan pendidikan politik.
Partai politik tak sedikit yang melakukan pendidikan politik dalam bentuk pelatihan kader atau kursus–kursus. Namun pendidikan itu terbatas pada rakyat yang sudah terdaftar sebagai kader. Jarang sekali ditemukan partai politik yang melakukan pendidikan politik yang terbuka untuk umum. Lantas bagaimana dengan rakyat yang belum yakin untuk bergabung dengan partai politik? Akhirnya partai politik menjadi organisasi yang eksklusif namun tidak selektif.
Sosialisasi politik, untuk menghubungkan pikiran politik yang hidup dalam masyarakat dengan pemerintah. Menurut Rusadi, sosialisasi politik dapat disamakan dengan komunikasi politik yang tak lain adalah proses interaksi, stimulikontra-stimuli, penyampaian fakta, kepercayaan, kelakuan, reaksi emosional dalam bidang atau tentang objek politik.
Sedangkan di lapangan rasanya sulit sekali untuk dapat bertemu dengan wakil kita di dewan perwakilan. Feodalisme menjadi budaya yang akhirnya dilestarikan demi kenyamanan para elit. Selain itu juga, partai politik di level akar rumput nampak tak terbiasa menyampaikan pesan politik dari pemerintah kepada rakyat dan juga menerima aspirasi rakyat untuk pemerintah.
Fungsi partai politik sebagai fasilitator antara rakyat dan penguasa tidak berjalan dengan baik karena selain memang tidak dibina, kegiatan kantor (atau sekretariat atau rumah) partai politik di level akar rumput hanya terlihat eksis bila mendekati hajatan demokrasi saja (Pemilu dan Pilkada). Akhirnya partai politik menjadi handphone tak berpulsa dan tak berbaterai, mengenaskan.
Seleksi Politik untuk mendapatkan pemimpin terbaik yang dihasilkan dari rangkaian pendidikan politik yang sistematis dan selektif atas dasar kompetisi yang ketat. Partai politik berfungsi untuk mencetak kader-kader unggulan dan lantas menyeleksinya. Herman Finer mendeskripsikan sifat ideal pemimpin (baik itu yang terlahir alamiah maupun yang dibina secara buatan) adalah memiliki kesadaran, kebulatan pandangan, ketetapan jiwa, keyakinan, kreatif, manusiawi, berani, kemampuan yang memukau, dan kepandaian.
Namun pada kenyataannya partai politik sebagai political vehicle ternyata lebih senang direntalkan kepada orang yang mempunyai kemampuan membayar dana sewa. Tak peduli orang seperti apa yang mau menyewa yang penting dia punya kapabilitas finansial untuk membayar ongkos sewa maka dia akan diantarkan menuju kursi yang diharapkan. Jadi, orang miskin jangan berpolitik!
Artikulasi politik, untuk menampung kepentingan konstituen kemudian memformulasinya menjadi sebuah kepentingan kolektif. Artikulasi ini melalui proses sintesis aspirasi banyak orang. Namun karena sudah saya paparkan di atas bahwa partai politik menjadi organisasi yang eksklusif maka sulit bagi publik menyertakan pandangannya dalam penampungan tersebut.
Karena fungsi sosialisasi yang tidak berjalan baik maka hanya elit partai atau yang memiliki akses langsung akibat hubungan emosional ke elit saja yang dapat memasukkan aspirasinya untuk ditampung dalam rangka artikulasi kepentingan tersebut. Akar rumput jelas tak memiliki kemampuan untuk menjangkau ini karena perangkat partai politik di tingkat ini tidak berjalan dengan optimal. Maka partai hanya menjadi milik elit belaka.
Manajemen konflik, ketidaksamaan pandangan yang berujung pada kepentingan yang beragam merupakan salah satu dari banyak penyebab konflik. Untuk itu, partai politik berfungsi untuk dapat mengelola konflik agar tidak menimbulkan dampak negatif terhadap kehidupan bernegara dan bermasyarakat. Untuk hal ini, jangan dulu berbicara pada tataran eksternal partai, konflik internal partaipun seringkali tak dapat diselesaikan oleh partai politik tersebut yang berakibat separasi partai politik. Muncullah partai–partai baru sebagai pecahan dari partai lama. Logika sederhanya adalah bagaimana mungkin sebuah partai dapat mengelola konflik di tingkat masyarakat dan Negara bila konflik internal saja tidak dapat dikelola dengan baik?
Dari berbagai paparan teoritis yang disandingkan dengan empiris tersebut nampaknya memang tak dapat disalahkan apabila rakyat kehilangan kepercayaan terhadap partai politik karena memang partai politik tidak dapat melaksanakan fungsinya secara holistik dan kompresehensif. Idiom bahwa partai politik adalah kendaraan menuju kekuasaan telah mendistorsi fungsi partai politik itu sendiri.