Surat kabar (koran) berasal dari kata "pers" dalam bahasa asing yang digunakan juga dalam Bahasa Indonesia. Kata tersebut diartikan sebagai percetakan atau mesin cetak. Mesin cetak inilah yang digunakan dalam penerbitan surat kabar.
Mesin cetak yang dibawa pertama kali ke Jawa pada tahun 1659 menjadi titik awal kehadiran surat kabar. Pada awal perkembangannya, surat kabar berbentuk sederhana, yakni berupa lembaran-lembaran kertas yang dipublikasikan secara lokal, hingga dalam bentuk yang sekarang dengan halaman yang banyak.
Di Indonesia, perkembangan surat kabar dipengaruhi oleh pemerintah kolonial Belanda. Dalam perkembangannya, pers di Indonesia oleh Surjomihardjo dibagi menjadi dua babak.
Babak pertama (babak “putih”), semua surat kabar sepenuhnya dimiliki oleh orang-orang Eropa, baik isi maupun bahasa. Bahasa yang digunakan adalah bahasa Belanda dan untuk kepentingan Belanda. Babak pertama berlangsung selama 90 tahun, yakni mulai 1744 hingga 1854.
Babak kedua berlangsung sekitar tahun 1854 sampai Kebangkitan Nasional. Masa ini masih terdapat surat kabar berbahasa Belanda yang masih menduduki posisi penting, tetapi di sisi lain telah terbit juga yang berbahasa Melayu.
Surat kabar berbahasa Melayu kemudian berkembang sampai masa Kebangkitan Nasional, di mana pekerja pers, redaktur, adalah orang-orang peranakan Tionghoa dan masyarakat pribumi. Bahasa yang digunakan pun adalah bahasa Indonesia. Medan Prijaji merupakan koran pertama yang dikelola pribumi dengan uang dan perusahaan RM Tirto Adhi pada tahun 1907.
Tirto adalah orang pertama yang menggunakan surat kabar sebagai alat propaganda dan pembentuk pendapat umum. Kisah perjuangan Tirto diangkat oleh Pramoedya Ananta Toer dalam Tetralogi Buru dan Sang Pemula.
Lambat laun, dengan bertambahnya usia bangsa Indonesia, makin banyak menghadirkan surat kabar baru. Setelah Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia misalnya, sudah ada berita yang terbit di Jakarta dengan nama koran Tjahaja, lalu yang kemudian berubah nama menjadi Soeara Merdeka dan mengalami perubahan nama lagi menjadi Harian Pagi.
Tidak hanya koran dari Indonesia, namun terdapat beberapa koran asing yang akhirnya diambil alih Indonesia, seperti Asia Raya (Koran Merdeka), koran Tjahaja (Soeara Merdeka), Sinar Biroe (Warta Indonesia), Sinar Matahari (Kedaulatan Rakyat), Soeara Asia (Suara Rakjat), dan masih banyak lagi.
Banyaknya media cetak yang menerbitkan koran tidak redup sampai saat ini. Penerbitan surat kabar sudah merambah ke daerah-daerah nusantara. Setiap daerah memiliki surat kabarnya sendiri dan nama surat kabar tersebut mengambil nama daerahnya yang kemudian dijadikan sebagai nama dari surat kabar tersebut.
Percetakan surat kabar atau koran tidak makin sedikit, namun eksistensi penikmat pembacanya yang mulai redup. Hal ini mengingatkan kita pada film-film zaman dahulu yang selalu menghadirkan adegan tukang pos melemparkan surat kabar di depan rumah.
Ini tidak hanya hadir di film-film saja. Dari Indonesia, setelah merdeka, sudah banyak surat kabar langganan para warga yang mampir di depan rumah setiap paginya. Kebiasaan-kebiasaan tersebut berlangsung hingga abad 20.
Pada abad 21 ini, surat kabar atau koran sudah jarang dibeli atau dikonsumsi warga Indonesia. Karena segala informasi sudah bisa didapatkan dengan perkembangan teknologi yang makin canggih.
Hal ini memang sangat membantu dan memudahkan dalam memperoleh informasi. Tapi sayangnya, lembaran kertas koran jadi menumpuk. Sudah jarang yang berminat menerbitkan tulisannya di surat kabar, meski juga tidak membuat surat kabar lantas tidak bergeming.
Adanya teknologi dengan bantuan internet untuk mengakses semua informasi sangat membantu dalam memperoleh informasi. Namun sebagian masyarakat Indonesia masih banyak yang menggunakan atau bahkan berlangganan surat kabar demi memperoleh informasi dan dibaca dengan tidak hanya berhadapan dengan layar monitor dengan nyala lampu LCD mini.
Di zaman serbateknologi seperti sekarang, kita juga masih bisa menjumpai orang-orang yang masih berjualan koran di lampu merah atau kaki lima di dekat kampus.
Surat kabar/koran yang sudah tidak terpakai sering dimanfaatkan dalam hal lain. Menumpuknya koran yang sudah tidak terbaca kadang hanya menjadi bungkus gorengan alas meja, dan lain sebagainya.
Penelitian bidang kesehatan menyatakan bahwa pembungkus makanan yang terdapat tulisan tinta kurang baik bagi kesehatan. Seperti kata Dr. Jayabalan dikutip Asiaone.com, pelarut yang digunakan untuk melarutkan tinta koran bersifat karsinogen. Koran atau surat kabar yang sudah tidak terpakai bisa didaur ulang untuk membuat kerajinan, tapi saat ini masih jarang dijumpai.
Ada beberapa orang-orang kreatif yang sudah mampu mengubah koran bekas menjadi benda yang bernilai seni tinggi seperti miniatur motor, miniatur rumah, dan masih banyak lagi.
Belajar menghargai dan memanfaatkan barang yang sudah tidak terpakai dengan optimal ini memang bukan kegiatan yang mudah. Tentunya membutuhkan keuletan dan kesabaran dalam membuatnya. Ini juga akan membutuhkan waktu yang tidak sebentar karena yang dibuat dengan tangan tidak bisa secepat pembuatan mesin.
Museum-museum yang sering dijumpai, banyak yang membuat miniatur sejarah benda atau bahkan gambaran peristiwa menggunakan melamin, semen, ataupun tanah liat yang dibentuk sedemikian rupa.
Seharusnya kerajinan kertas juga tak kalah bergengsi dan uniknya dengan benda-benda tersebut. Selain bisa memanfaatkan barang-barang yang sudah tidak terpakai, juga tidak membutuhkan biaya yang tinggi. Kebanyakan miniatur-miniatur yang terbuat dari kertas adalah dengan mengonsumsi kertas baru yang didesain sedemikian rupa, sehingga tampilannya menawan.
Kali ini berpikir untuk membuat miniatur dari kertas koran yang penuh dengan tulisan bisa dibayangkan akan lebih unik dan sudah dilakukan oleh beberapa orang kreatif. Tak ada salahnya jika belajar memanfaatkan hal tersebut dan menerapkan untuk generasi mendatang.
Kerajinan membuat miniatur-miniatur benda dengan kertas koran juga bisa menjadi alternatif bagi pembelajaran karya seni di sekolah-sekolah yang sering disebut mulok.