Dulu, saat masih muda, saya ada dalam pusaran Islam politik Masyumi (Majelis Syuro Muslimin Indonesia, partai politik di era Orde Lama), meski hanya di pinggiran. Jika distribusi informasi pusat-daerah homogen dan berimbang, maka perasaan dan pikiran saya akan kurang lebih sama dengan perasaan dan pikiran Islam politik yang ada di pusat pusaran. Artinya, pikiran dan perasaan saya bisa dianggap mewakili perasaan umum warga Islam politik Masyumi.

Satu hal yang saya ingat adalah, adanya pandangan negatif Islam politik Masyumi terhadap Islam politik Nahdlatul Ulama (NU), bahwa Masyumi memandang NU itu sebagai "pengkhianat" perjuangan "ummat Islam". Kata ummat Islam saya beri tanda petik karena itu adalah klaim sepihak, bahwa Masyumi merasa merekalah pemegang sah merk ummat Islam, sedang NU bukan.

Dalam momen rapat pengurus alumni Pelajar Islam Indonesia (PII) di rumah KBPII (Keluarga Besar PII) di bawah kepengurusan Soetrisno Bachir, dihadiri sebagian oleh alumni yang aktif di PBB, PAN, PPP, dan PKS, saat "ummat Islam" membela Foke menghadapi Jokowi dalam pilkada DKI 2012, saya menyampaikan kritik saya, bahwa pemikiran Masyumi yang dengan seenaknya mengklaim mana ummat mana bukan, pola minna-minkum, sebaiknya ditinggalkan.

Jokowi adalah Muslim, kenapa tidak dianggap sebagai ummat? Sebaliknya, Foke yang juga Muslim tapi tidak pernah jelas riwayat diri dan keluarganya dalam garis Masyumi, dengan mudah diklaim sebagai bagian dari ummat, atas dasar apa? Kelucuan itu berlanjut saat Prabowo diangkat sebagai panglima perang "ummat Islam" dalam pilpres 2014 yang lalu, atas dasar apa?

Pola pikir politik Masyumi menurut saya sudah obsolete. Anak-anak muda seumuran anak saya kelahiran 1990an sudah jauh lebih terbuka. Mereka tidak lagi ada dalam sekat-sekat politik aliran. Belum lagi bukti perolehan suara dari pemilu-ke-pemilu yang menunjukkan menurunnya suara partai Islam.

Suara partai berbasis NU, baik PKB, PKNU, maupun PPP yang merupakan partai hybrid NU-Masyumi, tidak berbanding lurus dengan klaim jumlah warga NU yang konon mencapai 50 juta. Juga terjadi dengan Muhammadiyah, partai berbasis Muhammadiyah, baik PAN maupun Matahari Bangsa, perolehan suaranya jauh dari klaim 25 juta jumlah warga Muhammadiyah.

Fenomena lain adalah semakin banyaknya alumni Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) dan sejenisnya yang di hari tuanya justru lebih rajin ke masjid dibanding alumni Himpunan Mahasiswa Islam (HMI). Banyak orang abangan di masa pensiun rajin belajar alif ba ta agar bisa membaca al-Quran. Mereka menunjukkan semakin dekat dengan ajaran Islam tapi dengan corak aliran politik yang tetap nasionalis.

Yang di masa mudanya dianggap sebagai "musuh ummat Islam", di hari tuanya justru semakin dekat dengan ajaran Islam, sementara yang muda anak-cucu Masyumi banyak yang semakin terbuka pemikirannya -- tidak kalah dengan anak muda NU yang progresif.

'Ala kulli hal, membuat sekat minna-minkum sambil bermimpi terwujudnya persatuan Islam adalah sebuah paradoks. Menganggap yang berbeda pilihan politiknya sebagai "bukan ummat", kalau dulu hanya disebut nasionalis sekuler, sekarang bahkan lebih parah disebut sebagai komunis, kafir, munafiq, itu sama saja mempertebal tembok pemisah. Itu bukan menyatukan, bukan ukhuwah.

Karena itu, saya berpendapat, politik Masyumi itu sudah usang, obsolete, harus dicari cara baru yang lebih selaras dengan jaman, karena sekarang ini jamannya toldemiyah - Toleransi Demokrasi Islamiyah.