Pernyataan terlontar dari Ketua Tim Kampanye Nasional Jokowi-Ma’ruf Amin yakni Erick Thohir  yang belakangan ini menjadi topik hangat dan kerap menjadi polemik ditengah masyarakat. Multitafsir atas diksi yang dipilih oleh mantan Ketua INASGOC ini bermunculan kini ramai diperbincangkan. Sikap pro dan kontra semakin banyak terlihat diruang publik.

Pernyataan yang dimaksud disampaikan saat berlangsungnya acara workshop internal Bidang Hukum dan Advokasi Tim Kampanye Nasional (TKN) dan Tim Kampanye Daerah (TKD) Joko Widodo-Ma'ruf Amin di Jakarta Pusat pada 13 Desember 2019 lalu.

Pertarungan Pilpres kali ini menghadirkan tensi yang berbeda, lebih berwarna, dan lebih beraroma milenial. Salah satu sosok yang terbilang berpengaruh pada dunia sepak bola eropa kini berdiri tegak sebagai ujung tombak pemenangan pasangan calon nomor urut 01.

Ya, tentu Erick Thohir, seorang yang yang pernah dipanggil “Presidente” akan mengawal seorang “Presiden” yang akan bertarung kembali pada 2019 mendatang. Maka menjadi perhatian bagi kaum milenial atas segala bentuk aksi maupun reaksi dari seorang Erick Thohir yang didaulat sebagai Ketua Tim Kapanye Nasional Jokowi-Ma’ruf Amin ini. 

Diksi

Pembahasan sekitar sepakbola tidak pernah padam dalam sanubari pada penggemar cabang olahraga yang satu ini. Baik pemain, official, pemilik klub, hingga fans akan selalu mengikuti perkembangan yang ada dalam dunia sepakbola.

Tidak terlepas dari seorang Erick Thohir, yang pernah memiliki saham 70% di klub Inter Milan dan pernah menjabat sebagai Presidente dari klub tersebut.

Menyoal diksi yang dipakai oleh ketua TKN Jokowi-Ma’ruf Amin yakni “ofensif” terhadap berbagai serangan-serangan yang lancarkan oleh kubu pasanagan calon nomor 02, alam demokrasi mengamini politik sebagai sebuah pertarungan ataupun persaingan.

Namun jika ditarik dari paradigma seorang pecinta sepakbola dalam kaitannya berpolitik, pertarungan dan persaingan yang dimaksud adalah bagaimana bermain dan menunjukkan strategi permainan yang menarik, berkelas, mengejar keunggulan angka, bukan pertarungan yang mencedari lawan, mengakibatkan luka, atau melakukan pelanggaran.

Ofensif dalam permainan sepak bola dapat dipahami sebagai gaya permainan menyerang. Antonim dari kata tersebut yakni defensif juga sempat terlontar sebagaimana kubu Jokowi-Ma’ruf Amin selama ini menunjukkan gaya political game yang bertahan sesuai makna dari defensif tersebut.

Pemilihan kata-kata demikian menjadi hal yang lumrah bagi seorang Erick Thohir dan menjadi kata yang tempat digunakan jika mengingat olahraga ini menempati posisi tertinggi di tengah preferensi cabang olahraga masyarakat Indonesia. Maka seketika viral!

Pun perlu dipahami jika pemilihan diksi itu menjadi sebuah paradigma dalam berpolitik maka kubu Jokowi akan sangat diuntungkan karena akan menghadirkan sebuah political game yang sangat menarik, modern, dan kompetitif sesuai tata aturan yang berlaku.

Berbeda dengan kubu sebelah yang menamai markasnnya sebagai “pos pertempuran”, Erick lebih diunggulkan dengan memilih istilah persaingan dalam sepak bola kompetitif yang mengisyaratkan perdamaian daripada persaingan yang bermakna pertempuran, adu moncong senjata, dan peperangan.

Strategi Ofensif

Setelah beberapa kali “permainan kasar” yang terlihat, kubu 01 melalui Erick Thohir harus mampu memberikan terobosan baru yakni menghadirkan bentuk perlawanan yang attraktif dan memasifkan raihan angka.

Angka yang dimaksud disini adalah data fakta mengenai realisasi pembangunan dibawah kepemimpinan Jokowi. Disamping adu visi-misi, adu prestasi merupakan satu hal yang perlu dinarasikan secara luas ke tengah masyarakat.

Sebagaimana terlihat pembangunan infrastruktur yang menyentuh pedalaman hingga ke daerah ujung timur Indonesia menjadi catatan penting bagi masyarakat jika prestasi merupakan suatu tolak ukur.

Pun pembangunan waduk untuk mendukung ketahanan air dan pangan nasional, jalan tol, pelabuhan, bandar udara yang terus di genjot Jokowi 1 periode kepemiminannya terus digenjot dan masuk kedalam Proyek Strategis Nasioanal yang termaktub dalam Perpres No. 3 Tahun 2016.

Namun berbeda dengan praktik pertandingan “dilapangan”, persaingan dalam alam demokrasi kita dicederai dengan political game yang merugikan bangsa. Persaingan untuk merebut tampuk kekuasaan diwarnai dengan tindakan yang berpotensi memecah-belah bangsa.

Untuk bersaing, upaya mengikis elektabilitas Jokowi para oknum terkait menyerang dengan serbuan hoax, dari mulai isu kebangkitan PKI, Jokowi keturunan PKI, intoleran, dan yang terbaru adalah kasus E-KTP tercecer yang dikaitkan dengan Jokowi.

Hal tersebut merupakan sebuah tindakan yang jelas mencederai demokrasi. Meminjam istilah dalam persepakbolaan, “fair play” pun seakan tidak dijunjung tinggi oleh oknum-oknum tersebut.

Menelisik strategi ofensif Erick Thohir, yang dimaksud dengan “menyerang” adalah dengan lebih mengedepankan narasi positif tentang keadaan bangsa dan pembangunan yang sudah terlaksana, pun tidak lupa adu program serta gagasan, hingga kepada track reccord dari para Paslon.

Erick Thohir paham akan diksi yang digunakannya yakni “ofensif”, yang mana akan menghadirkan persaingan yang sportif dengan syarat tidak ada pelanggaran, melukai, apalagi mencedari, karena ini berbicara soal proses demokrasi.

Siapa yang mencederai proses demokrasi dengan segala bentuk political game yang rusuh, intoleran, menyebar hoax, dan menabur kebencian maka mereka menghianati bangsa sendiri.