Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) atau di Aceh disebut dengan Panitia Pengawas Pemilihan (Panwaslih) merupakan badan penyelenggara Pemilu yang bertugas mengawasi penyelenggaraan Pemilu. Tidak hanya itu, Bawaslu juga bertugas mencegah terjadinya pelanggaran Pemilu serta menindak pelanggaran-pelanggaran Pemilu yang dilaporkan atau menjadi temuan Bawaslu itu sendiri.
Fungsi terakhir ini, yakni menindak pelanggaran Pemilu kerap disandingkan dengan slogan Bawaslu sebagai lembaga yang menegakkan keadilan Pemilu. Bawaslu bahkan selalu menggunakan jargon Bersama Rakyat Awasi Pemilu, Bersama Bawaslu Tegakkan Keadilan Pemilu dalam setiap kegiatan-kegiatan mereka. Namun, tidak sedikit orang yang dilaporkan atau berperkara di Bawaslu malah menemukan ketidakadilan di sana.
Anggapan ini mungkin akan mudah disangkal karena dipandang subjektif. Karenanya, tulisan ini juga tidak akan menjadikan subjektivitas para pihak yang berperkara sebagai dasarnya. Di sini, penulis justru ingin menguji anggapan di atas dengan menyorot beberapa Pasal dalam Peraturan Bawaslu terkait dengan mekanisme penagakan hukum Pemilu di Bawaslu.
Sebelum jauh ke sana, penting dikemukakan bahwa penegakan hukum Pemilu di sini dibatasi pada tugas Bawaslu dalam menindak pelanggaran Pemilu yang dipersempit pada fungsi Bawaslu dalam menyelesaikan pelanggaran administratif Pemilu. Sebagaimana diketahui, Bawaslu diberi kewenangan tidak hanya menerima, memeriksa, dan mengkaji, juga memutus laporan/temuan pelanggaran administratif Pemilu; yang terakhir adalah tugas baru bagi Bawaslu.
Pembatasan di atas dikarenakan tidak semua pelanggaran Pemilu diselesaikan oleh Bawaslu. Pelanggaran yang putusannya berada di Bawaslu hanyalah pelanggaran administratif Pemilu. Sedangkan pelanggaran kode etik bagi penyelenggara Pemilu diselesaikan oleh Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu dan tindak pidana Pemilu diselesaikan di Pengadilan Negeri.
Adapun terhadap peraturan perundang-undangan lainnya, Bawaslu hanya sebatas memberi rekomendasi ke instansi terkait. Singkatnya, selain pelanggaran administratif Pemilu, putusannya berada di instansi atau lembaga lain sesuai dengan jenis pelanggaran yang dilakukan.
Perkara lain yang dapat diselesaikan oleh Bawaslu adalah sengketa proses Pemilu. Sengketa proses Pemilu tidak dibahas pada kesempatan ini karena punya persoalan yang relatif berbeda dan mustahil dirangkum dalam tulisan yang singkat ini.
Penyelesaian pelanggaran administratif Pemilu, pelanggaran bersumber dari laporan dan temuan (Pasal 23 Perbawaslu 8/2018). Ini yang menjadi problem utama. Untuk laporan mungkin tidak begitu bermasalah, yang layak disoal di sini adalah temuan Bawaslu sebagai sumber pelanggaran.
Sebagaimana didefinisikan, temuan adalah hasil pengawasan Bawaslu dan seluruh jajarannya pada setiap tahapan penyelenggaran Pemilu yang mengandung dugaan pelanggaran Pemilu (Pasal Pasal 1 Ayat 25 Perbawaslu 7/2018). Berdasarkan definisi ini, konflik kepentingan potensial terjadi.
Sekurang-kurangnya, pengawas yang menyelesaikan akan sangat berpotensi memenangkan Penemu dibanding Terlapor. Objektivitas Majelis Pemeriksa (Hakim) layak diragukan. Hal ini mungkin akan disangkal dengan alasan bahwa temuan pelanggaran administratif diselesaikan oleh Pengawas setingkat di atasnya.
Artinya, jika yang menemukan adalah Bawaslu Kabupaten, maka Bawaslu Provinsi-lah yang menjadi Majelis Pemeriksa-nya. Problemnya bukan karena yang mengadili orang lain, melainkan karena yang mengadili adalah lembaga yang sama. Tidak hanya karena mereka satu lembaga yang hierarkis, juga karena terdapat fungsi koordinasi dan supervisi di sana.
Alhasil, sangat kecil kemungkinan suatu temuan yang telah terkoordinasi akan ditolak pada sidang pendahuluan maupun pada sidang pemeriksaan. Mestinya fungsi pengawasan tidak akan digabung dengan fungsi ajudikasi. Selain itu, mungkin masih dapat ditoleransi.
Masalah kedua, hanya ada satu upaya hukum jika Terlapor tidak puas atas putusan yang diterimanya, yakni mengajukan koreksi ke Bawaslu RI; masih lembaga yang sama. Problemnya, Bawaslu RI berada di ibu kota negara. Bayangkan jika yang dirugikan adalah orang yang tidak punya uang lebih, apakah Bawaslu RI dapat menerima permohonan koreksi melalui surat, telepon seluler, atau email?
Nyatanya, yang mengajukan permintaan koreksi diperintahkan datang langsung ke Bawaslu RI (Pasal 61 Ayat 2 Perbawaslu 8/2018). Tentu tanpa jaminan. Upaya koreksi ini tidak melalui proses pembuktian. Majelis Pemeriksa hanya akan memeriksa aspek penerapan hukum (judex juris) dan bukan fakta yang mungkin dikelabui oleh bawahannya (Pasal 62 Ayat 3 Perbawaslu 8/2018).
Ketiga, dan ini kritik terakhir yang layak diajukan ialah menyangkut dengan profesionalisme Majelis. Pada level tertentu, sebut saja di Bawaslu RI, kualifikasi sebagai Majelis Pemeriksa boleh jadi memadai. Tapi, apakah kualifikasi itu dimiliki oleh Majelis Pemeriksa yang notabenenya adalah Komisioner yang berasal dari beragam latar belakang pendidikan?
Padahal, untuk menjadi Hakim di lembaga peradilan, seseorang tidak hanya memiliki background pendidikan hukum/syariah, melainkan harus lulus CPNS dan telah mengikuti diklat prajabatan (enam bulan) dan diklat calon hakim selama dua setengah tahun. Sedangkan Komisioner Bawaslu di Provinsi/Kab/Kota tidak demikian.
Komisioner Bawaslu Provinsi/Kabupaten/Kota yang jumlahnya hanya 3 sampai 5 orang hanya dibekali teknik-teknik persidangan dan sejenisnya lewat Rapat Koordinasi, Rapat Kerja Teknis, Bimbingan Teknis, dan bentuk-bentuk kegiatan lainnya. Model pendidikan demikian jelas tidak memadai untuk menjadi seorang Majelis Pemeriksa (Hakim) dalam sidang pemeriksaan penyelesaian pelanggaran administratif Pemilu.
Solusi jangka pendek untuk problem di atas adalah dengan membatasi (meniadakan) fungsi koordinasi dan supervisi jika terdapat suatu temuan. Temuan harus disamakan dengan laporan di mana Majelis Pemeriksa dilarang untuk berkomunikasi dengan pelapor, terlapor, saksi, dan ahli terkait dengan pelanggaran yang sedang diperiksa di luar proses pemeriksaan (Pasal 18 Ayat 1 Perbawaslu 8/2018).
Mestinya komunikasi dengan Penemu juga dilarang, termasuk berkomunikasi kepada Bawaslu RI perihal perkara yang sedang ditangani. Selain untuk menjaga netralitas dan objektivitas Majelis Pemeriksa, hal ini juga untuk menghindari terjadinya intervensi dalam pengambilan putusan.
Bukankah sebelum dibacakan dalam sidang yang terbuka untuk umum, putusan itu harus dirahasiakan? Adapun solusi lain, dan ini menjadi pembicaraan di antara para pakar dan pemangku kepentingan, adalah dengan mengalihkan fungsi ajudikasi kepada suatu badan yang sudah ada atau badan baru yang benar-benar memiliki kualifikasi sebagai peradilan.