Suatu saat para penentang reklamasi pantai Jakarta akan duduk ngopi dan tertawa terbahak-bahak di atas tanah reklamasi itu. Hanya masalah waktu saja.
Lihat saja sekarang para aktivis penentang reklamasi pantai di Manado tahun 1999-2000, baik yang di Manado maupun dari Jakarta, seperti Walhi, tempat rapatnya pun pindah di Mall di atas tanah reklamasi. Saya masih yakin itu bukan inkonsistensi perjuangan, tapi pemahaman yang telat tentang manfaat dari reklamasi.
Pemahaman yang telat datangnya itu juga sering kali melahirkan kenaifan dalam berpikir dan bertindak. Lucu mendengarnya bila ada aktivis lingkungan mengatakan reklamasi pantai itu hanya untuk orang kaya. Bagi saya, itu pernyataan paling lucu di tahun 2016.
Hasil reklamasi Manado bisa mempekerjakan 3000 - 5000 orang, dan pastinya mereka yang bekerja itu dari anak-anak petani dan nelayan yang ada di Kota Manado dan sekitarnya. Belum lagi ada lahan baru bagi PKL di atas tanah reklamasi teluk Manado.
Ke mana nelayan yang dulu "diatasnamakan" saat menolak reklamasi pantai Manado? Kini, sebagian pindah profesi seperti jadi PKL. Dan anak-anak mereka banyak yang bekerja di mall-mall di atas lahan reklamasi.
Apakah ini bagian proses pemiskinan? Jawabnya tetap tidak. Toh mereka tetap hidup dan tetap dalam standar hidup yang layak.
Perpindahan corak produksi itu biasa dalam peradaban, bukan proses pemiskinan. Sama halnya perpindahan corak produksi dari zaman feodal ke zaman industri. Tidak ada yang aneh, toh manusianya tetap hidup.
Urusan perpindahan corak produksi, misalnya dari petani jadi buruh, atau dari nelayan ke PKL, tanpa disadari, kerap melahirkan perdebatan panjang yang tak pernah berujung.
Bagi kelompok NGO, anti-kemapanan, atau aktivis semi-sosialis, situasi itu pasti akan dikatai-katai: proses pemiskinan sementara berlangsung. Imbas dari paradigma ini, menganggap semua tindakan, baik yang secara langsung atau tidak, yang berpotensi mengubah corak produksi masyarakat adalah lawan yang harus dikalahkan. Seram banget.
Saya nggak bisa membayangkan bila aktivis yang berpikir seperti ini hidup di awal penemuan mesin uap. Mungkin mereka akan berkata hal yang sama: “Mari tolak mesin-mesin uap itu karena akan menghilangkan jalan kaki masyakarat.” Lucu, kan?
Kembali pada urusan reklamasi. Kemiskinan nelayan itu tidak ada hubungannya dengan reklamasi pantai. Kemiskinan itu lebih disebabkan karena teknologi penangkapan yang masih tradisional. Seharusnya kata “tradisional” ini harus diperjuangkan hingga berubah jadi kata “modern”.
Mungkin para aktivis itu sesekali ikut nelayan ke laut, sekaligus bisa mengamati dan membandingkan teknologi yang dipakai nelayan asing dan nelayan kita.
Gap-nya kelihatan banget. Nelayan asing sudah menggunakan peralatan modern, yang bisa membuat ikannya datang sendiri. Sementara nelayan kita masih menggunakan lampu petromaks.
Nelayan asing sudah menangkap 100 ekor ikan Tuna, sementara nelayan kita baru nangkap satu ekor ikan kembung. Ya, kalau yang begini ini dipertahankan, sampai kiamat pun nelayan kita tetap miskin. Itulah problem nyata dari kemiskinan nelayan.
Jadi, menurut saya, yang menolak reklamasi itu sebaiknya memperjuangkan penguatan teknologi. Karena tangkapan nelayan itu—ada atau tidak ada reklamasi—makin ke laut dalam.
Ikan dan makhluk lain yang hidup di laut tidak mungkin terus ada di laut dangkal; lama-kelamaan akan ke laut dalam. Tentunya nelayan butuh teknologi penangkapan yang lebih modern. Itulah yang paling nyata dibutuhkan nelayan saat ini.
Sepanjang kita tetap mempertahankan kata “tradisional” itu melekat pada nelayan, maka selamanya kita merestui kemiskinan menodong hidup mereka. Terkecuali kalau kita mau jadikan kemiskinan nelayan sebagai jualan yang seksi, itu mah urusan lain.
Siapa yang bisa menjamin bila reklamasi Jakarta dihentikan akan membuat nelayan itu sejahtera? Pasti tidak ada aktivis yang bisa memberikan jaminan itu.
Jadi, apa yang mereka perjuangkan? So, jawabnya tidak ada. Hantam kromo saja. Yang penting ada lawan dan tetap dianggap aktivis yang eksis. Sebagian besar aktivis selalu berpikir: bila tidak ada yang "dilawan", itu bukan advokasi, tapi ngerumpi doang.
Ada juga teman, pengusung anti-neoliberalisme, dengan penuh semangat mengatakan: “Apa pun alasannya, kita harus tolak reklamasi pantai. Kita harus tolak arus modal masuk!” Wah, kalau teman yang ini bukan naif lagi, tapi gila sudah.
Sampai sekarang, saya tidak menemukan referensi sebuah negara yang kemudian rakyatnya kaya dan makmur karena menolak modal masuk. Ada sih negara yang menolak modal, investasi, dan teknologi masuk, seperti Korea Utara. Tapi kita harus siap-siap masuk dalam musim kelaparan.
Oh, iya, kadang beberapa teman-teman “semi marxis” mengambil contoh negara Venezuela yang dianggap gerakan kirinya berhasil. Tapi kabar terakhir dari venezuela, negaranya melakukan pemadaman bergilir.
Presidennya sampai-sampai harus melarang perempuannya menggunakan mesin pengering rambut, karena negaranya kekurangan energi listrik. Mau seperti ini? Bisa-bisa aktivis perempuan tiduran di depan Istana Merdeka.
Karena itu pula, saat ini, saya berpikir ekstriem: aktivis yang saat ini berteriak menolak reklamasi pantai Jakarta sesungguhnya lagi memelihara kemiskinan pada warga kota Jakarta. Kalau yang ini, ya harus dilawan!