Menyikapi banyaknya persekusi yang terjadi di Indonesia belakangan ini seiring dengan kebangkitan kaum fundaemntalis, mengingatkan saya pada serial Game of Throne, yang di salah satu episodenya menceritakan tentang kebangkitan kaum fundamentalis High Sparrow di Kings Landing. High Sparrow sendiri memiliki visi yang kuat untuk menegakkan kembali norma-norma di tengah masyarakat yang dianggap sangat jauh dari ajaran agama. Bahkan, aksi pembersihan yang dilakukan Sparrow mampu menekan arogansi sang Ratu, Cersei Lannister, hingga mempermalukan dia seperti mengaraknya dengan bertelanjang di hadapan seluruh rakyat.

Menganalogikan kondisi Kings Landing dengan Indonesia tentu bukanlah hal yang tepat, karena keduanya memiliki dialektika historis yang jauh berbeda. Namun dari serial tersebut, kita bisa mengatakan jika kebangkitan dari kaum fundamentalis sangat berbahaya dan perlu diwaspadai. Alih-alih mendamaikan, kemunculan kaum fundamentalis ini bisa jadi akan menggoyang tapuk pemerintahan yang ada hingga menciptakan berbagai kegaduhan di masyarakat.

Terlebih, mengingat tahun ini merupakan tahun politik dimana pertarungan berbagai calon kepala daerah terjadi dan tentunya dengan diiringi penggorengan isu politik untuk saling serang. Dan salah dua isu yang paling empuk untuk di serang yakni isu yang berkaitan dengan SARA dan Komunis.

Kita toh tidak bisa mengelak, Penyelenggaraan Pemilu Kepala Daerah (PILKADA) DKI Jakarta tahun lalu menimbulkan berbagai polemik dan menimbulkan berbagai kekacauan dan kestabilan bangsa hingga menjadi sorotan dunia. Sisa-sisa pertarungan para elit politik pun masih menyisakan berbagai persoalan yang sebenarnya belum benar-benar terselesaikan kendati Basuki Tjahaja Purnama “Ahok” sudah terpenjara.

Jika satu pemilihan kepala daerah mampu menggemparkan seantero Indonesia dan bahkan menjadi sorotan dunia, maka kita hanya bisa berharap jika tahun ini pilkada serempak 171 provinsi dan kabupaten/kota tidak menimbulkan berbagai kekacauan yang bisa mengakibatkan terpecah belahnya masyarakat. Dan sangat mungkin, isu SARA akan kembali di munculkan untuk memperkeruh situasi. Di tambah lagi, menjelang Pemilihan Presiden tahun 2019.

Akan lebih baik jika segala kasus yang terjadi terkait persekusi, kekerasan dan intimidasi baik terhadap masyarakat pada umumnya atau kasus spesifik terhadap para tokoh agama perlu ditindak tegas dan tidak hanya dilihat sebagai kasus secara parsial namun juga perlu dikaji secara lebih menyeluruh, mendalam sekaligus meluas.

Jika kasus-kasus persekusi, kekerasan dan intimidasi terus dibiarkan tanpa adanya kelanjutan kasus maka kasus yang sama akan terus terjadi dan akan terus di manfaatkan oleh pihak-pihak tertentu untuk mengambil keuntungan. Selain itu, perlu adanya kerjasama antar berbagai elemen seperti Bawaslu, Kepolisian maupun Komnas HAM dan berbagai elemen masyarakat lainnya untuk saling mengawasi partai politik yang menggunakan isu SARA.

Persekusi Berdimensi Agama terus Terjadi

Baru-baru ini terjadi aksi persekusi di kota “istimewa” Yogyakarta, tepatnya sebuah penyerangan terhadap umat Katolik yang sedang melakukan ibadah keagamaan di Gereja Santa Lidwinda Bedog, Sleman pada Minggu (11/2/2018). Peristiwa tersebut mengakibatkan lima orang mengalami luka-luka termasuk  Pastor Karl-Edmund Prier SK atau yang karib disapa Romo Prier yang sedang memimpin ibadah dan seorang anggota polisi yang berusaha menghentikan pelaku.

Sebelumnya, aksi bakti sosial yang dilakukan oleh jemaat Gereja Santo Paulus, Pringgolayan, Banguntapan Bantul juga dibatalkan oleh sejumlah ormas karena dianggap sebuah bentuk kristenisasi. Padahal, kegiatan bakti sosial tersebut merupakan rangkaian kegiatan memperingati 32 tahun berdirinya gereja dan sekaligus peresmian paroki yang mulanya merupakan paroki administratif menjadi paroki mandiri.

Kedua kejadian tersebut terjadi di Daerah Istimewa Yogyakarta yang notabennya merupakan kota pelajar dan dianggap sebagai kota yang menjunjung multikulturalisme. Jika di Jogja saja, persekusi marak bisa dibayangkan betapa memprihatinkannya sikap toleransi kita. Menurut catatan Rappler di tahun 2017, sebanyak 9 pelanggaran terjadi atas nama agama.

Selain di Jogja, persekusi juga marak terjadi di kota-kota lainnya. Pada tanggal 28 Januari lalu, pimpinan Pondok Pesantren Al Hidayah, KH. Umar Basri mendapat penganiayaan seusai shalat subuh di mushola Al Mufathalah, Cicalengka, Bandung Jawa Barat. Dan pada tanggal 1 Februari, Kepala Operasi Brigade Pimpinan Pusat Persatuan islam (PP Persis), ustadz R. Prawoto meninggal dunia karena dianiaya kelompok tidak dikenal.

Penyerangan terhadap pemuka agama juga mendera seorang bhiksu, Mulyanto Nurhalim, di Desa babat, Kecamatan Legok, Tangerang-Banten. Bhiksu Mulyanto dipaksa oleh warga untuk meninggalkan  rumahnya meski dia merupakan warga asli. Pengusiran tersebut terjadi karena Mulyanto dianggap sering membawa umat Budhis datang ke rumahnya untuk melakukan ibadah, padahal yang terjadi umat Budhis yang datang bertujuan untuk memberi sedekah terhadap Mulyanto.

Dan kalaupun seandainya mereka datang untuk beribadah di rumah bhiksu, itu pun bukan merupakan persoalan. Yang kemudian menjadi soal yakni sikap masyarakat yang kini mudah terprovokasi, menyalahkan dan seolah merasa terancam. Dan ketika pemimpin umat agama mayoritas, Islam, juga ikut menjadi korban, maka permusuhan yang sebenarnya bukanlah antara umat mayoritas yakni umat muslim vs umat minoritas yakni agama selain Islam dan kepercayaan lainnya, namun antara kaum fundamentalis dengan kaum moderat atau siapapun yang menolak paham fundamentalis. Sehingga, aksi persekusi akan menimpa siapapun termasuk kaum muslim sendiri.

Menurut catatan KontraS, persekusi, kekerasan dan intimidasi terutama yang menimpa kelompok agama dan kepercayaan tertentu terus menerus terjadi. Pada tahun lalu, KontraS mencatat sebanyak 75 peristiwa kekerasan terjadi dan didominasi di daerah Jawa yakni 17 peristiwa terjadi di Jawa Barat, 13 peristiwa terjadi di Jawa Tengah, 7 peristiwa terjadi di Jawa Timur, dan 7  persitiwa selebihnya terjadi di Banten.

Selain menimpa pemimpin umat, persekusi juga terjadi menimpa warga biasa yang dianggap musuh oleh sejumlah pihak. Jaringan relawan kebebasan berekspresi Southeast Asia Freedom of Expression Network atau SafeNet mengatakan sepanjang tahun 2017 terdapat sebanyak 105 orang yang mengalami persekusi.

Pada pertengahan tahun lalu, persekusi dialami oleh dr Fiera Lovita yang merasa diintimidasi oleh ormas FPI dan beberapa kelompok lainnya di Solok, Sumatera Barat karena dianggap mengunggah pernyataan yang menyudutkan pimpinan FPI, Rizieq Shihab di akun facebooknya. Dan berbagai aksi persekusi yang sangat merugikan terjadi hampir merata di berbagai wilayah.

Penyebab Maraknya Terjadi Persekusi

Disepakati atau tidak, persekusi, kekerasan dan intimidasi seolah mendapatkan pembenaran pasca terjadinya kemelut Pilkada DKI Jakarta tahun 2017 lalu. Kemenangan Anies Baswedan dan Sandiaga Uno yang dianggap mewakili umat muslim dengan menggandeng FPI dengan Rizieq Shihab sebagai pemimpinnya tentu berpengaruh besar terhadap sikap umat Islam belakangan ini yang tengah merasa di atas angin. Namun tentu, tidak semata karena hal tersebut.

Apa yang terjadi di belakang panggung politik ibukota, seperti halnya bom waktu yang memiliki momentum untuk meledak serta menyisakan bara yang bisa kembali memanas jika diberi angin. Dengan kata lain, sebenarnya kemelut yang terjadi tidak semata karena Ahok dianggap menista agama, atau karena dia beretnis Tionghoa dan Kristen, tetapi juga berbagai faktor lain yang ikut melatar belakangi hal tersebut.

Tidak dinafikan jika permainan politik yang cenderung membenarkan segala cara untuk meraih kemenangan dan kurang tegasnya pemerintah dalam menyikapi problematika persoalan hingga ke akar-akar bak membiarkan rumput ilalang semakin tinggi hingga merusak tanaman yang semula terawat.

Selain itu, masyarakat yang tengah gandrung sosial media dan mengalami apa yang disebut dengan shock culture atau kegagapan budaya juga menjadi salah satu sebab. Kita tahu bahwa Indonesia bukanlah masyarakat yang memiliki budaya literasi tinggi, Indonesia cenderung dominan budaya lisan. Namun dengan tiba-tiba, dan dalam tempo waktu yang cepat, kita beralih ke budaya literasi yang berbasis technology, sehingga muncul kegagapan budaya.

Sebenarnya kita perlu bersorak dan menyambut hal ini sebagai hal yang positif karena generasi membaca telah dimulai, hanya saja kita belum siap untuk membaca lebih dalam dan bijak menanggapi persoalan, kita baru dalam tahap permulaan namun sudah terjebak dalam dimensi informatika yang tidak berujung. Selanjutnya, kerja sama semua pihak  dari berbagai elemen masyarakat sangat diperlukan untuk menumbuhkan kesadaran pentingnya hidup berbhineka tanpa memaksakan kehendak baik atas nama pribadi maupun mengatasnamakan kelompok tertentu.