Sebermula publik berpikir bahwa ketegangan politik akan mengendur pasca pemungutan suara Pemilu 2019. Selaras adab para kontestan dalam banyak kompetisi politik sebelumnya, jarak yang dibentang oleh serbaneka pilihan politik bakal merapat menjelang penetapan hasil pemilu. Yang tersisa hanya riak-riak sengketa. Jamak saja!
Alih-alih, situasi justru memanas. Berkembang-berbuah menjadi hasrat gempur-menggempur; bahkan secara fisik. Gejala pembelahan bangsa terbit secara mengerikan.
Publik pun rempak mengelus dada. Demokrasi Indonesia berbalik ke belakang (setback). Padahal, berkat jerih-payah pemerintah pasca reformasi yang memuncak pada pemerintahan era Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), Indonesia pernah masyhur sebagai negara muslim demokratis terbesar di dunia.
Kebohongan Kolosal
Kemunduran pasca Pemilu 2019 tidak ujug-ujug. Ada aksi-reaksi di sana. Jika sepanjang kampanye yang dilancarkan politik pasca kebenaran (post truth politic), maka hari ini, saya curiga, kita tengah menghadapi rekacipta Kebohongan Kolosal (big lie).
Teknik propaganda ini bersaripati melepas kebohongan besar secara terstruktur, sistemik, dan masif (TSM) yang saking kejamnya kebohongan itu sehingga publik muskil menuding sang pembohong sebagai pembohong.
Teknik ini diacu dari pikiran Hitler dalam buku Mein Kampf yang lantas menginspirasi Jerman menjadi inisiator Perang Dunia II. Kebohongan Kolosal mengakumulasi amarah rakyat Jerman yang menderita akibat kekalahan pada Perang Dunia I, sekaligus melegitimasi kebijakan-kebijakan NAZI yang paling keliru sekalipun.
Saya curiga, Kebohongan Kolosal tengah dipraktikan di bumi Nusantara per 17 April 2019. Pasalnya, hari itu, poros Prabowo makin tegas menggelar simpulan prematur: Prabowo mutahil kalah kecuali dicurangi.
Siapa yang curang? Prasangka pertama tentu poros Jokowi. Berikutnya lembaga pollster penyelenggara quick count, pemerintah dari pusat ke daerah, lantas penyelenggara pemilu: KPU, Bawaslu, Mahkamah Konstitusi (MK). Terkesan semua pihak yang dinilai merugikan poros Prabowo dituding sudah berbuat curang. Status Jokowi sebagai kontestan petahana menjadi kunci narasi ini.
Dalih ini menginspirasi poros Prabowo merasa mustahak untuk menolak hasil Pilpres 2019. Termasuk delegitimasi peran Bawaslu dan Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga konstitusional pemutus sengketa Pemilu. Sebagai solusi, mereka menawarkan ‘people power’ yang arkian dialih jadi ‘kedaulatan rakyat’.
Yang luput adalah demokrasi bukan cuma partisipasi masyarakat dan kebebasan berpendapat. Demokrasi juga menyangkut supremasi hukum. Kita mustahil jadi kaum demokrat apabila menolak produk-produk kedaulatan hukum.
Benar, setiap pemilu punya potensi kecurangan, tapi ke mana lagi perjuangan yang konstitusional kalau bukan lewat Bawaslu dan MK? Maka, yang paling demokratis, tentu menggeser sengketa ke dalam sidang dua majelis tersebut, sembari terus mengawasi Bawaslu dan MK supaya tetap independen, jujur, dan adil.
Ironisnya, saya membaca Kebohongan Kolosal poros Jokowi tak kalah mengerikan. Guna merawat status quo, mereka merekacipta narasi bahwa poros Prabowo mutung sehingga berikhtiar makar. Dibangun opini secara TSM bahwa aksi ‘kedaulatan rakyat’ adalah pengkhianatan kepada negara, serta berhilir bentrok berdarah.
Biar lebih dramatik, tokoh-tokoh utama dicokok berbekal pelbagai sangkaan. Bahkan relawan poros Prabowo kelas gurem yang sejatinya cuma terbawa emosi Kebohongan Kolosal turut diciduk. Arus massa menuju Jakarta dipersulit aparat. Di satu sisi, juga diterapkan standar ganda dengan mengabaikan rencana aksi tandingan massa pro-capres petahana.
Jika ditilik ke belakang, kesannya instrumen centeng dari Kebohongan Kolosal poros Jokowi sudah ditata jauh-jauh hari. Misalnya: rencana pembentukan tim asistensi hukum, rencana pembentukan Dewan Kerukunan Nasional, serta ikhtiar memasukkan pasal makar, penghinaan presiden dan penodaan agama dalam RKUHP. Sebelumnya, terbit arus dukungan memasukkan militer di bawah otoritas kementerian.
Runtutan indikasi ini mengurat siluet mengerikan, yakni ikhtiar menghambat kebebasan berpendapat, berpikir, berkeyakinan, berkumpul, dan berekspresi. Poros Jokowi terjebak dalam dimensi represif dan antikritik. Meskipun simpulannya sama parah: Kebohongan Kolosal kedua poros nyata-nyata meracuni demokrasi Indonesia.
Omong Kosong Visi Pilpres
Jokowi ingin Indonesia berdaulat, mandiri, dan berkepribadian, berlandaskan gotong royong. Prabowo ingin menerapkan Empat Pilar Mensejahteraan Indonesia. Kedua visi ini hanya omong kosong apabila mereka mempertaruhkan persatuan Indonesia demi ambisi kekuasaan.
Visi Jokowi dan Prabowo hanya bisa tegak di atas fondasi persatuan bangsa. Hal ini termaktub dalam pembukaan UUD 1945, yaitu ‘Indonesia yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur.’ Tiliklah lokus “bersatu” sebelum fase ‘berdaulat’, ‘adil dan makmur’. Singkatnya, jika Indonesia ingin “berdaulat”, maka Indonesia mesti ‘bersatu’ terlebih dahulu. Jika ingin ‘adil dan makmur’, Indonesia harus ‘berdaulat’ terlebih dahulu. Ini adalah wasiat para pendiri bangsa.
Semestinya Jokowi dan Prabowo tidak punya pilihan kecuali menolak semua pikiran, ucapan, dan tindakan yang berhilir pada makin terkoyak-moyaknya persatuan bangsa. Baik dari pihak eksternal apalagi dari internal poros mereka sendiri. Mereka mesti lantang bersuara supaya para pendukungnya mau menahan diri, bukan malah memanas-manasi situasi.
Ini jika mereka serius, tulus, dan bertekad untuk mewujudkan misi tersebut. Amat baik bila Jokowi dan Prabowo mau berdialog sebelum hari pengumuman keputusan Pemilu 2019 guna mencegah kejadian-kejadian terburuk.
Tentu saja ini tidak mudah. Jaring-jaring kekeliruan Pemilu 2019 tentu sudah membelenggu Jokowi dan Prabowo. Ada hambatan politis, historis, psikologis, serta lainnya di kedua poros.
Dalam situasi begini, peran poros ketiga amatlah penting. Indonesia ‘zaman now’ butuh orang-orang yang merdeka dari jaring-jaring kekeliruan stategi politik. Mereka yang bisa menyejukkan panasnya silang-sengketa kedua poros.
Agaknya Partai Demokrat yang paling sadar akan tuntutan zaman. Langkah-langkah Agus Harimurti Yudhoyono patut diapresiasi. Begitu pula ruang dialog yang dibuka SBY bagi semua kalangan di sela-sela mereka membesuk Ani Yudhoyono. Juga kader-kader Demokrat yang tak jemu-jemu menyerukan rekonsiliasi di aras media.
Kesadaran ini pula yang mengarus-gerakkan tokoh-tokoh Suluh Kebangsaan. “Silaturahmi Bogor untuk Indonesia” penting untuk mengendurkan ketegangan politik. Termasuk tekad Muhammadiyah untuk mewaqafkan diri sebagai fasilitator rekonsiliasi bangsa. Ikhtiar mereka mesti diapresiasi, dan menjadi semangat masyarakat pasca-pemilu.
Rekonsiliasi di sini bukan berkasad memaafkan dan melupakan (forgive and forget). Ada pekerjaan rumah sebelum kita memasuki fase pengampunan (mercy) dan arkian perdamaian (peace), yaitu kebenaran (truth) dan keadilan (justice). Mesti ada kejujuran terkait klaim kemenangan sepihak. Juga penghukuman pada mereka yang lalai dan curang sepanjang proses Pilpres 2019.
Hanya ini satu-satunya cara supaya bangsa ini tidak ditikam dendam dan rasa bersalah di hari kelak. Kita mesti belajar dari terbengkalainya penuntasan kasus-kasus pelanggaran HAM di masa lalu yang sampai sekarang masih menjadi sisi gelap bangsa yang menyimpan amuk.
Terakhir, tapi bukan pamungkas, waktu sedang memihak Indonesia. Pada 20 Mei 1908, bangsa ini resmi move on dari perjuangan fisik-sporadis menuju perjuangan modern yang dijangkari oleh berdirinya Budi Utomo. Juga semangat silaturahmi bulan Ramadan yang menurunkan tensi debat-tengkar para pendiri bangsa.
Sehingga, pada 18 Agustus 1945, secara resmi UUD 1945 disepakati. Kelak kita mengenal dua momen bersejarah ini sebagai Hari Kebangkitan Nasional dan Hari Konstitusi.
Hikmah dari masa lalu ini hendaknya jadi semangat ekstra bagi elite maupun akar rumput Indonesia untuk kembali fokus pada Indonesia masa depan bukan sekadar kekuasaan lima tahunan.