Kegelisahan Eksistensial
Enam belas tahun silam, ketika itu, aku masih duduk di bangku SMU. Ibarat bunga, usiaku saat itu sedang mekar-mekarnya. Ada ungkapan terkenal, sweet seventeen, seperti itulah keadaanku saat itu.
Pada usia tersebut, banyak remaja yang asyik menikmati kemudaannya dengan berbagai cara. Salah satu cara menikmati kehidupan yang digemari remaja di usia tersebut adalah pengenalan atas cinta. Tak sedikit remaja yang mulai mengenal cinta pertama. Begitu juga dengan diriku. Pada masa itu, aku mulai merasakan jatuh cinta. Namun, ada hal yang lebih besar dari cinta terhadap lawan jenis yang mengusik ketenangan hidupku.
Saat itu aku dihantui oleh kegelisahan eksistensial, aku dihantui berbagai macam pertanyaan seperti: dari mana aku berasal, ke mana aku akan kembali setelah mati, mengapa aku hadir di muka bumi, mengapa aku harus memeluk agama Islam, dan sederetan pertanyaan sejenis lainnya yang memenuhi setiap jengkal relung pemikiranku.
Pelajaran sekolah dan hasrat untuk meraih ranking di kelas tidak lagi memuaskan keberadaanku. Sejak SD hingga SMU, kebetulan aku berhasil meraih peringkat yang bagus dalam sekolah, dan dapat bersekolah di sekolah terbaik. Namun, semua itu justru mengantarkanku pada kehampaan eksistensial. Ada relung kosong dalam batin yang tak bisa aku ingkari keberadaannya. Dan semakin terasa di saat aku merenungi deretan pertanyaan di atas.
Kegelisahan eksistensial, dan pencarian jawaban atas berbagai pertanyaan eksistensial, menggiringku untuk mengikuti berbagai macam kajian Islam dari berbagai aliran. Namun sayangnya, tidak kunjung kujumpai kajian yang mampu memuaskan dahaga intelektualku sekaligus menyentuh kedalaman spiritualku. Hingga akhirnya aku mulai jatuh cinta dengan filsafat Islam.
Perkenalanku dengan filsafat Islam bermula dari interaksiku yang cukup intens dengan seorang seniorku di organisasi, seorang mahasiswa di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Sejak itulah, minatku terhadap filsafat Islam mulai tumbuh. Sejak saat itu pula, mulai bersemi hobi baruku, membeli, meminjam dan membaca buku.
Waktu luang selalu aku habiskan untuk membaca, baik di rumah maupun di perpustakaan. Perpustakaan sekolah, perpustakaan masjid sekolah, dan perpustakaan kota menjadi sasaran utamaku di kala waktu luang, atau sehabis pulang sekolah. Meminjam bahasa Dr. ‘Ali Syariati, saat itu aku seperti menjadi pulau di negeri danau. Menjadi terasing dan sedemikian berbeda dengan lingkunganku.
Aku masih ingat betul, betapa saking penasarannya diriku akan isi buku Membangunkan Kembali Alam Pikiran Islam, terjemahan dari The Reconstruction of Religious Thought in Islam, karya filsuf Muslim terbesar abad ke 20, Dr. Mohammad Iqbal. Aku sampai nekad menyamar sebagai mahasiswa demi bisa masuk ke perpustakaan universitas Muhammadiyah Magelang.
Dan usahaku tidak sia-sia. Di perpustakaan universitas tersebut, memang terdapat buku Iqbal yang aku cari. Jumlahnya tidak banyak, hanya satu dan bukunya dalam kondisi lusuh. Buku ditulis dengan menggunakan ejaan lama. Meski tidak bisa meminjam (karena aku bukan mahasiswa), aku sangat senang dapat membaca buku tersebut. Bagiku buku tersebut cukup berat isinya, sehingga aku harus berkali-kali datang ke perpustakaan untuk menyelesaikan seluruhnya.
Tak semua isi buku Iqbal tersebut aku pahami, namun aku masih ingat, dari buku tersebut kecintaanku akan filsafat Islam semakin subur dan menguat. Dan aku semakin diyakinkan oleh Iqbal akan peran penting akal dan keberfikiran dalam beragama, serta peran sentralnya dalam menjalani kehidupan. Banyak ayat-ayat Alquran yang memuliakan akal dan keberfikiran dikutip oleh filsuf-penyair itu.
Selain memanfaatkan buku-buku di perpustakaan yang saat itu bisa aku jangkau, aku juga mulai membelanjakan uang saku--yang tidak seberapa--untuk membeli buku-buku bertema filsafat Islam. Uang saku pemberian orangtuaku, dan dari beasiswa sekolah, aku habiskan untuk membeli buku.
Buku-buku pemikiran Islam terbitan Mizan Bandung dan Pustaka Bandung menjadi incaran utamaku. Hingga kini, telah ratusan buku pemikiran Islam Mizan dan Pustaka berjajar setia menghiasi rak buku di rumahku.
Waktu terus bergulir hingga akhirnya, ketika sudah mulai kuliah aku menemukan buku-buku seri filsafat Islam Mizan. Betapa senang rasanya aku akan buku-buku tersebut. Entah kebiasaan ini bermula sejak kapan, aku lupa persisnya. Namun hingga kini masih aku lakukan setiap kali membaca buku, yaitu aku selalu menyempatkan membaca siapa penerjemah buku, alamat penerbit dsb.
Dan pada buku seri filsafat Islam Mizan, terdapat tulisan yang cukup menarik di halaman dalam, setelah halaman judul. Terdapat kotak persegi empat yang bertuliskan, Dewan Redaksi Seri Filsafat Islam Mizan. Yang menarik perhatianku, nama pertama yang tertera jelas di sana, adalah Dr. R. Mulyadhi Kartanegara.
Menurut pendapatku, urutan nama tersebut tidak dibuat sembarangan dan asal-asalan. Pasti ada tujuan. Dan aku perhatikan, di setiap buku seri filsafat Islam Mizan, nama Dr. R. Mulyadhi selalu berada pada posisi paling atas. Bahkan, berada di atas nama sang pendiri Mizan sendiri.
Mulanya aku berpikir, mungkin karena (saat itu) hanya Dr. R. Mulyadhi sajalah yang menyandang gelar PhD (Doktor) sedangkan anggota yang lain masih belum bergelar doktor. Namun di sisi lain, aku memiliki kesimpulan sementara saat itu, pasti Dr. R. Mulyadhi memiliki kapasitas intelektual yang mumpuni, hingga membuat Pak Haidar Bagir, cendekiawan filsafat Islam dan pendiri Mizan, rela mencantumkan namanya di bawah nama Dr. R. Mulyadhi Kartanegara.
Namun, dugaanku hanya tinggal dugaan, karena aku memang belum pernah membaca satu pun tulisan beliau, baik berupa artikel ataupun terlebih berupa buku. Maklum, saat itu aku masih belum melek dengan teknologi informasi, jadi belum ada pikiran untuk mencari informasi via mbah google.
Tak berapa lama, rasa penasaranku akan kapasitas intelektual dari sang pemilik nama redaksi seri filsafat Islam Mizan yang bertengger di peringkat pertama terpuaskan. Yakni saat aku membeli dan membaca buku Menyibak Tirai Kejahilan: Pengantar Epistemologi Islam terbitan Mizan, dalam rangkaian seri filsafat Islamnya.
Saat membaca buku tersebut, aku menangkap tiga kesan kuat dari penulisnya. Pertama, betapa luas dan mendalamnya ilmu dan pengetahuan dari Dr. R. Mulyadhi. Dan yang kedua, bagiku ini lebih spesial, yakni kemampuan penulisnya untuk menyampaikan dalam bahasa yang renyah dan mudah dipahami. Bahkan olehku yang berlatar belakang mahasiswa business administration.
Tak semua cendekiawan memiliki pengetahuan yang luas dan mendalam, dan dari sedikit yang memiliki pengetahuan yang medalam tersebut, lebih sedikit lagi yang mampu mengkomunikasikan melalui bahasa tulis yang renyah dan mengalir. Betapa banyak cendekiawan yang menyampaikan pandangannya dalam bahasa yang tidak mudah dimengerti, dan mungkin hanya dimengerti oleh kaumnya, sesama cendekiawan. Hingga sering ada plesetan istilah Pakar, menjadi pandai membuat sukar.
Namun, aku rasa Prof. Mulyadhi berbeda. Beliau bukan tipikal pakar yang seperti itu. Beliau adalah pakar filsafat Islam dalam artian yang sebenarnya. Lebih jauh, beliau mampu berbicara dengan bahasa kaum. Itulah kesan yang aku tangkap saat pertama kali membaca buku karya beliau.
Ketiga, dan ini yang paling aku sukai dari karya-karya beliau, Prof. Mulyadhi mampu menulis dengan melibatkan seluruh dirinya. Aku merasakan betul bagaimana keterlibatan emosional dan eksistensial penulisnya terhadap apa yang ditulisnya. Hal ini mengingatkanku terhadap kata-kata Nietzsche, “Dari semua karya yang ditulis, aku mengagumi karya yang ditulis dengan darah dan keringat penulisnya sendiri.”
Dan bagiku, tulisan Prof. Mulyadhi yang aku baca, memenuhi karakteristik tulisan yang dimaksudkan oleh Nietzsche. Tak berapa lama sejak aku membaca buku Pengantar Epistemologi Islam, aku menemukan buku Prof. Mulyadhi yang lain, Menembus Batas Waktu, Panorama Filsafat Islam. Dalam buku ini, semakin terasa sekali betapa sang penulis sangat terlibat dengan apa-apa yang dituliskannya.
Dan semakin banyak aku membaca bukunya, aku semakin kagum akan diri penulisnya. Aku begitu terpesona, bagaimana penulisnya mampu menyusun deretan kata-kata yang sedemikian hidup, renyah, dan mengalir hingga mampu berpengaruh kuat atas diriku.
Aku masih ingat betul, saat itu di tahun 2003, aku menemukan buku Menembus Batas Waktu, di sebuah perpustakaan di Yogyakarta. Karena demikian hanyut oleh isi buku, sampai-sampai aku tidak rela menutup isi buku tersebut sebelum menyelesaikannya sampai akhir. Karena aku tidak bisa meminjam buku tersebut, aku rela tidur di dalam perpustakaan, tidak pulang ke rumah, demi untuk menyelesaikan bacaanku dan memuaskan rasa dahaga intelektualku.
Dari karya-karya Prof. Mulyadhi, kecintaanku terhadap filsafat Islam menjadi semakin subur dan kuat. Meskipun aku saat itu berstatus sebagai mahasiswa business administration. Dalam buku Menembus Batas Waktu, selain berkaitan dengan kualitas isi buku yang mendalam, yang mecerminkan betapa sang penulis begitu menguasai bahan yang ditulisnya. Yaitu menceritakan bagaimana perjumpaan beliau dengan filsafat Islam pertama kalinya, hingga beliau menyelesaikan study S1 hingga S3 di bidang filsafat Islam. Dan juga tema-tema rumit filsafat Islam mampu beliau bahas dengan renyah, sederhana dan mudah dipahami.
Selain itu, ada hal yang tak kalah menarik dengan isi buku, yaitu kata pengantar yang ditulis oleh Dr. Haidar Bagir, cendekiawan filsafat Islam sekaligus sang pendiri Mizan. Dalam kata pengantar buku tersebut, Pak Haidar sangat memuji Prof. Mulyadhi.
Menurut Pak Haidar, hanya Prof. Mulyadhilah satu-satunya murid sejati filsafat Islam saat ini di negeri ini. Bahkan dengan sangat meyakinkan Pak Haidar mengesampingkan sederetan nama para doktor filsafat Islam yang lain, termasuk nama beliau sendiri. Bagiku, ini sebuah pengakuan yang luar biasa dari kolega Prof. Mulyadhi, sesama aktivis filsafat Islam, dan sesama doktor di bidang filsafat Islam.
Naluri Mempertahankan Hidup
Makhluk yang dapat mempertahankan hidupnya, bukanlah ia yang paling kuat, namun dia yang paling adaptif terhadap kondisi lingkungannya. Di tengah-tengah kondisiku yang masih digelayuti oleh kegelisahan eksistensial, yang coba aku cari jawabnya melalui tools filsafat Islam. Muncul pula persoalan lain, yaitu persoalan menyambung hidup.
Maklum, aku berasal dari keluarga yang sangat sederhana, sehingga aku harus kreatif untuk bisa memenuhi kebutuhan hidupku yang tengah kuliah di perantauan. Jadi ada dua persoalan yang aku hadapi, persoalan memaknai kehidupan, yang coba aku pecahkan dengan bantuan filsafat Islam. Dan persoalan mempertahankan dan melanjutkan kehidupan, yang tengah aku cari cara pemecahannya.
Mulanya aku mencoba mencari kerja part time, namun tak kunjung dapat. Hingga aku memutar otak dan mencari cara lain. Akhirnya aku memutuskan untuk coba-coba menulis artikel dan mengirimkannya ke media cetak di Semarang. Sekitar sepuluh artikel aku tulis, namun tak satupun tulisan yang dimuat.
Perasaan frustasi dan putus asa menyergapku. Hingga terpikir olehku untuk mengubur saja impianku untuk bisa menulis di media. Tepat pada saat aku telah menguburkan dan melepaskan harapan untuk bisa menulis, terjadilah sebuah keajaiban. Mungkin inilah makna agar kita tak boleh putus asa terhadap rahmat Tuhan.
Saat itu, ada acara bazar buku di kampus. Acara ini secara periodik digelar oleh berbagai fakultas di kampusku. Karena aku sangat menyukai buku, aku tak pernah melewatkan untuk mengunjungi acara bazar buku. Dan saat itu, aku menemukan sebuah buku berjudul Seni Mengukir Kata. Sebuah buku berukuran kecil, berwarna putih yang kelak di kemudian hari sangat berpengaruh dalam hidupku dan menyelamatkanku dari derita lapar.
Awalnya, yang membuatku tertarik pada buku tersebut, karena di bagian atas buku, tertulis nama yang sudah akrab dengan diriku, Mulyadhi Kartanegara, sebuah nama yang ditulis tanpa mencantumkan gelar akademisnya sama sekali, sebentuk kesederhanaan dan kebersahajaan yang indah. Awalnya aku ragu kalau buku itu tulisan Prof. Mulyadhi, sang pakar filsafat Islam.
Sulit aku percayai seorang doktor di bidang filsafat Islam menulis sebuah buku tentang seni menulis. Benar-benar sulit aku percaya. Namun, saat aku memegang buku tersebut dan membaca back cover-nya, di sana terpampang foto dan biografi ringkas penulisnya, yang sudah sangat akrab di mataku, persis seperti yang biasa aku temui di buku-buku Prof. Mulyadhi terbitan Mizan.
Dan tanpa pikir panjang aku langsung membeli buku tersebut. Tak menunggu lama, didorong oleh rasa penasaran, aku segera melahap isi buku, sambil memegang pensil untuk menandai hal-hal yang aku anggap penting. Sambil duduk lesehan di emperan audit sayap timur kampusku, aku menikmati isi buku Seni Mengukir Kata.
Dari situ aku mendapatkan metode baru dalam menulis, yaitu menulis tanpa beban atau menulis secara subjektif. Maksudnya adalah menulis dengan membebaskan diri kita dari segala macam beban dan hambatan. Dalam hal ini, aku ingin mengutipkan langsung dari buku Prof. Mulyadhi tersebut untuk Anda:
Teknik menulis tanpa beban pada dasarnya adalah penulisan ekspresif. Artinya, tulisan yang mengekspresikan pikiran-pikiran kita secara bebas tanpa terlalu banyak kecemasan. Menurutku, ia sangat terkait dengan sikap mental yang lebih positif, seperti sikap jujur dengan diri sendiri, komitmen pada kebenaran, klaim yang tidak terlalu tinggi, dan sebagainya, seperti yang bisa dilihat dari beberapa praktik yang aku lakukan dalam menulis. (Seni Mengukir Kata: 115-116)
Saat membaca buku Seni Mengukir Kata, aku serupa tanaman layu yang diguyur hujan lebat, kembali berdaun segar dan siap bertumbuh. Dari buku tersebut, selain teknik praktis dalam menulis, hal terbesar yang aku dapatkan adalah bagaimana mengatasi hambatan psikologis dalam menulis.
Aku menjadi sadar, betapa cepatnya aku putus asa dan menyerah untuk melahirkan tulisan, manakala redaksi Koran memilih untuk tidak menerbitkan artikelku. Mestinya aku menyadari betapa masih minim pengetahuanku tentang teknik dan keterampilan menulis.
Prof. Mulyadhi juga menyarankan agar budaya baca ditegakkan terlebih dulu sebelum membudayakan menulis. Dari buku tersebut aku juga terinspirasi untuk mulai membiasakan menuliskan catatan harian. Bukan sebagai sebuah diari, namun sebagai catatan untuk merekam pergulatan pemikiranku.
Dari kebiasaan ini, aku belajar untuk menghargai pandangan dan pendapatku sendiri terhadap berbagai hal. Atau dalam bahasanya Pramoedya Ananta Toer, “Seorang terpelajar harus memiliki pendapat sendiri dalam segala hal. Tidak boleh tidak.”
Setelah mendapatkan siraman semangat dari buku Seni Mengukir Kata, kemudian aku kembali mulai menulis. Dua tulisan aku kirim dan tidak dimuat. Baru pada tulisan ketiga ternyata dimuat di koran lokal Semarang.
Awalnya aku juga tidak mengetahui ikhwal pemuatan tulisanku di koran. Aku baru tahu karena seorang teman yang membaca tulisanku kemudian mengabariku melalui sms. Senang sekali rasanya ketika melihat pertama kali namaku muncul di sebuah koran, di bawah sebuah artikel. Meskipun ada beberapa editing yang dilakukan oleh redaksi terhadap tulisanku, namun hal itu tidak mengurangi rasa kebahagiaan yang aku kecap.
Barangkali, salah satu kebahagiaan terbesar yang pernah aku kecap dalam hidupku adalah kebahagiaan saat mengetahui tulisanku dimuat di koran. Sejak saat itu, rutin tiap bulan tulisanku ada yang dimuat di Koran, hingga saat aku wisuda, total tulisanku di Koran mencapai empat puluh artikel.
Selain mendapatkan kepuasan dan kebahagiaan batin, menulis telah mampu menyelamatkan kehidupanku saat berkuliah di perantauan. Uang dari hasil menulis sangat berguna untuk menyambung hidupku saat itu. Dan tidak berhenti sampai di situ saja, dari menulis aku juga mulai dikenal oleh pejabat fakultas dan pejabat rektorat kampusku. Hal ini bisa terjadi karena fakultas maupun universitas memberikan tambahan honorarium kepada setiap mahasiswa yang menulis artikel di koran.
Beberapa kali tulisanku kebetulan muncul bersandingan dengan tulisan dosen profesorku di kampus. Ini tentu menjadi kebanggan tersendiri buatku. Apalagi ketika profesorku secara pribadi mengucapkan selamat atas tulisan-tulisanku. Hingga pada akhirnya, aku juga berkesempatan untuk mengikuti program pertukaran mahasiswa ke Manila, Filipina. Semua itu berkat dari tulisan-tulisanku di koran.
Menyentuh tanpa Sentuhan
Sampai saat ini, aku tidak pernah bertemu ataupun kenal secara langsung dengan Prof. Mulyadhi, kecuali dalam sebuah seminar filsafat Islam yang saya ikuti di Yogyakarta. Itupun aku hanya sebagai salah satu peserta yang duduk di bangku belakang, di antara enam ratusan peserta yang lain.
Saat itu, Prof. Mulyadhi menjadi pembicara seminar filsafat Islam, bersama Prof. Dr. Amin Abdullah dari UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Itulah satu-satunya kenanganku berkesempatan melihat langsung wajah Prof. Mulyadhi. Meskipun tak pernah sempat berkenalan secara langsung, namun pengaruh Prof. Mulyadhi terhadap diriku bisa dibilang sangat besar. Bahkan secara tidak langsung telah turut menyelamatkan jalan hidupku yang pernah tercekam kegelisahan eksistensial.
Dari buku-buku filsafat Islam yang beliau tulis, aku mendapatkan pencerahan betapa penting dan sentralnya peranan filsafat Islam dalam kehidupan seorang muslim. Dan juga sekaligus membuktikan ketangguhan pemikiran Islam dalam merespons pemikiran Barat modern.
Kendala finansial yang pernah aku hadapi saat masih kuliah di Semarang, juga berhasil aku atasi setelah melahap buku tulisan beliau, Seni Mengukir Kata. Sebuah buku yang telah membantuku sangat banyak dalam upayaku melahirkan tulisan-tulisan di koran. Meskipun aku sadar, sampai saat ini aku masih belum mampu melahirkan tulisan sebagus beliau.
Betapapun besarnya pengaruh Prof. Mulyadhi terhadap diriku, aku yakin beliau tidak mengenalku. Bahkan sangat mungkin beliau tidak pernah menyadari atau terpikirkan betapa besar pengaruh yang telah ditimbulkannya melalui buku-buku yang ditulisnya.
Mungkin, begitulah salah satu ciri-ciri orang besar. Mereka memiliki kemampuan “menyentuh tanpa sentuhan”. Meski tanpa pernah bertatap muka secara langsung, namun mampu menimbulkan sentuhan inspirasi yang mendalam melalui karya-karyanya. Mampu menginspirasi dan menumbuhkan minat yang kuat terhadap orang lain, meski tanpa pernah melihat langsung ke orang lain tersebut.
Sampai detik ini, semua buku karya Prof. Mulyadhi yang berjumlah puluhan, telah aku baca dan koleksi. Meski aku telah membaca buku-bukunya berulang kali, namun itu tidak berarti bahwa aku telah memahami pemikiran beliau secara utuh. Karena aku yakin bahwa beliau lebih besar dari semua karya-karyanya.