Ada macam-macam tanggapan bahkan penafsiran jika suatu ketika terdapat tanda fenomena objek yang datang terhadap subjek. Atau sebaliknya, subjek yang mencari, memburu, menanti objek tertentu.

Hingga pertanyaan sederhana ini terlintas dalam benak, bagaimana mengendus letak rindu dalam sela-sela fenomena di atas?

Sebelum mengulitinya, membicarakan hal tersebut bisa dimulai dari mendudukkan terlebih dahulu istilah rindu. Tidak ada monopoli otoritas untuk menafsirkan rindu.

Namun jika digali berdasarkan pengalaman merasakan rindu, kita dapat bersepakat bahwa rindu adalah kondisi perasaan tentang keinginan yang kuat untuk bertemu.

Bayangkan ; keinginan yang kuat untuk bertemu. Lalu bagaimana mengendus rasa rindu itu dalam relasi antara objek dan subjek?

Apakah kedatangan objek terhadap subjek ini memang dirindukan? Atau objek ini datang memang karena kerinduan subjek? Atau sebaliknya, objek hanyalah akibat atas pencarian, penelusuran, penelaahan subjek yang telah berlangsung sekian lama?

Syahdan, kalau dipertautkan mengenai fenomena relasi antara objek dan subjek banyak spekulasi yang melahirkan hipotesa semata. Bahkan ada juga yang kemungkinan acuh. Tidak mempedulikan keberadaan objek tersebut.

Namun, sesuatu yang perlu digaris bawahi adalah, ada sisi lain tentang makna yang terasa genit untuk diungkapkan. Yakni, letak kerinduan tadi meliputi bahkan melampaui segala yang terdapat di balik fenomena relasi objek dan subjek.

Kedatangan objek ini menandakan tentang tanda sesuatu yang terus bergeliat yang tentu bukan tercipta dari situasi atas kondisi yang hampa kultural.

Bisa jadi, salah satu pemicu geliat aktivisme itu adalah rasa kerinduan itu sendiri. Maka, kehadiran objek ini, kehadiran "Buku Narasi Perjuangan Intelektual" ini, bisa dimaknai sebagai suatu tanda akan kerinduan intelektualisme di Ciamis.

Kerinduan itulah yang melatarbelakangi hadirnya objek. Rindu untuk bertemu dengan khasanah intelektual yang semoga semakin hari semakin deras arusnya. Rindulah yang meyakinkan Cak Derry bersama kawan-kawan untuk terus memperjuangkan keberdayaan nalar.

Rindu lah yang menggerakkan semua unsur yang terlibat untuk bersilang tangan dalam menghadirkan buku ini. Simbol material dari serba-serbi gagasan para intelektual muda Ciamis. Karena memang gagasan, perlu dimaterialkan.

Menyambut Buku Narasi Perjuangan Intelektual tak ayal sebagai geliat memaknai kehadiran dari bukti material optimisme dan keseriusan para aktivis muda Ciamis. Untuk tetap menyalakan lilin-lilin kecil dari gelapnya palung modernitas.

Lantas, subjek yang memaknai buku ini nantinya akan memberi tanggapan yang multitafsir. Namun terlepas dari itu semua, khasanah keilmuan Ciamis akan semakin berwarna dalam tinjauan beberapa tahun ke depan.

Terlebih lagi, mengingat satu dekade ke belakang, pusaran kajian dan diskusi yang digawangi oleh beberapa komunitas keilmuan semakin menjamur seiring masifnya informasi dan ruang publik baru di mata generasi digital natives, generasi yang terlahir di era digital.

Sebagai penikmat arus keilmuan dan penikmat sepakbola, menilai Ciamis dengan segala unsur atau elemen yang ada, dia tidak bisa disandingkan seperti klub besar yang dijuluki Los Galacticos-Real Madrid yang bertabur bintang.

Los Galacticos lebih tepat disandingkan dengan daerah Bukittinggi yang entah itu alamiah atau terencana, mempunyai nama-nama beken di kancah nasional. Deretan nama itu di antaranya K.H Agus Salim, Mohammad Hatta, Muhammad Yamin, Muhammad Natsir, Buya Hamka, Hj. Rasuna Said dll.

Ciamis lebih cocok disandingkan dengan klub seperti Arsenal, dia yang memiliki segenap kedigdayaan di masa lalu, dengan histori kerajaannya. Lalu gong perdamaian nya di Ciung Wanara sebagai simbol harmonisasi laiknya motto Arsenal.

Begitu pula dengan sumber daya manusia nya. Orang-orang Ciamis namanya lebih besar di luar, dibanding di daerahnya sendiri. Tapi satu yang dibanggakan oleh Arsenal dan Ciamis, mereka punya kemampuan untuk terus menciptakan sumber daya manusia yang berkualitas.

Berkaitan dengan itulah, buku Narasi Perjuangan Intelektual hanyalah simbol dari perjuangan yang konsisten dan serius untuk tetap berikhtiar menuju masyarakat yang berkualitas.

Meski Ciamis bukan daerah yang fasilitas dan iklimnya tidak segemerlap seperti di Bandung dan Yogyakarta, namun Ciamis memiliki hak yang sama untuk memiliki ghirah tradisi keilmuan yang kuat. Buku ini menjadi daya gedor semangat bagi para pegiatnya dalam melaksanakan tugas-tugas kemanusiaan.

Simbol Inklusivitas

Banyak yang berharap bahwa buku ini sebagai batu loncatan pertama. Tonggak geliat aktivisme yang terus tanpa hentinya berjuang. Tidak terikat ruang dan waktu. Tidak terikat fanatisme madzhab dan golongan tertentu.

"Hanief" harus selalu menjembatani dan menjadi titik temu antara tradisionalisme dan moderatisme, antara konservatisme dan liberalisme. Tidak terjebak dalam ruang-ruang ekslusive yang baru.

Hanief adalah jalan lurus yang moderat sebagai komitmennya berikhtiar menuju masyarakat epistemokrasi. Tidak tergiur dalam kubangan komoditas apalagi kartel kepentingan sesaat. Bukan pula panggung narsisme dan popularitas. Ikhtiar hanief merupakan simbol inklusivitas.

Maka menjadi keniscayaan bagi para penggiatnya untuk tetap konsisten merawat, memelihara. Yang dalam bahasa sunda diistilahkan sebagai upaya-silih asah, silih asih, silih asuh.

Selain itu, dalam cakrawala atau universe kemanusiaan, pola belajar di hanief adalah upaya untuk tetap berdaulat. Dimulai sejak dari dirinya sendiri sehingga benar-benar siap untuk menjadi manusia sejati.

Momentum terbitnya buku ini bertepatan dengan pergantian tahun. Maka refleksi dan proyeksi soal kebajikan apa yang akan dilakukan pada 2021 menjadi kaca benggala bagi hanief sendiri. Para ulama sering mengingatkan betapa hari ini harus lebih baik daripada kemarin.

Keberbauran dan sikap zuhud hanief menjadi pedoman dalam bergerak. Seperti ghirah-ghirah profetika yang diuswahkan nabi. Semoga hadirnya buku ini memantik karya-karya lain sebagai bentuk konsistensi perjuangan hanief.