Dari waktu ke waktu, jumlah petani di Indonesia dikhawatirkan terus berkurang. Di tahun 2003, Sensus Pertanian yang diselenggarakan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat bahwa ada 31,17 juta rumah tangga  yang bergerak di sektor pertanian. Jumlah tersebut mengalami penurunan yang signifikan ketika dilakukan sensus yang sama 10 tahun berikutnya. Tercatat bahwa jumlah petani di tahun 2013 tinggal 26,13 juta rumah tangga.

Jika kondisi ini terus berlanjut, kemungkinan di dekade selanjutnya penduduk yang berminat menjadi petani semakin sedikit. Bahkan Kementrian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN/Bappenas) pernah menyampaikan bahwa diperkirakan pada tahun 2063, tidak ada lagi profesi petani seiring turunnya jumlah pekerja di sektor pertanian.

Berbagai faktor menjadi penyebab berkurangnya minat pada sektor pertanian. Antara lain kurikulum pendidikan yang tidak memperkenalkan usaha pertanian sebagai salah satu sektor potensial untuk digeluti. Kita ingat sejak masuk ke sekolah dasar, pelajaran yang mengulas potensi pertanian ini sangat minim.

Jika dilihat dari pendidikannya, 65,23 persen petani hanya berpendidikan SD ke bawah. Penduduk yang berpendidikan lebih tinggi lebih memilih bekerja di sektor lain ketimbang menjadi petani. Ada anggapan bahwa untuk menjadi petani tidak perlu pendidikan yang tinggi. Juga pendapat sebagian masyarakat bahwa sangat disayangkan sekolah tinggi-tinggi jika akhirnya menjadi petani.

Pekerjaan sebagai petani dinilai kurang bergengsi dibandingkan pekerjaan lain. Ada asumsi bahwa orang sukses adalah mereka yang bekerja di kantor sehingga profesi sebagai petani dipandang sebelah mata. Pekerjaan sebagai petani dilakukan di alam terbuka, di bawah terik matahari. Petani juga harus bergelut dengan tanah dan lumpur. Hal ini membuat pekerjaan sebagai petani dianggap membuat penampilan menjadi kurang menarik. 

Sangat jarang orang tua maupun pendidik yang mendorong agar anak-anak nantinya mau jadi petani. Bahkan orang tua rela menjual sawahnya agar anak-anak bisa terus sekolah dan tidak menjadi petani seperti dirinya. Tanyakanlah kepada anak-anak, adakah yang menjadikan petani sebagai cita-citanya? Jika ada, biasanya orang tua biasanya kurang mendukung cita-cita seperti ini.

Faktor ke dua adalah berkurangnya lahan pertanian. Konversi lahan yang semakin massif untuk keperluan pembangunan perumahan dan infrastruktur semakin menggerus kepemilikan lahan oleh petani. Di tahun 2003, luas lahan pertanian tercatat sebesar 14,14 juta hektar. Kemudian di dekade selanjutnya luasnya menurun drastis menjadi 8,65 juta hektar.

Kebutuhan perumahan meningkat seiring kenaikan jumlah penduduk. Pembangunan infrastruktur pun sudah menjadi keharusan mengingat perkembangan zaman. Pembangunan jalan maupun bandara mau tidak mau dibangun di lahan yang sebenarnya masih memiliki potensi tinggi untuk ditanami komoditas pertanian.

Faktor utama yang menjadi penyebab berkurangnya minat pada sektor pertanian adalah rendahnya kesejahteraan petani di Indonesia. Dari data kemiskinan, terlihat bahwa persentase penduduk miskin di pedesaan lebih besar dibandingkan dengan persentase penduduk miskin di perkotaan. Dimana sebagian besar penduduk di pedesaan bekerja sebagai petani.

Dari data Nilai Tukar Petani (NTP) pun terlihat bahwa perbandingan Nilai tukar petani di bulan Desember 2020 mengalami penurunan 0,11 persen dibandingkan dengan bulan Desember 2019. Nilai NTP di atas 100 menunjukkan bahwa fluktuasi harga komoditas pertanian masih dapat mengimbangi laju perubahan harga kebutuhan pokok yang dikonsumsi petani serta perubahan biaya produksi yang harus dikeluarkan untuk mengolah lahannya.

Angka NTP 105 ini menunjukkan bahwa perbedaan antara kenaikan harga komoditas pertanian dengan kebutuhan hidup petani masih sangat tipis. Petani hanya dapat menyisihkan sebagian kecil penghasilannya untuk pemenuhan kebutuhan tersier. Itulah sebabnya penduduk di pedesaan sangat jarang bisa memiliki barang mewah seperti mobil.

Pertanian merupakan pekerjaan yang sangat bergantung pada kondisi alam. Permasalahan yang sering muncul adalah sulitnya memperoleh air di musim kemarau. Tak hanya itu, kelangkaan pupuk pun menjadi batu sandungan bagi petani untuk mengelola lahannya. Butuh intervensi dari pemerintah guna mengatasi masalah tersebut.

Kondisi ini sudah seharusnya menjadi perhatian bersama, mengingat sektor pertanian erat kaitannya dengan pemenuhan kebutuhan pangan penduduk Indonesia. Kabar baik dari sektor pertanian adalah, meskipun jumlah petani semakin sedikit, produksi beras di tahun 2021 ini diperkirakan mampu memenuhi kebutuhan dalam negeri. Di tahun 2020 lalu, produksi padi mencapai 45,17 ribu ton, naik 0,07 persen dibandingkan dengan tahun 2019. Namun jika jumlah petani semakin berkurang, dalam beberapa dekade mendatang produksi padi juga akan ikut terancam. Hal ini dapat mengakibatkan ketergantungan pemenuhan pangan pada impor.

Harapan baru di sektor pertanian terletak pada generasi muda yang mau terjun di sektor pertanian. Saat ini 25,87 persen penduduk Indonesia adalah generasi millenial yang lahir antara tahun 1981 hingga tahun 1996. Usia generasi millenial ini berada pada masa produktif, yaitu 25 hingga 30 tahun. Pola kerja generasi ini adalah techno savvy atau ahli dalam menggunakan teknologi. Kita tidak bisa berharap bahwa generasi ini mau memanggul cangkul atau sabit. Generasi ini lebih cepat mempelajari teknologi yang baru seperti mesin pertanian dan aplikasi penunjang pemasaran hasil pertanian.

Saat ini pemilik lahan yang sudah berusia tua sering mengeluhkan sulitnya mencari pekerja muda untuk mengelola lahannya. Sementara generasi muda enggan berkecimpung di dunia pertanian dengan metode tradisional. Jumlah petani muda yang berumur kurang dari 30 tahun hanya 17,29 persen. Sementara jumlah petani berusia lebih dari 60 tahun mencapai 21,7 persen.

Untuk mendorong minat generasi millenial pada sektor pertanian, dibutuhkan dukungan percepatan teknologi. Di dalam berbagai platform sosial media, sering ditayangkan penggunaan berbagai macam alat pertanian modern di negara lain. Operator dari mesin pertanian modern ini adalah generasi muda. Penggunaan drone untuk menyemprotkan pupuk cair dan pestisida, alat untuk menanam, memupuk hingga memanen yang terlihat sangat menarik bagi generasi muda.

Sebagaimana diketahui, mesin yang memadai untuk mengelola lahan pertanian tidaklah murah. Begitupun pengembangan teknologi, diperlukan biaya yang tidak sedikit. Perlu dukungan modal usaha guna pembelian alat dan mesin pertanian yang memadai. Selain mendorong minat generasi millenial, penggunaan mesin pertanian modern ini juga diharapkan mampu meningkatkan efektivitas dalam mengelola lahan pertanian.

Tak hanya pada pemenuhan modal guna percepatan teknologi di sektor pertanian, pendidikan di Indonesia pun sudah semestinya mulai memperkenalkan dunia pertanian kepada anak-anak. Jumlah Generasi Z yang lahir antara tahun 1997 hingga 2012 mencapai 27,94 persen dari total penduduk Indonesia. Saat ini usianya adalah 9 hingga 24 tahun. Saat ini Gen Z sedang berada dalam masa menempuh pendidikan usia SD hingga perguruan tinggi.

Perkenalan pada dunia pertanian tidak hanya sebatas cara menumbuhkan bibit kacang hijau atau menanam kangkung. Di level pendidikan SMP hingga perguruan tinggi perlu diperkenalkan teknologi yang dapat mendorong peningkatan produktivitas di sektor pertanian. Tak jarang, keengganan menjadi petani muncul karena kurangnya pengetahuan di bidang ini.

Pemerintah pun tak luput memberi perhatian pada masalah ini. Untuk menarik minat generasi muda, Pusat Penyuluhan Pertanian mengembangkan penyuluhan pertanian dengan menggunakan teknologi seperti cyber robotic, internet of think (IOT), biotek dan big data. Diharapkan pengenalan sektor pertanian kepada generasi muda ini dapat menjawab kehawatiran krisis pertanian di masa yang akan datang. Nantinya profesi sebagai petani dipandang sama bergengsinya dengan profesi lain.