Saya mengakui, saya adalah di antara orang yang menggandrungi game. Bahkan, kecintaan itu masih ada hingga masa sekarang. Di sini, mungkin saja saya tidak sendiri. Sebab, di sekitar saya sangat mungkin masih ada sekian banyak orang lainnya yang memiliki kegemaran yang sama dengan saya ini.
Awal kali perkenalan saya dengan game adalah sewaktu saya berusia lima tahun. Waktu itu saya masih duduk di bangku kanak-kanak dan masih mondok di Kalipucung Blitar, pada sebuah pesantren yang diasuh oleh Pakdhe saya.
Suatu kali, di sela-sela waktu sambangan--kunjungan orang tua atau wali pada anaknya yang berada di pesantren, ibuk dan bapak saya mengajak saya pergi ke salah satu toko mainan. Dan di toko itulah, saya penasaran dengan sebuah kotak yang bergambarkan perahu dan pesawat terbang yang sedang berperang.
Melihat gambar itu, saya menjadi terbayang akan film perang-perangan yang selalu saya saksikan di TVRI bersama kawan-kawan pesantren lainnya pada malam Minggu, dan rutinitas saya bermain perang-perangan bersama mereka pada hari Jum'at pagi sehabis sarapan.
Imajinasi masa kanak-kanak saya yang begitu liar seakan penuh pertanyaan dengan benda unik itu. Saya menduga, kotak itu adalah salah satu strategi perang yang akan berguna untuk taktik pertempuran saya pada hari Jumat nanti.
Dan sebab alasan itulah, pada akhirnya, saya memilih mainan yang kemudian saya kenal dengan game board itu. Beruntunglah saya, sebab ibuk pun berkenan untuk membelikan saya kotak yang menurut saya menyimpan begitu banyak misteri itu.
Penjual mainan itu membuka segel kotak kardus game board yang saya pilih. Ia rogoh isi yang ada di dalamnya. Saya melihat sebuah benda plastik pipih keluar dari kotak itu. Dalam batin saya berkata, "mungkin itulah wujud benda yang disebut game board itu."
Penjual mainan itu membuka bagian belakang game board yang saya pilih itu. Ia masukkan ke dalamnya dua baterai yang berbentuk lingkaran pipih. Usai memasang baterai, ia tutup kembali bagian belakang game board itu. Kemudian, ia mencoba menyalakannya.
Saya semakin penasaran dengan benda asing yang disebut game board itu. Rasa penasaran yang bercampur sumringah, sebab benda itu tak lama lagi akan menjadi milik saya. Saya begitu bergembira luar biasa saat menerima game board itu dari tangan penjualnya secara langsung dalam keadaan masih menyala. Suara nyanyiannya yang terdengar lantang dari speaker mininya itu, seakan menantang saya untuk lekas memainkannya.
Dan, benarlah dugaan saya. Ternyata permainan pada game board yang saya beli ini berisi perang-perangan perahu, persis seperti yang tergambar pada bungkusnya, namun dengan tampilan kotak-kotak yang sederhana.
Dan seperti halnya game board lainnya pada jaman dulu, game board yang saya mainkan ini tampilannya masih monokrom alias hitam putih. Dari game board monokrom hitam putih itu saya menikmati keseruan yang tiada terkira saat berhadapan dengan lawan-lawan yang ada di dalamnya.
Setelah beberapa kali memainkannya, saya menganggap, bobot permainan pada game board saya ini termasuk kategori sulit untuk dimainkan, meski yang saya jalankan hanyalah tinggal membidik dan menghindari rudal balistik dari musuh.
Jumlah musuh yang terlalu banyak yang berada di permukaan lautan, yang menyelam di dasar samudra, hingga yang berasal dari udara, yang berhadapan dengan kapal perahu si pemain, yang hanya satu-satunya ini, menjadikan game ini seperti tidak masuk akal untuk dapat dimenangkan oleh siapa saja yang memainkannya. Khususnya, oleh anak ingusan seperti saya.
***
Tahun terus berlalu, hingga saya pun mulai mengenal berbagai bentuk game yang lainnya, yakni: video game, game komputer, dan yang termutakhir adalah game yang tersedia pada aplikasi gawai.
Awal kali saya mulai menikmati game dari aplikasi android ini, saya benar-benar tidak menyangka, bahwa game yang dulu saya dapatkan dengan cara membayar dan menggunakan uang tabungan saya itu, sekarang, diantaranya bisa saya peroleh dengan tarif yang nilainya nyaris gratis. Ia bisa saya unduh sesuka hati saya melalui paket kuota internet saya. Benar-benar begitu mudahnya.
Meskipun game ini telah menjadi semacam candu bagi saya, namun saya tetap mampu mengatur waktu-waktu saya. Saya tetap memperhatikan waktu istirahat, belajar, sekolah, sholat, makan, mengaji, dan membantu orang tua saya, selain saya juga tetap asyik memainkannya.
Saya tetap mengimbangi waktu bermain game ini dengan memenuhi kewajiban-kewajiban lainnya, meskipun mungkin dalam batin saya juga terasa berat untuk meninggalkannya.
Untuk mewujudkan hal ini, saya biasanya menyediakan waktu khusus, misalnya saat libur sekolah, pada malam hari usai mengerjakan tugas sekolah, atau pada waktu-waktu senggang lainnya.
***
Seperti halnya bermain game, akhir-akhir ini saya juga mendapatkan sebuah kenikmatan baru, yakni menulis. Entah kenapa, belakangan ini, aktivitas menulis ini seakan menjadi candu bagi saya, seperti ketika saya sedang bermain game dulu.
Aktivitas menulis yang dulu seakan menjadi momok menakutkan bagi saya, seakan telah bertransformasi menjadi hobi bagi saya sehingga saya pun terus merasa betah untuk mengerjakannya.
Saya menduga, hal ini mungkin ada kaitannya dengan semakin seringnya artikel saya yang terbit di media digital. Entah itu yang ada honornya maupun tidak. Diunggahnya karya tulis saya pada platform digital ini seakan telah menghadirkan kebahagiaan tersendiri bagi saya.
Dan karena kebahagiaan itulah, menjadikan saya kian tenggelam untuk menyelaminya dan semakin penasaran untuk "mengeksploitasi" apa saja yang ada dalam pikiran dan angan-angan saya dalam bentuk tulisan.
Jika pada saat saya bermain game yang bisa mengalahkan saya adalah para musuh, maka pada saat menulis yang menjadi musuh bagi saya adalah diri saya sendiri.
Musuh dari dalam diri saya ini antara lain mengenai seberapa paham saya dengan muatan tulisan yang saya tuangkan ini, seberapa telaten saya melakukan pembacaan secara berulang untuk melakukan penyuntingan, seberapa baik saya membagi waktu menulis saya dengan aktivitas lainnya, dan seterusnya.
Rasa-rasanya seperti tidak ada hambatan lagi yang menghalangi saya untuk menulis kecuali diri saya sendiri. Dan sebagai umat beragama yang mengakui keberadaan Tuhan, khususnya, yang juga pernah mencicipi ilmu tasawuf, sejatinya angan-angan saya ini tidaklah patut untuk dibenarkan. Sebab, setiap manusia pada dasarnya memiliki keterbatasan, baik itu timbul dari dalam ataupun dari luar dirinya.
Maka alangkah lebih bijaknya jika masing-masing orang mengakui secara jujur mengenai keterbatasan kemampuan pada dirinya itu. Tak terkecuali untuk perihal tulis-menulis.
Senikmat apapun saya menyelami dunianya, bahkan saking nikmatnya, hingga saya serupakan dengan kenikmatan saat bermain game, maka tetap saja, saya memiliki keterbatasan diri. Baik itu karena saya tidak mampu membagi waktu saya, kehilangan mood untuk menulis, dan lain sebagainya.
Pada saat-saat seperti inilah, seorang penulis akan berjuang "mati-matian" untuk mempertahankan passion-nya dalam dunia literasi itu. Dan, dalam perjuangan itu, hendaknya mereka tetap menyadari bahwa sebenarnya mereka tidaklah sedang berjuang sendirian.
Mereka masih bersama dengan para penulis lainnya yang karya-karyanya akan mampu menyalakan api inspirasi dari dalam pikirannya. Dan yang tidak kalah pentingnya lagi, Tuhan pun senantiasa membersamai mereka dalam setiap ketukan jemarinya pada papan pengetikan itu. Sehingga yang mereka perlukan hanyalah kesadaran diri mengenai hal-hal fundamental yang teramat penting ini.
Jika para penulis itu memiliki kesadaran akan hal ini, saya meyakini bahwa mereka pun akan berpotensi dapat menjaga kenikmatannya saat menulis, senikmat menjalani hobi yang mereka miliki, sehingga dengan adanya kenikmatan itulah kemudian akan lahir karya-karya mereka dari waktu ke waktu.