Menyebut “Kendeng”, tentu yang terlintas di pikiran adalah perjuangan keras para petani (perempuan). Mereka menolak keberadaan pabrik semen di kawasan Pegunungan Kendeng—rakyat menolak praktik eksploitasi?
Sulit menegaskan apakah perjuangan para petani Kendeng melalui aksi demonstrasi dengan cara mengecor kaki di Istana Negara (21/3) adalah murni perjuangan melawan eksploitasi terhadap manusia dan alamnya. Bagaimana mungkin bisa disebut demikian jika penolakannya sendiri tampak kontradiktif, menolak ekspolitasi dengan cara yang juga eksploitatif?
Memang, secara kasat mata, perjuangan para petani kemarin itu terang merupakan aksi penolakan terhadap tindakan dehumanitatif berupa eksploitasi manusia. Selain itu, meski sudah mendapat izin pengoperasian, mereka tetap menilai bahwa keberadaan pabrik di kawasan Pegunungan Kendeng ini hanya akan merusak sumber mata air sebagai kebutuhan utama para petani setempat.
Kekhawatiran di atas, jelas masih patut kita perdebatkan. Benarkah pabrik semen akan merusak sumber air yang dimaksud?
Jika menurut kajian Analisis Dampak Lingkungan (AMDAL) pembangunan pabrik, hal tersebut terang akan berkata “tidak”. Tetapi jika menurut pada alasan para penolak pabrik, dalam hal ini Jaringan Masyarakat Peduli Pegunungan Kendeng (JMPPK), tentu yang ada adalah pertentangan. Pada titik inilah permasalahan tersebut terjadi.
Ya, sampai kapan pun, soal ini tidak pernah akan usai. Si A menghendaki yang ini, sementara si B menghendaki yang itu. Kedua pihak punya kepentingan masing-masing yang saling berlawanan. Bagaimana mungkin bisa ketemu?
Dalam tulisan ini, saya tidak akan memperdebatkan pro-kontra pembangunan pabrik semen. Saya hanya akan memberi respon, mungkin semacam kritik, atas aksi yang berujung maut kepada salah seorang pesertanya bernama Patmi.
Seperti diberitakan, Patmi sebelumnya melakukan aksi mengecor kaki di depan Istana Negara. Seusai aksi, ia mengalami serangan jantung dan meninggal dalam perjalanan dari kantor Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta menuju Rumah Sakit St. Carolus, Salemba, Jakarta Pusat (21/3) dini hari.
Padahal, tim dokter yang ikut mengawal aksi sebelumnya sudah memantau kondisi para petani Kendeng. Ibu Patmi dinyatakan masih dalam keadaan sehat.
Akan tetapi, sekitar pukul 02.30, korban mulai mengeluh. Badannya tidak nyaman. Ia kejang-kejang, lalu muntah setelah mandi. Pihak rumah sakit pun segera membawanya ke RS St. Carulus Salemba.
Menjelang sampai di rumah sakit, dokter mendapatkan Bu Patmi meninggal dunia. Ia dinyatakan meninggal mendadak sekitar pukul 02.55 dengan dugaan serangan jantung.
Cara Aksi yang Keliru
Tak tahu persis apakah sebelum menyampaikan aspirasi di depan Istana Negara dengan cara mengecor kaki pakai semen itu sudah dilakukan kajian mendalam atau tidak. Sebab dalam kajian aksi, mestinya tak hanya menekankan aspek sosiologis belaka, seperti efek kerusakan lingkungan yang mungkin saja timbul dari keberadaan pabrik semen di Kendeng, melainkan juga aspek psikologis peserta aksi sendiri di lapangan, seperti potensi gangguan kesehatan akibat cor kaki dengan semen.
Sejauh yang saya ketahui, semen sangat berefek negatif pada kesehatan tubuh, apalagi sampai terkontak langsung dengan bahan material ini. Mulai dari iritasi kulit, alergi, sampai gangguan pernapasan, semua resiko semen terhadap kesehatan itu nyata dan terbukti adanya.
Itu sebabnya sehingga tak keliru jika ada pihak yang mengatakan bahwa meninggalnya Patmi seusai aksi semen kaki, adalah efek langsung dari semen itu sendiri. Jika tak percaya, silahkan coba saja.
Terlepas dari itu, satu hal yang paling patut disayangkan adalah mengapa harus kaum perempuan yang berperan dominan di dalam aksi semen kaki ini? Mengapa bukan kaum pria—tanpa hendak mengumbar isu gender—yang secara fisik lebih “kuat” dibanding perempuan?
Ya, tentu ini bukan soal kuat-kuatan semata. Bahwa tak selamanya kondisi fisik perempuan itu lemah daripada laki-laki. Hanya saja, ini soal indikasi adanya eksploitasi terhadap perempuan.
Coba kita amati, bukankah perempuan lebih cenderung berpotensi menarik perhatian publik daripada laki-laki? Dalam konteks aksi semen kaki, kiranya perempuan sengaja dipasang secara dominan agar tuntutan aksi, setidaknya, bisa cepat teranulir. Apalagi kita tahu bahwa aksi kaum perempuan selama ini jarang sekali mendapat respon negatif berupa pembubaran paksa dari pihak aparat keamanan.
Atas hal ini, saya kira lembaga perlindungan perempuan seperti Komnas Perempuan menindak tegas jika ada aksi serupa di kemudian hari. Apalagi seperti aksi semen kaki oleh petani Kendeng itu, yang tidak hanya eksploitatif terhadap perempuan, melainkan juga berpotensi pada terancamnya jiwa manusia karena material semen.
Dialog Lebih Berguna
Aksi demontrasi, betapa pun hebatnya dalam menekan dan mempengaruhi pengambil kebijakan (pemerintah), tetap masih kalah hebat dari dialog. Bahwa bertukar pikir dengan lepas dalam rangka menyelesaikan persoalan tertentu adalah jauh lebih baik daripada aksi demonstrasi jalanan.
Coba kita lihat bagaimana hebatnya efek dialog ini bagi eksistensi Indonesia. Bukankah Indonesia merdeka karena upaya perundingan (dialog)? Bukan kita merdeka karena adanya dialog antara para pendiri bangsa dengan pihak penjajah, dan bukan karena perang fisik (aksi)? Ini sekadar satu contoh saja.
Dan coba kita lihat hal yang sebaliknya. Efek apa yang kira-kira dilahirkan dari aksi pembubaran PKI selain pertumpahan darah antar sesama, yang bahkan kini menjadi penyakit sejarah yang sulit terlupakan lagi? Efek apa yang dihasilkan dari aksi ’98 selain aksi penjarahan, huru-hara, dan kerusuhan? Dan efek apa yang dihasilkan dari aksi “Bela Islam” selain ujaran kebencian dan politik bertamengkan SARA?
Pun demikian dalam konteks aksi petani Kendeng. Belum apa-apa sudah menelan korban. Jangankan itu, tujuan aksinya sendiri sama sekali tidak jelas. Terlebih lagi cara-cara yang dilakukan. Menolak eksploitasi kok dengan cara yang ekploitatif? Ini kan kontradiktif, bukan?