Indonesia dikenal sebagai negara kaya ras, suku, budaya, dan agama. Keragaman ini merupakan suatu kekayaan yang harus dijaga dari berbagai ancaman yang dapat merusaknya. Di kancah Internasional, Indonesia juga dikenal sebagai negara yang menjaga toleransi antar masyarakat di tengah banyaknya perbedaan. Tentulah hal itu merupakan kebanggaan yang patut kita syukuri.
Di berbagai daerah di Indonesia misalnya terdapat banyak sekali tempat ibadah yang berdampingan dari berbagai agama. Dalam pelaksanaannya pun berjalan dengan damai dan tidak timbul konflik horizontal yang menimbulkan kerusakan. Masing-masing umat beragama saling toleransi, seperti yang dilakukan Pemuda Katolik dan Gereja Masehi Injili di Minahasa (GMIM) dengan menjaga keamanan selama perayaan lebaran 2017 di sejumlah tempat di Kabupaten Minahasa Provinsi Sulawesi Utara. Begitu juga dengan para pemuda yang berasal dari Gerakan Pemuda Islam (GPI) Maluku, Gerakan Pemuda Ansor Maluku dan remaja Masjid Waihaong bekerja sama dengan pihak kepolisian untuk menjaga kelancaran dan keamanan peribadatan Natal di Manado, Minahasa Utara, 25 Desember 2016.
Keadaan tersebut terjadi karena masyarakat Indonesia sebagian besar sudah menyadari pentingnya toleransi antar umat beragama di tengah banyaknya perbedaan. Semua itu menunjukan bahwa sebagai warga negara Indonesia yang memiliki lima asas pancasila sebagai dasar berbangsa dan bernegara, perbedaan bukanlah alasan untuk tidak bekerja sama dalam menjalin kerukunan.
Namun dewasa ini, kesadaran akan multikulturalisme menurun di Indonesia. Tentu saja keadaan ini menjadi kekhawatiran kita sebagai warga negara Indonesia. Masyarakat mudah terprovokasi oleh canggihnya media komunikasi yang memberikan informasi paham radikal yang membahayakan keutuhan NKRI. Tidak hanya itu, di beberapa daerah di Indonesia mulai bermunculan organisasi Islam yang menganut paham radikal dengan pengetahuan agama yang mendasar, sehingga golongan tersebut menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuan.
Berbagai upaya yang mereka lakukan seperti memaksakan kehendak yang tidak sesuai dengan keyakinan mereka, melakukan tindakan anarkis, menyebarkan informasi yang radikal melalui media komunikasi dan memengaruhi elemen masyarakat dengan cara yang tidak seharusnya dilakukan. Tentu saja tindakan-tindakan tersebut anarkis yang diikuti aksi teror menuai banyak kecemasan dan ketakutan masyarakat Indonesia.
Banyak dampak negatif yang dapat timbul dari keadaan tersebut seperti pada ranah sosio-ekonomi. Masyarakat akan cenderung takut untuk keluar rumah, sehingga potensi pendapatan akan menurun. Infrastruktur akan rusak dan mengganggu jalannya sektor ekonomi yang sedang berjalan. Begitu pula dengan sektor pariwisata, wisatawan asing akan berfikir dua kali untuk mengunjungi tempat wisata di Indonesia. Ketidakstabilan sosio-politik menyebabkan para investor mengurungkan niat untuk berinvestasi. Apabila keadaan tersebut terjadi secara terus menerus, maka akan berujung pada pertumbuhan ekonomi yang lesu.
Oleh karena itu, diperlukan upaya deradikalisasi untuk menurunkan paham radikal yang membahayakan NKRI. Deradikalisasi adalah sebuah upaya untuk menurunkan paham radikal dari kecenderungan memaksakan kehendak, keinginan menghakimi orang yang berbeda dari mereka, keinginan mengubah negara bangsa menjadi negara agama dan menghalalkan segala macam cara kekerasan dan anarkis dengan mencapai keinginan, serta kecenderungan sikap bersifat eksklusif.
Paham radikal yang mulai tumbuh di kalangan masyarakat dan mahasiswa sudah seharusnya kita lawan dengan upaya deradikalisasi, sebaliknya kita harus memberi pendidikan multikulturalisme kepada masyarakat agar tercipta tatanan kehidupanan yang damai dan toleran. Upaya ini dilakukan dengan tujuan untuk menjaga keutuhan negara Indonesia sebagai negeri yang plural.
Setidaknya, upaya deradikalisasi dapat dilakukan dengan tiga cara, pertama, upaya formal, yaitu dapat dilakukan melalui lembaga pendidikan. Peran lembaga pendidikan diperlukan dalam menanamkan paham moderat sebagai warga Indonesia. Mengingat pendidikan memegang peran penting dalam pembentukan karakter, sehingga kita tidak bisa lepas dari pendidikan.
Kedua, upaya non-formal, yaitu dapat dilakukan di lingkungan tempat individu beradaptasi dan menyesuaikan dengan sesama makhluk sosial. Masyarakat harus dituntut untuk peka terhadap masalah sosial, tidak apatis dan turut aktif dalam memecahkan permasalahan yang berkaitan dengan keutuhan NKRI. Tuntutan itu diperlukan, karena dibutuhkan dalam membangun pemikiran yang anti radikal seiring perkembangan zaman yang semakin kompleks.
Ketiga, melalui upaya informal, yang dapat diterapkan dalam lingkungan keluarga. Upaya informal ini sangat penting ditekankan karena pendidikan pertama yang akan diperoleh anak adalah di lingkungan keluarga. Lembaga keluarga disebut juga sebagai lembaga primer. Tak bisa dimungkiri bahwa setiap sikap, pemikiran dan karakter individu sangat ditentukan serta dipengaruhi oleh keadaan keluarga. Oleh karena itu, individu diupayakan lebih disiapkan dalam upaya informal ini, kemudian apabila individu sudah dirasa cukup dalam lingkungan informal maka langkah selanjutnya adalah kedua upaya yang telah disebutkan di atas.
Upaya deradikalisasi ini membutuhkan dukungan berbagai peran dari berbagai kalangan, salah satunya juga mahasiswa. Sesuai dengan fungsi mahasiswa sebagai agent of control masyarakat dan agent of change, mahasiswa dan kaum intelektual sudah seharusnya berfungsi sebagai penengah dalam gejolak yang ada di masyarakat. Mahasiswa harus mampu berdiri tegak mengatasi masalah radikal yang akhir-akhir ini terjadi.
Berbagai upaya deradikalisasi yang dapat dilakukan mahasiswa misalnya dengan aktif di berbagai forum komunikasi. Kegiatan yang dapat dilakukan adalah memberikan pengetahuan kepada masyarakat mengenai pentingnya paham moderat di tengah banyaknya perbedaan yang ada di Indonesia, serta tidak cepat terpengaruh dengan organisasi-organisasi radikal yang tengah berkembang di masyarakat.