Puisi-Puisi Moh. Faiz Maulana 


Menjadi Perahu

aku adalah perahu nelayan yang datang dari
arah utara mengarungi lautan rindumu
bersama ikan-ikan kecil yang setia
menemaniku tubuhku dihantam ombak
badai menarikku kedalam pusara kelam
tapi aku tak pernah tenggelam.

sehelai layar hitam kedua ujungnya
diikatkan pada ujung tiang kayu jati direkatkan
pada segenggam hati. dalam tubuhku telah
tumbuh lumut dan karang
aku bermandi buih
tubuhku bau amis lokan-lokan
kuronce dan kulekatkan di bibir pantai
berharap ombak mengantarkannya
kepadamu.

aku adalah perahu nelayan datang dari
kegelapan
tanpa lampu tanpa awak
maukah kau menemaniku berlayar?


Mewarnai Langit

Aku akan mewarnai langit seperti
buku gambar anak-anak dan memamerkannya
kepada ibu
akan kulukis bintang kecil dari matamu
ia yang pernah mengajariku cara menangis

aku belajar dengan cara membiarkanmu
pergi dan tak sempat bertanya
apa warna kesukaanmu
aku mencoba menebak-nebak
warna kesukaanmu
kemudian melukisnya kedalam pikiranku
hijau entah biru
namamu yang pertama kulukis
dengan tinta air mata.

kepalaku penuh bintang dan beberapa
warna yang mudah hilang
cuaca selalu buruk
aku tak lagi memiliki matahari dan
bulan untuk dilukiskan
hanya hujan gerimis dan mendung
selalu mewarnai langitku.

sudah sepekan ini cuaca memang buruk
tak sebaik saat ada dirimu di sampingku
bahkan di televisi, cuaca diramal dengan
angka-angka
selasa, langit penuh awan dan gelisah
rabu, curah hujan rendah tapi rindu akan tumpah
besok udara cerah, lusa pecah
hujan di mana-mana, di mataku, di matamu
entahlah, semoga di kepalamu tak ada
ramalan cuaca.

tetapi aku takut langit tiba-tiba marah
sebab dipermainkan cuaca
menjatuhkan semua bintang-bintang dari matamu
menggantinya dengan percik air mata

aku akan mewarnai langit seperti buku
gambar anak-anak dan memamerkannya
kepada ibu
melukismu dengan berbagai
macam warna –tubuhmu biru laut
rambutmu putih awan
matamu cahaya yang menyinari
senyum terakhirku.


Belajar sepeda

lelaki itu menggoyangkan bahuku
ke kanan dan ke kiri
di belakang stang aku hanya
wayang.

hari ini aku belajar mengendarai sepeda
bersama ayah dan segala rasa khawatirnya
di dadanya ia menghitung cemas
kelak ia akan sendiri ditinggal
anak perempuannya pergi.

keringat membasahi ubun-ubun kita
langit menjatuhkan banyak sekali cahaya
kukayuh sepeda dengan sekuat gelisah
deraknya memejamkan mata ayah
lelaki itu di belakangku
menghitung, satu dua tiga empat lambat
membiarkanku melaju sendiri
menemukan jarak dan tempat berhenti
kutahu di suatu tempat ia cemas
menungguku kembali.