Masih ada waktu sekitar tiga puluh menit.

Pandanganku tertuju pada halaman yang ditumbuhi banyak rumput. Hampir sejengkal rumput-rumput hijau itu hidup di halaman sebuah rumah yang kami sekeluarga akan datangi.

Matahari bersinar cukup terik. Panasnya menyengat. Beberapa ayam terlihat mengais-ngais tanah. Adapun terasnya  berdebu dan tempat sampah bekas ember cat tergenang oleh air hujan. Rupanya, hujan telah mengguyur desa itu beberapa hari yang lalu.

Rumah yang berdiri di antara deretan rumah yang lain itu, kata bapak kini sudah berdinding tembok. Awalnya masih beranyam bambu dan beratap rumbia.

Memang kata bapak, kebanyakan rumah pada zaman dahulu masih berdinding bambu dan jarang yang bertembok. Batu bata mahal. Tidak mampu orang-orang dusun macam bapak untuk membelinya.

Kala itu masa paceklik. Makanan susah didapat dan kelaparan dimana-mana. Rumah yang sudah banyak berubah ini menjadi saksi bahwa beliau pernah menghabiskan masa kecilnya, di sini.

Rumah yang tidak terawat pikirku. Seperti rumah tiada berpenghuni. Pintunya setengah terbuka, mungkin sengaja dibiarkan agar sinar matahari dapat masuk. Oh, pintu kayu yang sudah usang.

Di depan halaman rumah terdapat kali yang mengalir deras airnya, sebagai batas antara jalan raya dengan rumah-rumah penduduk.

Mobil kuda kesayangan bapak telah terparkir rapi di sisi kiri jalan. Mobil warna hijau metalik yang nge-hits tahun 90-an itu, kata bapak sayang untuk dijual.

Perlahan kami masuk ke dalam dan mengucap salam. Setengah tertahan kami berada di pintu masuk...

Kami memandang sekeliling. Meja kursi yang berdebu, serta almari besar yang tampak kosong. Sepertinya pemilik rumah ini tiada cukup waktu untuk merawat dan menatanya supaya terlihat bersih dan enak dipandang.

Seorang nenek tua tidur di lantai dengan beralas kasur lipat dan beberapa bantal. Wajahnya memancarkan aura kedamaian, walau terlihat gurat-gurat kesedihan yang tiada bisa disembunyikan dari wajah tua putih yang telah keriput itu.

Di sampingnya tersedia gelas berisi teh yang tinggal setengahnya, sebotol air putih dan beberapa kue cucur terbungkus plastik.

Banyak semut-semut mengerubungi teh yang telah mendingin itu. Sepertinya sudah sejak pagi tadi dihidangkan dan belum tersentuh lagi.

Kami duduk menyila. Dengan hati-hati bapak membangunkan nenek, "Ni, ni.. sapa kiye ya? Tebak jajal sapa sing teka?". (Nek, nek.. siapa ini, coba tebak siapa yang datang?).

Perlahan-lahan si nenek membuka matanya. Dalam keadaan bingung beliau mencoba bangkit untuk duduk. "Sapa kiyee... yong wis ora weruh, uwis budheg". Kata nenek memelas, sambil memegangi mata dan telinganya. (Siapa ini, aku sudah tidak bisa melihat jelas, juga sudah kurang jelas mendengar).

Cah gunung ni, kata bapak setengah berteriak seraya mendekat ke telinga nenek. Sapa?. Putrane Ni Kholip, terdengar bapak menyebut nama nenekku. Lama sekali nenek itu mengingat.

Sapa kiye? Siapa ini? Lalu menunjuk aku, ibu dan adikku. Kami menggenggam tangan beliau untuk bersalaman.

Pandanganku kabur, tidak terasa air mata ini jatuh perlahan, menetes membasahi jilbab cokelat yang sedang aku kenakan. Perasaanku tidak menentu antara haru bercampur kasihan. Tolong tinggalkan sejenak, aku malu mengakui bila aku suka terbawa perasaan.

Beliau adalah budhe-nya bapak. Usianya sudah kelewat 80 tahun. Beliau satu-satunya generasi tua yang masih tersisa dalam silsilah keluarga bapak. Suaminya dan saudara-saudaranya termasuk nenekku telah meninggalkannya duluan, meninggalkannya dalam kesunyian.

Bapak memiliki pengalaman bersama sepupu-sepupunya disini. Seperti yang sudah aku katakan sebelumnya, masa paceklik menyebabkan makanan susah dibeli. Harga lauk pauk menjadi mahal.

Tiap musim hujan, kali depan rumah banjir. Ini adalah kesempatan bagi bapak dan anak-anak nenek mencari udang dan ikan-ikan kecil.

Hasil tangkapan itu mereka bawa untuk dibakar di kebun belakang rumah, dengan dibumbui garam dan cabai liar yang dipetik dari jalan. Dari situ lah mereka bisa menyantap makanan lezat.

Sama seperti bapak, sepupunya pun sudah lama berkeluarga. Tahun 90-an, bapak diangkat menjadi pegawai pemerintah dan berdinas di Magelang. Sedangkan sepupunya merantau ke Jakarta hingga sekarang. Semenjak itu, nenek tinggal bersama anak bungsunya.

"Siki jam siji apa ya?”. Sekarang pukul satu ya?.

Tiba-tiba lamunanku akan kisah bapak membuyar. Itu kalimat yang kemudian ditanyakan oleh beliau setelah kami duduk beberapa jam. Mau tidak mau kepala kami menoleh melihat jam. Benar. Jam menunjukkan pukul satu siang.

Kami melongo. Mata tuanya sudah lamat-lamat memandangi kami. Namun anehnya masih tetap awas dan benar dalam melihat pada angka berapa kedua jarum jam dinding itu menunjuk.

Rupanya sebelum kedatangan kami, nenek itu telah sembahyang Zuhur. Lalu tanpa sadar tertidur dan kami bangunkan. Beliau berwudu sebisanya dengan air yang sudah disediakan.

Bapak dahulu pernah berjanji kepada keluarga nenek untuk membelikan banyak daging dari gaji pertamanya sebagai guru negeri. Setiap bapak menengoknya, betapa senang hati mereka melihat keponakannya menjadi seorang abdi negara.

Sekarang, perlu waktu lama bagi beliau untuk mengingatnya. Selain karena pandangannya yang kabur, ingatannya juga telah lemah. Yang menakjubkan, beliau masih ingat lima waktu sembahyang.

Aku yakin beliau sudah tidak ingat nama anak-anaknya satu persatu. Apalagi cucu-cucunya yang banyak itu. Herannya, kepada satu nama yang sepertinya tidak akan beliau lupa. Nama Tuhan selalu disebut olehnya.

"Alah biyung.. nafasku sudah terasa semakin sesak. Memakan makananpun tidak enak. Aku sudah tidak tahu dimana anak-anakku. Yang aku ingat satu, sembahyang", kata beliau disela-sela curahan hatinya.

Bapak mengangguk mengiyakan. "Beginilah nak, tiada yang perlu disombongkan dari dirimu. Sejauh apapun pencapaian duniamu, kau pasti akan kembali, kau butuh Tuhan".

Cess.. siang itu panasnya tidak menjadi terlalu terik bagiku. Bapak menghadiahi kami sebuah pelajaran, sebuah hikmah yang bisa dipetik dari perjalanan seorang manusia. Sejatinya, kita membawa sejarah untuk kembali kepada-Nya.

Liburan bersama kali ini menjadi sebuah momen yang berharga. Aku tidak boleh melupakan darimana diriku berasal. Kini, aku mengajar mata kuliah filsafat untuk mahasiswa sarjana di Al-Azhar, Kairo.

Jauh dari orang tua terkadang membuat kerinduan menggelitik diri ketika sedang asyik melamun. Semoga nilai-nilai kebaikan yang sudah orang tua tanamkan tercermin ke dalam tindak laku dan tutur kami.

Aku berterima kasih kepada bapak dan ibu, yang tanpa mereka sadari telah mengajariku agar menjadi manusia merdeka, manusia seutuhnya dan manusia yang kembali kepada fitrahnya.

Teet... waktu tiga puluh menitku telah habis untuk bercerita. Ah, hampir telat. Aku harus bergegas menuju kelas.