Memiliki kebiasaan menertawakan keadaan adalah fitrah dari tuhan bagi sebagian orang. Betapapun sukarnya urusan selalu bisa kau hantam dengan candaan.

Namun pada saat yang sama kerap kali kita dibuat heran atas tingkah polah manusia. Pada kondisi tertentu emosi kita bisa begitu bergejolak kemudian redup dan rasa sesal menyelimuti setelahnya. Betapa kompleks dan fluktuatifnya manusia.

Beberapa kalangan memilih minum-minuman keras. Sementara yang lain melipir ke remang-remang mencari wanita bayaran. Dan, sebagian lagi memilih beranjak menuju surau untuk mengadu kepada tuhan. Ada banyak bentuk ekspresi yang bisa dilakukan ketika perasaan terguncang.

Saat ini kita hidup pada suatu masyarakat industri yang fondasi dasarnya adalah ekonomi. Harta diburu tiada henti. Jumlah kepemilikan menjadi standarisasi. Orang-orang dipaksa tunduk pada angka demi angka hingga abai terhadap makna.

Suatu parameter hidup yang kian hari kian merasuk pada struktur alam pikir. Gelombangnya begitu besar hingga mampu menggusur siapapun ke dalamnya. Orang miskin tertunduk senyum, sementara dendamnya membara di ulu hati. Kaum borju tertawa sambil berucap “makanya kerja, biar kaya!”.

Pagi itu kau dilanda murung. Setengah cangkir kopi yang kau reguk tampaknya belum cukup untuk meredakan gejolak emosi yang tak bisa kau luapkan.

Bagaimana tidak, semalaman kau tidak tidur demi menonton klub sepakbola kebanggaan bertanding. Namun hasilnya jauh di luar ekspektasi, klub kesayanganmu kalah telak oleh tim rival. Efeknya jelas, secara psikologis konsentrasimu menjadi buruk dan gampang marah. Mudah merasa sedih juga sensitif lebih daripada biasanya.

Di tengah kemurungan kau harus segera ke kantor dan kembali menelan mentah celotehan bosmu. “Jadilah karyawan yang baik dan bekerjalah sepenuh hati, mari tumbuh bersama menuju hidup yang lebih baik”. Begitulah kira-kira ucapan bosmu sebelum menutup ocehannya.

Hey, baru seminggu yang lalu bosmu berlibur ke luar negeri membeli ini dan itu. Sedangkan kau masih di angkringan dengan nasi kucing dan teh tawar. Dan sekarang dengan entengnya dia membicarakan tumbuh bersama-sama. Puta!

Kumparan kedongkolanmu semakin menyeruak ke ubun-ubun. Ingin rasanya kau angkat tangan, lalu menghardiknya sekaligus membanting apapun yang ada di sekitarmu. Kemudian kau ludahi muka bosmu itu, cuiihh.

Tapi sayang nyalimu tak berbanding lurus dengan pikiran dan emosimu. Pertama kau takut dipecat. Kedua kau harus menjadi karyawan yang baik.


Hey hidup hanya numpang ketawa.

Aku tertawa maka ku apa.

Alunan suara Jason Ranti menemanimu memulai hari dengan penuh semangat. Malam tadi waktu tidurmu cukup, bangun tidak kesiangan, sudah mandi dan siap berangkat kerja.

Oh ya kau juga sudah sarapan. Sarapannya dua kali, pertama kau makan sebungkus nasi kucing. Kedua kau makan omongan ibu kosmu “yang rajin kerjanya, biar cepet kaya”

Hampir saja sarapan keduamu itu mengacaukan hari yang penuh semangat ini. Untunglah malam tadi kau tidak begadang, sehingga secara psikologis emosimu lebih terkendali. Dengan baik otakmu mencerna perkataan ibu kosmu itu dan mengolahnya menjadi hasrat yang menggebu.

Kau percaya bahwa nasib akan terus membaik atau ada kenaikan jabatan atau dipinang oleh perusahaan bonafide yang memungkinkanmu menabung sebanyak mungkin. Rumusnya semakin keras bekerja, semakin semakin tebal isi dompetmu.

Dengan seperti itu kau bisa membayangkan masa depan yang indah;

Suatu hari di sore yang sempurna. Seusai pulang kerja, kau tiba di rumah. Istrimu menyambut dengan penuh senyum dan anakmu yang masih balita berjingkrak kegirangan. “Aku dapat bonus dan akan promosi jabatan. Bulan depan kita liburan ke Raja Ampat.” ujarmu pada mereka.

Istrimu senangnya bukan main. Ia lalu memelukmu dan mengecup pipimu bertubi-tubi. Ia menatapmu tanpa berkedip. Sorot matanya berbinar, senyumnya terbuka lebar. Menunjukkan bahwa pilihannya menikah denganmu adalah keputusan terbaik dalam hidupnya. Ia bangga. Ia tidak menyesal sama sekali.

Astaga, sungguh sulit dipercaya kau benar-benar mengamini ucapan basa-basi ibu kosmu itu. Kau nyaris terjangkit halusinasi. Kau mendapati angan yang begitu tinggi. Memaksa raga menggapai obsesi. Menikmati kesibukan untuk memenuhi hasrat kefanaan. Semua kau lakukan demi mendapat pengakuan.

Tapi kau lupa bahwa nyatanya upah pekerja di negeri ini sangat rendah, yang dimungkinkan bertambah kaya dengan cepat adalah para taipan dan gerombolan pejabat korup yang bermain busuk dengan para cukong. Bukan kau, kau hanya buruh.

Kini tanggungan kerja terus bertambah, keuangan kantor kian membaik, dan perusahaan membukukan keuntungan yang luar biasa. Semua sektor di tempatmu bekerja mengalami peningkatan. Hanya saja upahmu yang stagnan segitu-segitu saja.

Tak apa, kau masih beruntung punya pekerjaan. Rajinlah menabung, siapa tahu suatu saat kaya raya. Dan yang terpenting, kau harus menjadi karyawan yang baik!

Ingat apa kata Wiji Thukul “Besok pagi kita ke pabrik. Kembali bekerja. Sarapan nasi bungkus, ngutang seperti biasa.”

Pagi ini kau dilanda murung; kusam, lusuh, tak tau arah, kelabu, bangsat!