Kecerdasan emosional (EQ) memainkan peran penting; bukan hanya bagi perkembangan karakter anak, tetapi juga kemampuan belajarnya. Berbagai hasil penelitian menunjukkan bahwa kemampuan akademis anak meningkat ketika faktor sosial dan emosional ditangani secara terukur. Menurut Arnold bahwa tanpa pengembangan EQ, sekolah tidak dapat menjamin kesuksesan akademis dan masa depan bagi anak.
Maka, pendidikan di Indonesia harus pula memiliki misi mengembangkan kecerdasan emosional (EQ) dan kecerdasan intelektual (IQ) bagi peserta didik terutama pada usia dini. Sekolah yang baik adalah sekolah yang mampu membekali anak dengan keterampilan dan alat (kurikulum) baik yang memungkinkan mereka mampu mencapai prestasi akademik tinggi dan responip terhadap lingkungan sekitar.
Dalam segi teoretis, konsep kecerdasan emosional bukanlah barang baru. Howard Gardner menggunakan terminologi kecerdasan interpersonal dan intrapersonal untuk menjelaskan tentang kecerdasan ganda pada manusia.
Sementara, teoretikus seperti Peter Salovey dan Daniel Goleman mempelajari fungsi dan tipe kecerdasan dalam masyarakat dan menyepakati pemahaman umum tentang kecerdasan emosional adalah hasil optimal relasi antara pikiran, perasaan dan tindakan dalam antara diri sendiri (self) dan orang lain.
Secara lebih terperinci, Goleman mengidentifikasi ciri dari kecerdasan emosional di antaranya; kecerdasan emosi ditandai dengan sensitifitas untuk mengenali perasaan dan sudut pandang orang lain. Mampu mengelola emosi yaitu dapat menangai perasaan dengan tepat sehingga dapat menenangkan diri, menjaga keseimbangan dan tidak diliputi atau dilumpuhkan ego.
Selain itu, domain dari EQ adalah mampu memotivasi diri dengan tetap fokus pada tujuan yang ingin dicapai yang mempengaruhi kreatifitas dan produktivitas untuk selalu memperoleh hasil maksimal.
Lalu pertanyaan mendasarnya adalah bagaimana cara untuk mengembangkan kecerdasan emosi pada anak?
Penelitian mutakhir dalam dua dekade terakhir memperlihatkan bahwa perkembangan kecerdasan emosional pada anak-anak berkembang seiring bertambahnya usia. Pada usia tiga tahun, anak telah mampu mengenali, memberi label, dan dengan tepat mampu menanggapi perasaan misalnya perasaan sedih, bahagia dan rasa takut melalui indikasi non-verbal, bahasa tubuh dan gerakan seperti ekspresi wajah dan nada suara.
Selain itu, penelitian tersebut membuktikan kepada kita bahwa keterampilan emosional dan sosial pada anak-anak terhubung dengan prestasi akademik anak. Bagi banyak anak, prestasi akademik pada masa awal sekolah membangun fondasi kuat terhadap keterampilan emosional dan sosial anak. Maka, guru dapat mengembangkan minat dan kepekaan sosial terahadap peserta didik mereka.
Guru juga perlu menyadari kekuatan emosi dan bagaimana hal tersebut dapat memengaruhi retensi informasi pada peserta didik. Lembar kerja dan buku dengan berbagai fakta informasi tidak menjamin menstimulasi emosional kelompok usia ini (anak). Justru, perlu disadari pada usia ini, anak-anak sekolah dasar lebih tertarik dengan ekspresi artistik yang langsung terkoneksi dengan aspek emosi anak.
Bagi guru, ada beberapa cara untuk mengembangkan kecerdasan emosi (EQ) pada anak. Pertama, memahami bagaimana sebuah perasaan berdampak pada diri dan mampu menggunakan elemen itu untuk mengelola perasaan secara efektif dengan cara bertindak lebih positif. Ketika kita tidak memiliki kesadaran diri, maka kita dengan mudah jatuh ke dalam jebakan (emotionally hijacted). Hal ini dapat terlihat ketika guru kadang-kadang kehilangan perasaan terhadap anak.
Kedua, menciptakan lingkungan belajar yang baik dan aman. Memelihara lingkungan belajar positif, aman dan sehat adalah prioritas utama bagi para guru. Jika lingkungannya tidak positif, maka, upaya guru akan sia-sia. Bagaimana kita dapat menciptakan lingkungan belajar positif, aman dan sehat? Tentu, aspek fisik ruang kelas memiliki efek mendalam pada perasaan anak pada saat belajar. Menciptakan lingkungan kelas yang kreatif, penuh warna, menarik dan dihiasi gambar dapat mempengaruhi pikiran dan perasaan anak.
Mempersonalisasikan lingkungan kelas akan membantu anak-anak merasa dicintai, disambut dan diterima. Oleh karenanya, guru perlu mempertahankan sistem peremajaan penampilan kelas secara teratur. Dengan lingkungan kelas kondusif, guru menjamin keamanan emosional bagi anak sehingga mereka merasa dihargai, dicintai, dihormati dan diterima.
Hubungan semacam ini mendorong anak menjadi diri mereka sendiri, menjadi peserta didik yang ingin tahu; mengajukan pertanyaan, menyelidiki, membuka diri untuk belajar dan terpenting bebas mengekspresikan perasaan tanpa takut dan ragu.
Fakot lain yang perlu diperhatikan guru untuk meningkatkan kecerdasan emosional anak adalah memperhatikan hubungan anak dengan teman sebaya mereka. Ketika anak-anak berhubungan baik dengan teman-teman mereka, mereka secara emosional lebih terikat; dapat bekerja secara kooperatif dan menikmati pengalaman belajar bersama.
Di sisi lain, ketika mereka mengganggu dan menyakiti satu sama lain, mereka merasa tidak aman secara emosional dan tidak dapat berkonsentrasi karena otak mereka sibuk dengan masalah emosional.
Oleh sebab itu, guru berkewajiban untuk menjamin hubungan baik antara anak-anak. Karena realitasnya, banyak sekolah yang hanya fokus pada pencapaian target akademik tanpa memperhatikan masalah emosional anak. Adalah tanggung jawab sekolah dan guru menciptakan lingkungan kelas di mana anak benar-benar peduli satu sama lain.