Kemarin sore, setelah beraktivitas di rumah sakit, saya bergegas keluar menuju parkiran mobil karena ingin segera pulang. Kebetulan ada janji dengan keluarga. Tapi, tiba-tiba langkah saya melambat melihat anak kecil yang saya taksir berumur sekitar 10 tahun dengan asyiknya duduk bersantai di pinggir tempat parkir sambil menghirup dan mengepulkan asap rokok.
Dari cara jarinya mengapit batang rokok dan kenaturalannya dalam menghembuskan asap, nampak anak ini sudah tahunan merokok. Saya hanya bisa membatin: kasihan betul anak ini, usia sedini itu sudah jadi korban industri rokok. Sedih.
Sulit memang melawan aktivitas rokok di Indonesia. Dilematis. Banyak pro-kontra-nya. Tapi, selaku tenaga kesehatan, malu juga rasanya mengetahui data dari majalah Lancet bahwa di saat jumlah perokok di dunia telah menurun secara drastis, Indonesia tidak mengalami penurunan jumlah perokok. Apalagi dari analisanya dipikirkan bahwa turunnya angka perokok secara global dipikirkan karena semakin banyak negara yang menggalang kampanye antirokok.
Saya hanya mikir, apa memang Indonesia kurang agresif dalam berkampanye antirokok? Atau ternyata lebih banyak faktor X yang menyebabkan kondisi ini? Buktinya, ayat tentang tembakau saja sempat hilang dari rancangan Undang-Undang Kesehatan di DPR.
Apalagi saat ini rokok juga semakin masif dalam berkampanye. Bukan cuma lewat iklan, sponsorship, dan konser-konser, melainkan juga lewat corong aktivis rokok. Yang terakhir ini lumayan bikin senyum. Lumayan bikin seru saat diskusi tentang rokok.
Tapi, kadang bikin gemas juga kalo apologi sofistik mereka sudah keluar. “Kalo rokok berbahaya buat kesehatan, mengapa kalian tidak peduli dengan kenaikan harga listrik yang menyengsarakan rakyat?” Urusannya apa, ya, rokok dengan harga listrik.
Yang paling sering seperti ini: “Kalo rokok berbahaya bagi kesehatan, bagaimana dengan asap knalpot? Bagaimana dengan jeroan yang meningkatkan kolesterol? Bagaimana dengan micin yang bisa bikin chinnese restaurant syndrome? Mengapa cuma rokok yang kalian larang?”
Eh, yang bilang ga ada kampanye tentang bahaya asap knalpot dan kolesterol sampe MSG itu siapa, tong? Ke puskesmas sana, biar kenyang penyuluhan.
Lebih cilaka lagi karena ada yang seenaknya mengutip puisi “Ada Apa dengan Kalian”-nya Gus Mus: “Bila karena merusak kesehatan, rokok kalian benci, mengapa kalian diamkan korupsi yang merusak nurani?”
Hadehhhh… Ini mirip kayak ustaz google yang comot ayat dan hadis kanan kiri tanpa mengerti konteksnya, terus dipake buat menyerang pendukung calon pemimpin daerah tertentu. Lagian, Gus Mus udah lama berhenti merokok, mas bro.
“Tapi, kenapa harus rokok?” Oke kalo kalian tetap ngotot, saya coba menjelaskan dengan sabar.
Sebenarnya, kalian merokok 1 batang itu saja itu tidak bakal langsung bikin stroke, impotensi, dan segala macam. Tapi, racun rokok itu baru keliatan akibatnya bila dikonsumsi secara terus-menerus dalam jangka waktu lama. Sama dengan soto daging, kalian makan satu mangkuk soto daging tidak akan langsung kolesterol tinggi.
Tapi, coba saja makan soto daging 3 kali sehari selama 5 tahun kalo ente tidak kena penyakit jantung koroner plus kanker usus. Masalahnya, tidak ada orang yang makan soto daging 3 kali setiap hari. Tapi, yang merokok bahkan lebih dari 3 batang sehari itu banyak. Mengapa demikian? Karena rokok mengandung zat adiktif yang membuat penikmatnya ingin merokok terus menerus hingga tanpa terasa 1 bungkus telah dihabiskan selama seharian.
Tapi, memang rasanya tidak adil juga menuduh rokok sebagai penyebab kematian. “Merokok membunuhmu” katanya. Padahal rokok cuma meningkatkan resiko kanker paru-paru 23 kali, penyakit paru obstruksi kronik 17 kali, dan penyakit jantung koroner sebanyak 4 kali dibanding orang yang tidak merokok (CDC, 2017).
Urusan dia meninggal karena kanker dan sakit jantung itu lain soal. Lagian, mati itu kan di tangan Tuhan, ya.
Eh, tolong jangan dikutip setengah-setengah, ya. Jangan sampai saya dituduh menistakan agama. Saya cuma bermain-main dengan majas sinisme. Rokok memang berhubungan dengan kematian, meskipun secara tidak langsung. Huff.
Ada juga yang biasa nyolot kayak begini: ”Halahhh…itu nenek gua udah 80 tahun masih merokok sehat-sehat aja, tetangga gua yang ga ngerokok masih muda malah dah meninggal kemarin.”
Yah, yang punya nenek merokok tapi bisa bertahan sampe umur 80 tahun, ya Alhamdulillah. Bisa Anda bayangkan kalo dia tidak merokok, pasti umurnya bisa lebih panjang lagi.
Buat yang punya keluarga tidak merokok, tapi meninggal muda karena sakit kanker, misalnya, ya tetap Anda syukuri waktu yang telah Anda lalui bersamanya. Bayangkan kalo dia juga ikutan merokok, mungkin umurnya lebih pendek lagi.
Intinya, rokok itu memang tidak baik buat kesehatan, guys. Anda tidak bisa menentang fakta ini sehebat apa pun Anda berfilosofi tentang rokok dan berteori ekonomi tentang cukai rokok. Bahkan, alasan membela industri rokok tanah air melawan asing pun menjadi tidak laku lagi, karena mulai dari Sampoerna hingga Gudang Garam sudah dibeli oleh asing.
Tidak juga kami berkomplot dengan perusahaan farmasi yang memproduksi nicotine replacement therapy, seperti yang biasa dituduhkan dengan mengutip buku Wanda Hamilton, Nicotine War. Mana mungkin kami akan menguntungkan penjualan obat mereka kalau kampanye kami berhasil mengurangi jumlah pembelinya, yaitu perokok itu sendiri.
Lagian, obat itu tidak laku, bro, banyak yang tidak tahan dengan efek sampingnya, mahal pula, tidak ditanggung BPJS. Mending ingat anak-istri, masih lebih aman dalam menghentikan kecanduan rokok.
Kalian juga bisa pake tips berhenti merokok ala Gus Mus yang mana kita idolakan bersama, “Setiap ingin merokok, tundalah 2 sampai 5 menit. Lakukan itu seterusnya. Pasti akan berhenti merokok.”
Tapi, saya juga ingin fair mengatakan bahwa rokok itu memang punya efek bikin fungsi kognitif dan fokus meningkat (Jasinska dkk, 2013). Terbukti kok secara ilmiah. Ciee…yang merokok langsung senang.
Tapi ingat, rokok tetap punya efek merugikan yang jauh lebih banyak. Jadi, ya, mungkin jalan tengahnya begini saja. Kalian yang sudah terlanjur menjadi hamba rokok, silakan untuk tetap merokok selama rokok itu bisa membuat Anda menjadi produktif. Ingat, ya! PRODUKTIF!
Mungkin dengan merokok, Anda akan lebih menghargai waktu dan memaksimalkannya dengan karya-karya. Toh umur memang tidak perlu panjang-panjang, yang penting hidup bermanfaat. Daripada nanti pusing ditanya malaikat umur digunakan buat apa saja?
Tapi, buat yang berpikir umur panjang dan bermanfaat itu jauh lebih bagus lagi, maka berhentilah merokok. Masih ada secangkir kopi yang bisa menemanimu berdiskusi, mengerjakan tugas, atau sekadar meratapi nasib.