Meminjam istilah politisi, saat ini bisa disebut sebagai “masa reses”. Istiqlal, Thamrin, Monas, dan Jakarta sepi dari aksi. Ini pemandangan yang baik. Teriak takbir dan caci-maki tak menyeruduk meningkahi hilir-mudik kendaraan di jalanan. Aparat gabungan Polri-TNI bisa beristirahat, menarik nafas dalam-dalam, menghembuskannya kuat-kuat.

Politisi menggunakan masa reses untuk turba, menyapa pemilih-pendukungnya. Terserah, digunakan untuk mendengar aspirasi, atau untuk selfie-selfie. Namun, dalam “damai”-nya Jakarta dari “Aksi Damai”, pikiran saya gelisah sekali. Bayangan horor menghantui. Horor itu akibat dari pertanyaan yang tidak bisa saya jawab sendiri: Apakah Ahok nanti akan bebas, dinyatakan tak bersalah, ataukah Ahok akan mendekam di penjara?

Pada “rumput yang bergoyang”, saya tak beroleh jawaban. Malah, “rumput yang bergoyang”, mendadak bergoyang sendiri-sendiri, sebagian menari bersama angin, sebagian melawan arah angin. Padahal, saya mungkin seperti banyak orang yang sudah tak sabar menanti akhir dari drama kasus Ahok ini. Kasus Jessica yang tak berguna buat bangsa ini saja telah membuat saya selalu mencurigai kopi, apalagi kasus Ahok yang telah menyeret berjuta-juta “buih” dalam hiruk-pikuk seperti ini.

Berhari-hari saya berpikir dan merenung. Akal saya menabrak tembok. Tetapi, saya tak kehilangan akal. Setelah ke sana ke mari mengembara seorang diri, menggali-gali jawaban yang tak pasti, akhirnya saya memperoleh pencerahan diri. Kudatangi saja Hakim Bao di kediaman-nya. Walau jalannya berliku, onak-duri menjewer kaki, meyakinkan para pengawal, akhirnya saya bisa bertemu dengan Hakim Bao. Terjadilah dialog antara saya dengan beliau. Taa, itu saya. Bao, itu Hakim Bao:

Taa: Terimakasih kepada Yang Mulia, sebab telah berkenan menerima kedatangan saya. Saya datang membawa jiwa yang berat sebelah, Yang Mulia. Mohon keadilan dari Yang Mulia.

Bao: Mau tanya kasus Ahok kan?

Taa: loh, kok tahu Yang Mulia?

Bao: Sudah tertulis di Kitab Langit kasus itu, dik.

Taa: Begitu ya, Yang Mulia?

Bao: Begitulah…

Taa: Jadi, to the point aja, Yang Mulia. Ahok akan bebas, atau Ahok dipenjara?

Bao: Tentu saja bebas, dik. Edan po mau menjarain Ahok.

Taa: Kok edan, Yang Mulia?

Bao: Tak cukup bukti dan alasan untuk menyatakan Ahok bersalah. Bukti dan alasan yang dihadirkan para saksi pelapor, sangat mudah untuk dipatahkan. Bukankah Ahok dinilai dari tiga aspek?

Taa: Ya, Yang Mulia. Dari aspek bahasa, aspek pidana, dan aspek tafsir.

Bao: Nah, kau tahu. Dari bahasa, perkataan Ahok tak bisa disebut menista al-Qur’an. Kalaupun dianggap menista, Habib Rizieq harus pula dianggap menista. Ahok menyentil orang yang menggunakan dalil al-Maidah: 51 untuk kepentingan politik. Habib Rizieq menyentil para ulama su’ yang suka memutar-balikkan ayat-ayat al-Qur’an untuk kepentingan busuk. Sama saja kan? Apa bedanya. Ahok dan Rizieq sama-sama tak menista.

Taa: Kalau dari segi tafsir, Yang Mulia?

Bao: Kamu bego amat sih. Bukankah ahli tafsir kitab sucimu berbeda pendapat tentang al-Maidah: 51?

Taa: Benar, Yang Mulia.

Bao: Itu berarti, penafsiran yang berbeda itu tak keliru. Kau tak bisa berkata bahwa tasirku yang berbeda dengan tafsirmu berarti tafsirmu benar dan tafsirku sesat. Ayatnya benar, tapi tafsirnya berbeda-beda. Jika kau paksa aku untuk mengatakan bahwa tafsirmu sendiri yang benar, kau kurang minum susu.

Taa: Iya, Yang Mulia.

Bao: Dari segi pidana, apalagi. Gak ada unsur-unsur yang cukup untuk mengatakan bahwa Ahok telah melakukan pelanggaran secara pidana.

Taa: Tetapi, ada yang bilang perkataan Ahok itu telah melukai rasa keberagamaan ummat Islam, Yang Mulia? Tak sepantasnya Ahok yang non muslim memasuki wilayah agama lain, Yang Mulia?

Bao: Kau benar-benar bego! Urusan benar dan salah itu bukan urusan rasa. Bukankah kau ini seorang novelis, kenapa bego? Benar dan salah itu wilayah logika, bukan wilayah etika. Hukum itu logika, bukan etika. Kalau kebenaran kau campuri dengan perasaan, kau kurang minum susu!

Taa: Tapi Ahok kan kafir? Tak sepantasnya dia memasuki keyakinan kami sebagai muslim, Yang Mulia? (Mukaku sudah merah padam, soalnya Bao sudah berkali-kali mem-bego-kanku. Kuranga ajar!)

Bao: Kalau Ahok kau anggap menista agamamu sebab ia telah berani-beraninya memasuki, mencampuri, mengkritik, atau membicarakan agama dan keyakinanmu, saat ini juga seretlah Dr. Zakir Naik ke pengadilanku! Bukankah tak sedikit ustadz-ustadz-mu suka menjelek-jelekkan agama dan keyakinan ummat yang lain?

Taa: (Aku diam)

Bao: Jawab, bego!

Taa: (Dan aku tak menjawab. Aku terima di-begokan. Lalu aku bertanya terakhir kali) Jadi Ahok tak bersalah dan akan bebas, Yang Mulia?

Bao: Iya. Itulah keadilan Bao. Ahok tak bersalah. Ahok bebas.

Taa: Terimakasih, Yang Mulia.

Bao: Ndak usah terimakasih! Tak penting. Toh, Ahok tak disidang di pengadilanku. Sana pulang. Dasar bego!

Akhirnya saya pulang. Saya senang sekali mendengar jawaban dari Hakim Bao soal Ahok. Walau saya di-bego-bego-kan, hati saya girang. Ternyata apa yang ada di hati dan pikiran saya tentang kasus Ahok ini sama seperti apa yang dikatakan dan diputuskan Hakim Bao.

Sepanjang jalan dari kediaman Hakim Bao, saya menari-nari. Melompat-lompat. Bersiul-siul. Langit menjadi cerah sekali.

Mendadak, ada orang yang tertawa. Terkekeh-kekeh. Lelaki tua botak itu menuding-nuding saya. Mengejek dan menghina saya dengan tawa dan kekehnya. Ketika saya tanya, siapa dia. “Plato,” jawabnya. “Panggil aku Plato”.

Taa: Lalu kenapa tuan menghina saya?

Plato: Hakim Bao memang orang yang dalam keadilannya, tetapi dangkal kebijaksanaannya. Kau memang tepat bertanya soal keadilan kepadanya, tapi kau harus mendengar seorang filosof dengan kebijaksanaannya. Ahok tak akan dilepaskan. Ahok akan dipenjara!

Jantung saya berdetak kencang. Mendadak, langit mendung. Burung-burung terkapar tiba-tiba terkena tembakan kata-kata Plato.

Taa: Kok bisa begitu, Tuan?

Plato: Kasus Ahok bukan hanya soal benar dan salah. Itu yang tidak disadari si Bao. Kasus Ahok menyeret tiga perkara….

Taa: Saya tahu, saya tahu. Bahasa, tafsir, dan pidana….

Plato: Hahaha…dasar tolol! Bukan. Kasus Ahok adalah perkara benar dan salah, juga perkara menang dan kalah, juga perkara kuat dan lemah. Tingkatnya “di atas benar-salah”. Aku menyebutnya sebagai tingkat kebijaksanaan. Ialah, kebijaksanaan yang menjadi jiwa seorang pemimpin.

Taa: Saya tak paham, Tuan.

Plato: Jika Ahok sampai dilepas, kau harus tahu efek yang dimunculkannya. Jika Ahok ditahan, kau pun harus tahu akibatnya. Nah, efek mana yang merusak yang lebih besar, maka itu harus dihindari…

Taa: Tolong jelaskan, Tuan. Saya semakin tak paham.

Maka, menerangkanlah Plato malam itu, sembari menemani langkah-langkah saya pulang ke rumah.

Plato: Kita mulai dari bila Ahok dilepas. Apa kau pikir, bila Ahok tak dipenjara, maka orang-orang akan menerima dengan baik keputusan ini? Tadinya, aku juga berpikir seperti itu. Malah, seandainya saja Habib Rizieq, FPI, dan GNPF MUI menerima fakta Ahok tak dipenjara, maka keuntungan dan kemuliaan yang besar bagi mereka.

Kenapa? Citra FPI boleh meredup di hadapan musuh-musuhnya saat ini, tetapi dia semakin kuat dengan jamaahnya. Ini juga karena perbuatanmu yang terus mengkritik FPI, kau sertai dengan kebencian-kebencianmu. Kau lupa, kebencianmu pada mereka menyebabkan semakin bertambahnya cinta jamaah terhadap FPI dan pimpinannya. Namun, seandainya saja mereka menerima keputusan pengadilan, maka itu akan dinilai sebagai keagungan dari perjuangan membela kemualiaan Islam.

Mereka telah berjuang, jiwa dan raga. Berbondong-bondong mereka menyejukkan Jakarta dengan aksi damai dan cintanya kepada agama, berdoa kepada Tuhan akan menurunkan keadilan-Nya. Ketika mereka terima keputusan pengadilan yang membebaskan Ahok, itu bukan kekalahan bagi mereka. Melainkan, kemenangan di mata Allah dan agama-Nya. Mereka terima putusan pengadilan duniawi yang menyakitkan ini, dengan ikhlas, demi keutuhan bangsa dan negara, demi NKRI. Subhanallah, bukankah itu adalah keputusan yang sangat sulit dan penuh pengorbanan?

Masalahnya, apakah mereka akan menerima seperti itu? Saya melihat gelagat, mereka tidak akan menerimanya. Padahal, mereka sudah membuka jalan perjuangan. Ingat, aksi yang pertama dilakukan dengan jumlah massa yang sedikit. Jumlah massa ini menjadi banyak di aksi yang kedua. Lalu, menjadi berjuta-juta di aksi yang ketiga.

Atas nama keadilan yang tidak adil, hukum yang tajam ke bawah tetapi tumpul ke atas; juga, atas nama membela kemuliaan Islam dari nistaan dan hinaan, mereka akan semakin memantapkan barisan. Melawan pemerintah yang zalim! Maka, bersiap-siaplah kalian dengan revolusi!

Itu kalau Ahok dilepas. Kalau Ahok dipenjara, bagaimana? Apa kau pikir Ahok akan tinggal diam? Apa kau pikir para pendukung, para pembela, dan para pemilik suara nurani akan bungkam? Apa kau pikir ummat lain akan tutup mulut?

“Hahaha….Menangislah kau, dik!” seru Plato, tatkala melihat air mata ini mulai tumpah. Saya pun jatuh dalam sedu-sedan…..