Menilik kembali arti serta makna dari cinta dan agama, korelasi antara kedua kata itu merupakan sebuah kata yang memiliki makna yang begitu luas. Berbicara soal cinta rasanya belum ada orang yang bisa memaknai arti cinta yang lebih spesifik, karena cinta itu segalanya dan tidak ada satu pun manusia yang bisa hidup tanpa rasa cinta.

Begitu pun dengan agama, berbicara soal agama merupakan sebuah kepercayaan yang dianut oleh setiap manusia di dunia ini. Agama mengajarkan aturan-aturan dan batasan bagi pemeluknya dalam menjalani kehidupan. Walaupun sebagian manusia di sini memang ada yang tidak percaya dengan adanya tuhan dan fungsi dari agama itu.

Tetapi di sini penulis bukan membahas kontroversial dari para penganut atheisme atau agnostisisme tersebut, karena itu kembali dari pilihannya masing-masing dalam memilih kepercayaannya, melainkan di sini penulis sedikit akan membahas tentang makna dari korelasi antara cinta, kebenaran dan agama.

Saat ini, para umat manusia sering disajikan dengan pandangan agama yang keras, kasar, dan penuh dengan keributan. Contoh kecil di Indonesia hadirnya ormas-ormas baru yang menggunakan identitas agama namun kendati dari sikapnya tidak membuktikan bahwa ia memiliki identitas dari agama itu sendiri.

Saat kita membentuk sebuah kelompok, apapun itu tujuan dan visinya namun sudah membawa dan mengatasnamakan agama, maka tanggung jawabnya sudah pasti lebih besar. Mengapa? Karena agama itu mengajarkan kedamaian dan rasa cinta bagi seksama. Bukan justru dengan mengaplikasikan dengan keributan dan anarkisme dimana-mana.

Sebagaimana yang dikatakan oleh Sayyidina Ali Bin Abi Thalib "Dia yang bukan saudaramu dalam iman, adalah saudara dalam kemanusiaan". Hal ini merupakan refleksi yang begitu jelas bagi kita semua, bahwa tidak ada cassing apapun yang dapat menjadi pembela untuk saling membenci. Karena sejatinya di dunia ini seluruh umat manusia adalah saudara dalam kemanusiaan.

Cinta memang tidak memiliki agama, tetapi di dalam agama pasti mengajarkan implementasi dari cinta. Manusia tidak akan lepas hidupnya dari rasa cinta. Analogi kecilnya yaitu dimana setiap manusia dilahirkan oleh "rasa cinta" dari sang ibu. Maka setiap manusia tidak akan ada yang namanya bisa membenci sosok sebuah "cinta".

Setiap peradaban tidak lepas dari kisah cinta, karena dari cinta terciptalah peradaban. Cinta disini bukan hanya perihal asmara, tetapi lebih dari itu. Kita lihat kisah Uwais Al-Qorni, yang melakukan pembuktian cintanya terhadap ibunya melalui ketaatan terhadap ibunya.

Sebagaimana para sahabat-sahabat Nabi Muhammad SAW yang rela mati karena rasa cinta kepada nabinya. Sering kita mendengar kutipan kata yang berbunyi “Cinta membuatmu buta”. Bagi penulis meyakini hal itu memanglah benar, cinta memanglah membuat buta. Seseorang yang sudah mencintai sesuatu, sekurang dan seburuk apapun yang ia cintai, maka hanya akan ada keindahan yang ia lihat.

Seperti yang dikatakan oleh Sayyidina Ali bin Abi Thalib “Cinta adalah penyakit yang tidak ada kebaikan dan balasannya”. Seseorang apabila sudah mencintai sesuatu tidak akan memandang apa yang ada di dalam diri sesuatu yang ia cintai, melainkan bagaimana cara ia mencintai sesuatu itu.

Sujewo Tejo seorang budayawan juga seorang penulis pernah menjelaskan, saat kita mencintai seseorang kita tak akan bisa menjabarkan alasan kita mencintainya, saat kita mampu menjelaskan dan menyebutkannya itu bukan sebuah cinta, melainkan kalkulasi belaka.

Seseorang yang sudah “cinta” ia tak akan menghitung seberapa apa yang ia sudah beri, karena cinta bukan sebuah kalkulasi ataupun penilaian. Namun generasi saat ini tak sedikit justru salah dalam me-implementasikan arti dari cinta.

Cinta yang buta justru membuat generasi saat ini fanatik bahkan ketergantungan dengan apa yang ia cintai. Cinta justru membuat mereka rela melakukan keburukan dengan jubah apapun, tanpa memikirkan kembali identitas apa yang mereka sedang bawa. Terkadang generasi saat ini pun rela kehilangan jati dirinya demi sebuah cinta.

Sebuah cinta yang memiliki kemurnian justru hancur karena analogi yang salah dari pemikiran yang melenceng para generasi saat ini. Cinta yang berisi kebahagiaan, kemurnian, kesucian, justru menjadi kotor dan hancur karena proses pemahaman dan implementasi yang salah.

Terutama perihal agama, apapun agamanya pasti mengajarkan makna dan penerapan sebuah cinta. Memang cinta itu tidak memiliki agama, namun agama memiliki ajakan yang berupa cinta. Seorang filsuf dari yunani saat itu beranggapan bahwa kebenaran saja tidak cukup, namun juga perlu diiringi dengan kebijaksanaan.

Kebijaksanaan disini berupa cinta, karena saat cinta sudah menguasai hati seseorang maka hanya kebijaksaan yang keluar dari semua tindakan maupun ucapannya. Saat ini banyak kumpulan orang yang memandang hanya sekadar prinsip “benar” namun tidak diiringi dengan kebijaksanaan.

Karena saat kebenaran tidak diiringi dengan kebijaksanaan maka kebenaran itu tidak ada lagi nilainya. Bahkan kebenaran itu bisa menjadi keburukan yang hakiki. Analogi yang menarik dari sebuah tokoh, yaitu Habib Husein Ja`far beliau pernah memberikan analogi seperti ini, saat kita melihat seseorang yang kelaparan di pinggir jalan, jangan nasihati dan mendakwahi menggunakan hadist-hadist, namun dakwahi dia dengan memberikan makan kepadanya.

Hal ini ditafsirkan bahwa saat kita ingin atau akan menyampaikan sebuah kebenaran, maka kita harus sampaikan itu dengan bijak (cinta), tidak cukup kebenaran disampaikan dengan sembarang. Karena saat kita menyampaikan kebenaran itu sembarang, regulasi yang ada di akal penerima akan menafsirkan kebalikannya, dari yang awalnya berupa kebaikan justru ditafsirkan menjadi sebuah keburukan.

Dengan melihat kontroversial saat ini, sudah sepatutnya kita merefleksi kembali diri kita masing-masing, di era saat ini yang penuh dengan tanda tanya, dan beragamnya sikap serta perkembangan yang ada, sudah semestinya kita lebih bijak dalam merealisasikan makna dari kebenaran itu sendiri. Yaitu dengan mengiringi semua kebiasaan dengan kebijaksanaan serta dengan sebuah rasa cinta.