“Toko Dorayaki Dora Haru” adalah kata pertama yang menggugah saya saat membaca bagian awal buku. Bagi saya ini terbayang manis dan lezat. Benar, novel ini banyak mengambil latar tempat di toko Dorayaki tersebut. Mengisahkan karakter Sentaro, seorang laki-laki yang memiliki catatan kriminal, gagal menjadi penulis, masih suka mabuk-mabukan yang akhirnya harus menjalani hari-hari dengan bekerja di toko Dorayaki Dora Haru ini. Toko Dorayaki yang terletak di bawah pohon sakura besar yang berubah-ubah seiring pergantian musim.
Di tengah kehidupan Sentaro yang tanpa gairah, tanpa rasa dan monton kini berubah jauh setelah ia mengenal Tokue.
Seorang Wanita tua, dengan jari yang aneh bentuknya. Dengan metode pengajaran yang sama anehnya, Tokue mengajarkan pengalaman 50 tahunnya membuat pasta kacang merah kepada sentaro.
Tentang harmoni kudapan manis dan persahabatan, kisah bagaimana harapan dapat membantu manusia menghadapi kelamnya masa lalu.
Novel ini mengajak kita untuk memiliki keluasan hati, berempati dan rasa kemanusiaan terhadap orang-orang yang umumnya menerima sigma negatif karena keadaan yang di alami mereka.
“Kami bertarung dalam perjuangan tanpa harapan, bagai meronta di dasar kegelapan, berpegangan pada satu titik dan berusaha untuk berbangga, sebagai manusia” (halaman 188).
Saya mengagumi karakter Tokue, atas keteguhan hatinya menerima penyakitnya, merangkul kesenderian dalam pengasingan, serta tidak pernah berkeluh kesah. Dalam laku hidup sederhana yang ia jalankan ia mampu melewati kehidupannya dengan baik. Maka tidak heran apabila beliau akan dikenanang oleh siapapun yang mengenalnya dengan baik seperti sahabatnya Moriyama, Sentaro dan Wakana. Melalui karya Novel ini saya juga merasakan bagaimana “Seni Mendengarkan” di lakukan dengan tulus dari karakter wanita usia senja nenek Tokue.
“Semua orang punya pengalaman sendiri ketika mereka masih bermasyarakat. Meminjam kata-kata Geisha yang mengajariku kimono..’kita punya wadah masing-masing yang bisa diisi.” (halaman 146).
Ada sebuah adegan yang saya kira sebagai orang modern kita sering melupakan. Di bagian Enam, ceritanya Sentaro sedikit terlambat datang ke toko. Ia meminta maaf kepada Tokue yang sudah berdiri dibawah pohon sakura di depan toko. Alih-alih merasa kesal kepada Sentaro, Tokue malah berkata “Lihat, ada buah ceri kecil”. Di lain kesempatan, saat Sentaro menyapanya, ia tidak langsung menanggapi melainkan berkata “Bunganya sudah gugur semua, ini waktu yang tepat untuk menikmati dedaunan”. Tokue seperti mengajak kita untuk selalu berfokus kepada hal-hal yang indah dalam hidup. Di bagian awal diceritakan Tokue sering melihat dedaunan, bunga sakura yang mekar serta keindahan alam sekeliling lainnya.
Poin menarik dalam novel ini
Novel Pasta Kacang Merah merupakan novel slice of life sederhana dengan pacing yang pelan khas Jepang. Sehingga pembaca kecil untuk kesulitan menangkap ceritanya.
Judul dan Cover-nya sangat nyambung dengan cerita yang disajikan dalam novel. Meskipun hanya tentang makanan, yakni pasta kacang merah, tetapi lebih dalam lagi novel ini bicara tentang rasa. Seperti bagaimana untuk tidak mudah menghakimi terhadap orang dengan penampilan berbeda (sakit), proses pembuatan pasta kacang merah yang perlu menggunakan perasaan.
Meskipun premisnya sederhana, yakni tentang makanan, tetapi sebenarnya novel ini mengajak pembaca untuk aware terhadap isu diskriminasi pesakit lepra di Jepang.
Hal menarik lainnya adalah penggambaran kehidupan para penghuni Sanatorium (tempat isoloasi para pasien penyakit lepra). Kisah sedih mereka, bagaimana mereka menjalani kehidupan di sana hingga kisah asmara karakter Tokue dengan suaminya yang bertemu di Sanatorium juga.
Diskriminasi Penyintas Hansen (Lepra)
Karakter Tokue merupakan mantan penyintas penyakit Hansen atau yang dikenal juga sebagai penyakit lepra, sebuah penyakit infeksi kronis yang disebabkan oleh bakter Mycobacterium Leprae. Korbannya biasanya memiliki ciri fisik yang tidak normal seperti yang digambar di karakter Tokue yang memiliki jari-jari yang bengkok.
Tokue menggambarkan orang dengan kondisi pernah menginap penyakit lepra yang sampai saat ini masih menerima stigma negatif dari masyarakat Jepang. Hal itu adalah fakta yang memang masih terjadi hingga saat ini, meskipun sebenarnya pasien lepra di Jepang secara umum sudah ada lagi.
Novel ini mengajak saya untuk mencari tahu tentang sejarah penyakiti hansen ini. Dari temuan saya menyebutkan bahwa kebijakan pemerintah jepang dalam mengisolasi pasien lepra banyak mendapat kritikan. Para pasien diperlakukan tidak layaknya manusia, meskipun obat penyakit ini sudah ditemukan sejak tahun 1960-an yang membuat penyintas tidak perlu lagi karantina, Undang-undang Pencegahan Lepra tidak kunjung diubah atau dihapuskan sampai tahun 1966.
Para penyintas banyak didiskriminasi karena bagian tubuh mereka yang telah digerogoti akibat penyakit ini. Gejala putus bagian tubuh ini sebenarnya terjadi hanya pada orang-orang yang membiarkan penyakitnya tidak diobati dalam jangka waktu lama.
Yohei Sasakawa, Ketua The Nippon Foundation dan Duta WHO seperti dilansir oleh liputan6.com menyebut bahwa diskriminasi penyakit hansen di Jepang cukup parah, tak hanya ketika pasien masih hidup, sekalipun pasien sudah meninggal pun keluarga tetap mendapatkan diskriminasi.
Novel ini mengajak kita untuk memahami bahwa benar adanya dahulu sebelum ditemukan obatnya, penyakit lepra menjadi momok bagi sebagian besar orang. Akan tetapi, jika kita melihat perkembangan medis saat ini sudah selayaknya kita untuk aware dan tidak mudah mendiskriminasi terhadap orang yang pernah sakit lepra.
Kisah tak terperikan Tokue menjadi pasien Hansen
Di bagian akhir novel, pembaca diajak larut dalam cerita pengalaman Tokue yang sejak usia 16 tahun harus meninggalkan keluarga untuk diisolasi di Sanatorium karena penyakit hansen yang ia derita.
Dengan penuh emosi Tokue menceritakan bagaimana awal mula dia didiagnosis menderita penyakit hansen. Ia menggambarkan bagaimana mengerikannya hukuman bagi para pasien yang berdemo untuk menuntut pengadaan Promin (Obat untuk penyakit lepra yang terkenal akan kemujarabannya).
Para pasien yang bersatu dan membuat gerakan mendatangkan Promin dihukum dengan dipindahkan ke Sanatorium Kusatsu. Sebuah isolasi yang gelap, tanpa ventilasi cukup selama berbulan-bulan. Menurut kabarnya orang yang dibawa ke Sanatorium ini tidak akan kembali jika masih bernafas.
Tokue menceritakan bagaimana orang-orang datang ke Sanatorium pada mulanya. Orang-orang ini datang setelah mendapat beberapa gejala seperti tuberkel, ada yang berbentuk bintil, ada yang berbentuk kerak. Ada yang jarinya buntung, hidupnya buntung dan sebagainya.
Ia dahulu sangat takut ketika melihat Polisi membawa orang-orang dengan gejala demikian. Tapi ternyata dia sendiri adalah salah satu bagian darinya.
Tokue menceritakan dengan penggambaran yang menurut saya sangat menyentuh, bagaimana orang-orang di Sanatorium ini bertahan hidup, benar-benar seperti orang buangan bagi pemerintah Jepang. Ketika ada kebakaran, pemadam kebakaran tidak mau datang, ketika ada kejahatan polisi tidak mau datang, sampai-sampai mereka harus membuat divisi sendiri hingga membuat mata uang sendiri.
Kutipan Favorit
“Kalau tidak dilakukan dengan hati-hati, kerja keras yang sudah kita lakukan dari awal akan sia-sia.”
“Aku terus membuat kudapan. Kalau tidak begitu, hidupku hanya berisi rasa sakit. Membuat kudapan adalah tantangan dan perjuangan.”
“Maaf, hari ini aku terus menerus cerita sedih. Tapi bisa bercerita sebanyak ini membuatku lega. Terima kasih sudah mendengarkan.”
“Dengarkanlah, dengarkanlah suara dari yang tidak bernyawa seperti bulan, tumbuhan, matahari, kacang merah dan segala sesuatu yang mungkin memiliki kata-kata”
Secara keseluruhan saya cukup dapat masuk dan mengikuti cerita dalam novel setebal 240 halaman ini. Banyak hal yang jika diresapi sangat menyentuh dan menggugah sisi kemanusiaan kita. Terutama saya sendiri tersentuh oleh surat antara Sentaro dan Tokue yang sangat jujur, dan menyentuh.
Di samping itu novel ini saya rasa cocok untuk kita yang hidup di tengah cepatnya dunia modern untuk menepi sejenak dan menemukan harapan untuk bertahan hidup.