Majalah Tempo beberapa waktu yang lalu menurunkan laporan khusus soal maraknya konservatisme agama di negeri ini. Judulnya cukup "menohok": Muslim Konservatif, Saleh atau Salah?  

Kehadiran muslim konservatif makin marak sejak beberapa tahun terakhir. Kehadiran mereka menemukan titik kulminasinya pada peristiwa penistaan agama yang disangkakan pada mantan Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok 

Akibat kasus ini, perdebatan sengit terjadi di dunia maya, menggambarkan betul perbedaan yang nyata, bukan hanya pada Islam dan non Islam, namun juga pada sesama Islam: Islam KTP, Islam abangan dan Islam yang kaffahSituasi inilah yang mungkin menarik majalah Tempo untuk menghadirkan laporan khusus tersebut.

Kenapa tiba-tiba saya ingin membahas soal laporan khusus tersebut? Ada kaitannya dengan sebuah akun dakwah di Instagram saya yang memposting bahwa mereka (lagi dan lagi) merasa terpojokkan oleh liputan khusus Tempo ini. Terutama kepada komunitas Rohis (Rohani Islam) di sekolahan yang dianggap menjadi biang keladi terorisme dan memperluas pengaruh kampanye khilafah. 

Bahasannya termasuk luas, mengingat dampak Islamisasi yang merasuk dari sekolah dasar, perkuliahan, kantor-kantor dalam bentuk pengajian, dunia mode hingga ke pop culture, seperti tayangan televisi, radio, Youtube dan kemudian disebar ke Instagram 

Dalam pembahasan Islamisasi di bangku sekolah, Tempo mengupasnya dalam 3 perspektif: aturan wajib memakai jilbab, kesetujuan para pengurus Rohis mendukung khilafah dan menolak pemimpin non Islam, serta kampanye khilafah di dunia perkampusan.

Aturan wajib memakai jilbab ini memang sempat heboh beberapa waktu yang lalu, seperti yang disorotkan kepada SMPN 5 Yogyakarta, meskipun kemudian diklarifikasi bahwa tak ada aturan demikian, di mana para siswi hanya diwajibkan memakai rok di bawah lutut untuk mencegah pelecehan seksual dan kesopanan. 

Soal pengurus Rohis, tampaknya ini bukan sesuatu yang baru. Dulu, lebih parahnya Metro TV sampai "didamprat habis" karena pernah menurunkan berita soal Rohis adalah sarang terorisBegitu pun juga soal khilafah di perkampusan 

Di media sosial, beberapa waktu yang lalu sempat beredar video reaksi dari para veteran era kemerdekaan RI saat melihat video sumpah setia pada khilafah, yang menyayangkan hal ituProtes soal keberadaan khilafah di perkampusan, terutama di sebuah universitas negeri yang dikabarkan menjadi titik awal penyebaran khilafah di Indonesia, sudah sangat nyaring terdengar.   

Mengenai perspektif ini, saya jadi teringat ketika almamater saya dulu mewajibkan siswi muslim untuk memakai jilbab pada hari Jumat. Jadilah siswi muslim yang belum memakai jilbab sehari-hari memakainya saat itu.

Menurut salah satu guru saya, ini membuktikan bahwa "sekolah mengakomodir ketentuan-ketentuan dalam Islam." Harusnya bersyukur, katanya. Soal ketentuan semacam rok di bawah lutut, memang ada. Juga, tak boleh ketat. Almamater saya cukup tegas soal yang ini.  

Di sekolah saya dulu ada juga rohisRohis ini juga diikutsertakan pada saat saya baru masuk dan menjalani masa MOS alias MPLS (Masa Pengenalan Lingkungan Sekolah). Banyak teman-teman saya yang terikut dalam komunitas ini. Sepanjang saya ngobrol dengan mereka, tak ada pembicaraan aneh-aneh sampai  tindakan makar. Memang, mereka sedikit "berbeda" pandangan dalam beberapa segi, terutama soal agama.  

Mengenai guru-gurunya, memang ada beberapa guru di almamater saya yang cukup "keras". Beberapa guru perempuan, "melarang" siswa laki-lakinya berjabat tangan dengan mereka, digantikan bersalaman dari jarak jauh. Sementara, beberapa guru laki-laki diketahui mengikuti aksi damai memenjarakan Ahok.

Terlihat dalam postingan di akun sosial media mereka, dengan bangga mereka menunjukkan keikutsertaannya tersebut. Postingan lainnya, beberapa waktu belakangan memang "agamis". Seperti mengingatkan untuk membaca dan hafalkan ayat-ayat di Al Qur'an 

Ya, saya tak sependapat dengan mereka soal kasus Ahok. Tapi, untuk soal keimanan, ibadah dan semacamnya, saya tak mempermasalahkannya. Wajar-wajar saja kalau mereka mengingatkan sholat, baca Al Qur'an, membaca kisah-kisah nabi dan semacamnya. Itu hak pribadi mereka. Tapi, ketika sudah masuk ke ranah kebijakan sekolah, memang sudah harus menghargai keberagaman.  

Untungnya, sekolah saya sudah menghargainya, seperti menyediakan guru beragama lain yang ditunjuk mengajar teman-teman yang beragama lain, pada saat kami belajar atau ada kegiatan lain berkaitan dengan Islam. Tapi, bagaimana dengan sekolah yang tidak menghargai, atau mungkin tak sadar bahwa mereka tak menghargai keberagaman? Hmm..

Islamisasi lain di berbagai sisi dimunculkan dalam perspektif pengajian rutin, laris manisnya jilbab dan gamis, wisata berbau halal dan perumahan syariah. Mengenai 3 hal terakhir: upaya membangun ekonomi berbasiskan Islam memang sudah terjadi sejak lama. Bahkan, membangun ekonomi berbasiskan Islam dianggap solusi satu-satunya dalam selesaikan persoalan ekonomi di negeri ini.  

Bahkan, potensinya akan membesar di masa depan, seperti yang pernah diungkapkan seorang pengamat pemasaran Yuswohady (sampai ia membuat 2 buku yang mengupas tuntas soal ini)di mana kelas menengah muslim yang universal, berpikir global namun juga memikirkan sisi agamanya akan menjadi daya tarik. Apalagi produk halal yang akan menjadi kewajiban di masa mendatang pada saat efektifnya UU JPH (Jaminan Produk Halal).  

Tak heran, kita menemukan banyak produk kini–dari jilbab hingga kosmetik–yang mulai menyematkan logo halal. Padahal, yang diharapkan pun bukan hanya logo halalnya, tapi memang proses produksi dari mendapat bahan hingga pembuatannya dan distribusinya (alias hulu ke hilir) memang harus betulan halal. Hal yang mungkin kadang-kadang tak kita perhatikan dengan detil. 

Nah, perspektif akhir diambil majalah Tempo dengan mengangkat pop culture seperti dari televisi, radio dan internet. Memang, sejak reformasi berderu kencang, pertelevisian kita penuh dengan konten-konten islami. Dari sinetron, acara dakwah, acara penampil anak-anak penghafal Al Qur'an (Hafizh dan Hafizhah), hingga acara-acara setipe lainnya. Puncaknya, tentu kita rasakan di bulan Ramadan.  

Sinetron berkonten islami, seperti Islam KTP, Tukang Bubur Naik Haji, Para Pencari Tuhan hingga Dunia Terbalik yang baru-baru ini menjadi tontonan favorit berdasarkan rating NielsenBegitu pun di dunia radio. Daerah Jabodetabek saja, ada 2 stasiun radio yang konten-kontennya islamis, seperti Dakta dan RAS FM (radio yang ini terafiliasi dengan salah satu pesantren di Jakarta).  

Nah, di internet, kita tentu mengenal Felix SiauwUst. Khalid Basalamah, Ust. Abdul Somad dan Hanan Attaki, yang berceramah dengan cara-caranya sendiri. Karena ceramah-ceramah mereka yang viral inilah yang menyeret saya secara tak langsung kepoin akun-akun dakwah, yang akhirnya menjadi inspirasi saya menulis ini.  

Mengapa saya perlu menuliskan isinya cukup panjang? Sebenarnya yang dikatakan memojokkan Islam, tak sepenuhnya benar. Seluruh konten dalam majalah Tempo edisi itu tidak berisikan soal memojokkan Islam seperti yang disampaikan mereka. Justru mereka mencoba mengupas fenomena yang ada.

Ada cukup banyak hal yang menarik di situ, terutama yang berkenaan dengan pop culture, seperti televisi, yang mungkin akan jadi bahan bahasan saya di kesempatan lain. 

Memang, ada penelitian yang ditampilkan Tempo, dari Wahid Institute dan beberapa organisasi yang pada intinya menyimpulkan adanya potensi intoleransi, seperti 78% guru mendukung penerapan syariat Islam dan 89% guru tidak mendukung kepala daerah non muslim. Tapi, toh menyampaikan fakta adalah tugas utama.

Sebagian fakta-fakta itu memang terjadi. Meski bukan alasan untuk mengeneralisir mereka yang "tertuduh" (dan saya akui mungkin ada framing, meski tak semuanya demikian), namun ada baiknya kita menelaah semuanya menjadi sebuah introspeksi. Untuk menjadi umat Islam yang lebih baik lagi.

Pemahaman menyeluruh dan pemakaian akal sehat lebih penting. Setiap orang berhak untuk tidak menerima fakta dan bisa saja menganggap itu fitnah, kemudian mengatakan hal-hal semacam perintah memilih pemimpin seagama dan seakidah itu penting (harusnya juga melihat trackrecord dan program-program yang ditawarkan juga). Namanya juga demokrasi. Tapi, yang lebih penting adalah pelaksanaannya. Betul?

Maka, sekali lagi, Tempo membuktikan soal "enak dibaca dan perlu".