Theo Setiadi Suteja, merupakan salah seorang sosok pemerhati lingkungan khusus di bidang pengolahan sampah kertas.

Baginya, sampah adalah sebuah harta karun yang diubah menjadi emas.

Bayangkan bagaimana jadinya jika saja semua elemen berpemikiran seperti itu, mungkin tak kan ada lagi sampah kertas yang terlihat di jalanan, melihat satu kertas ibarat melihat uang lima ribuan, inginnya pemikiran tersebut ditanamkan dibenak masyarakat sehingga mereka tergerak untuk mengelola sampahnya sendiri. Jika saja itu terjadi, go green Lombok akan terwujud dan Indonesia bisa terbebas dari sampah. Dan yang terpenting sampah tidak akan terbuang dan tak kan mengotori lingkungan. 

Laki laki asal Denpasar kelahiran Nopember 1963 ini mulai menggeluti seni pengolahan sampah kertas sejak 6 tahun lalu, tepatnya ketika ia mulai berpijak di bumi Lombok. Kepeduliannya terhadap lingkungan menginisiasinya untuk bergerak mengelola sampah kertas.

“Saya bukan pengusaha, saya seniman yang memberikan kesempatan kepada orang lain untuk berusaha.”

Berbekal semangat kepedulian terhadap lingkungan dan semangatnya untuk belajar secara otodidak, beliau berhasil menyulap selembar kertas menjadi uang. Kertas dipilihnya karena mudah dibentuk, bahkan lebih mudah dibentuk daripada tanah liat, tuturnya. Semua kertas kertas tersebut didapatkan dari pemulung dan didapatkan dari pasar, baik kotak bekas minuman, kotak snack, koran,dsb.

Lantas menyulapnya menjadi ratusan produk menarik mulai dari produk mini hingga produk besar, seperti plakat, hiasan dinding, asbak, pot bunga, pintu, meja dengan ukiran pulau Lombok diatasnya, kursi, hingga anterior yang mempercantik tembok pun ada. Unik memang.

Menariknya, produk yang dihasilkan sama sekali tak tampak dari kertas. Teksturnya yang kuat, tidak pecah, tidak retak ketika dibanting menujukkan kekuatan produk yang dihasilkan, ya, lebih kuat dari produk berbahan tanah liat. Semakin lama, produk semakin mengeras, semakin memfosil, dan tahan air, bahkan dibakar pun tak apa, sudah membatu asalkan tebal, tuturnya.

Salah satu produk yang saya soroti, kursi panjang dan meja yang diletakkan ditaman, ya, kursi panjang yang sama sekali tak terduga bahwa bahan dasarnya dari kertas. Elegan. Sempurna tak terlihat jika semua produknya berbahan dasar sampah kertas. Sungguh memperindah taman, apalagi dipadukan dengan nuansa alam yang memanajakan mata. Serasa tak mau berpidah ke tempat lain. Teksturnya yang padat, keras membuatnya tahan lama bahkan ketika terkena hujan sekalipun.

Katanya, “Menyulapnya menjadi berbagai barang menarik, butuh kreatifitas dan ide.”

Perhari ia bisa menghasilkan ratusan produk untuk produk kecil sedang untuk produk besar tergantung pemesanan. Hebatnya, semua produk dibentuk hand made, hanya memanfaatkan tangan dan kaki, dan tanpa menggunakan bahan kimia sedikitpun. Katanya lagi, “ini bukan padat mesin tapi padat karya.”  

Adapun masyarakat sekitar memberi tangapan positif, namun kesadarannya yang masih sangat kurang. Padahal jika mereka mau bergerak, keuntungan untuk mereka. Beliau hanya mengajarkan dan berbagi ilmu yang ia miliki. The Griya terbuka untuk publik, ini pondok kreatif yang membuka dunia baru, pengetahuan baru, dan mengubah pola pikir tentang sampah. Mengajarkan kreatifitas tentang pengelolaan sampah. Ini untuk publik, tegasnya.

Sebenarnya semuanya bisa kita kerjakan. Intinya kemauan menuju mimpi, ujarnya.

Di penghujung kata, ia menyampaikan harapannya. Sampah tidak lagi menjadi masalah lingkungan akan tetapi menjadi barang yang bernilai. Jangan sampai sampah yang dihulu terbuang ke hilir. Sampah diamankan dirumah tangga jangan sampai ke TPA. Kalau sampai setiap rumah tangga seperti itu, ekonomi dan pertumbuhan keluarga semakin meningkat, dan yang terpentin TPA akan sep, tidak ada lagi sampah yang menggunung. 

Peduli lingkungan, kalau bukan kita siapa lagi. Kalau bukan sekarang kapan lagi. Karena perubahan tidak menunggu kata nanti, tidak bersembunyi dibalik kata nanti. 

Ciptakan perubahan.

Peduli lingkungan.

Untuk generasi mendatang.

Salam Lestari. Salam Konservasi.