Bebas dari belenggu kebodohan, begitulah muara utama pendidikan semestinya, karena “kebodohan memenjarakan diri, tak bebas, tak lepas,” demikian menurut Cendekiawan masyhur asal geneva, Prof. Thariq Ramadhan. Sesuai dengan sifatnya yang tidak pernah berakhir dari sisi proses (never ending process), pendidikan itu mempunyai banyak faset untuk ditelaah.

Pendidikan memang muncul dalam berbagai bentuk dan paham. Menurut Paulo Freire “pendidikan merupakan salah satu upaya untuk mengembalikan fungsi manusia menjadi manusia agar terhindar dari berbagai bentuk penindasan, kebodohan sampai kepada ketertinggalan.” Pada dasarnya pendidikan memang diselenggarakan dalam rangka membebaskan manusia dari berbagai persoalan hidup.

Selain itu pendidikan banyak dipahami sebagai wahana untuk menyalurkan ilmu pengetahuan, alat pembentukan watak, alat mengasah otak, serta media untuk meningkatkan ketrampilan kerja. Sementara bagi paham lain, pendidikan lebih diyakini sebagai suatu media untuk menanamkan nilai-nilai moral dan ajaran keagamaan, alat meningkatkan taraf ekonomi, alat mengurangi kemiskinan, alat mengangkat status sosial, dan juga wahana untuk menciptakan keadilan sosial.

Melihat begitu pentingnya makna dari pendidikan bagi umat manusia, maka banyak peradaban manusia yang “mewajibkan” masyarakatnya untuk tetap menjaga keberlangsungan pendidikan. Sebagaimana peradaban kita sebagai umat Islam, yang selalu menanamkan kewajiban dalam menuntut ilmu, seperti “tuntutlah ilmu walau sampai ke negeri cina” atau “tuntutlah ilmu dari buaian ibu sampai liang lahat”, sebagaimana sebuah hadis yang berbunyi:

طلب العلم فريضة على كل مسلم ومسلمة

“Menuntut ilmu merupakan kewajiban bagi seorang muslim, baik laki-laki ataupun perempuan”.

Begitupula dengan peradaban negara kita tercinta, Indonesia. Setiap tanggal 2 Mei di seantero Nusantara, kita merayakan Hari Pendidikan Nasional, semua ini tidak lain adalah untuk mempertahankan dan menjaga keberlangsungan pendidikan di Indonesia, dan juga seakan-akan negara kita ingin menegaskan bahwa pendidikan benar-benar modal untuk membangun dan mengembangkan negeri ini.

Pendidikan secara umum dapat dipahami sebagai proses pendewasaan sosial manusia menuju pada tataran ideal. Makna yang terkandung di dalamnya menyangkut tujuan memelihara dan mengembangkan fitrah serta potensi atau sumber daya insani menuju terbentuknya manusia seutuhnya (Insan kamil).

Tapi apa lacur, dan apa mau dikata, ternyata yang terlihat di lapangan sungguh berbeda, bahkan ironis. Kondisi dunia pendidikan kita amatlah memprihatinkan dan semakin jauh dari cita-cita yang idealnya, yaitu sebagai wahana pembebasan manusia dan memanusiakan manusia.

Apalagi dewasa ini, kita tengah memasuki suatu zaman baru yang ditandai dengan menguatnya paham pasar bebas, yang dikenal sebagai zaman globalisasi, maka tradisi umat manusia untuk mempertahankan eksistensi mereka melalui pendidikan mendapat tantangan, karena pendidikan sedang terancam dengan adanya sebagian manusia yang menyatakan bahwa dunia pendidikan dapat digunakan untuk mengakumulasi kapital dan mendapat keuntungan.

Sehingga di zaman globalisasi ini pendidikan pun mulai terkesan dengan “mahalnya biaya sekolah”. Dengan demikian pendidikan semakin tidak terjangkau bagi rakyat miskin bahkan mungkin menjadi momok (sesuatu yang ditakuti) untuk kalangan mereka dengan mahalnya dunia pendidikan.

Inilah tragedi terbesar pendidikan. Ketika hakikat pendidikan dikerdilkan hanya sebatas sekrup bagi mesin besar kapitalisme. Ketika pendidikan dikooptasi oleh kepentingan sempit industrialisasi. Dan ketika pendidikan hanya sekedar menjadi alat untuk mencari makan, mengejar kekuasaan, menggapai ketenaran.

Maka yang muncul kemudian adalah wajah pendidikan yang bopeng-bopeng dan muram. Pendidikan terampas esensi kemanusiawiannya. Pendidikan kehilangan keholistikannya. Pendidikan dirampok keagungannya.

Inilah yang menjadi bagian kegelisahan dunia pendidikan di Indonesia dewasa ini, karena pendidikan yang diharapkan menjadi agen dalam usaha untuk mencerdaskan seluruh bangsa Indonesia, tetapi terkontaminasi oleh praktek-praktek pendidikan kapitalis.

Sehingga, pendidikan yang diharapkan dapat membantu masyarakat dalam menemukan solusi terhadap berbagai persoalan-persoalan sosial bangsa, tetapi justru pendidikan itu sendiri yang sering menjadi persoalan sosial yang sulit ditemukan solusinya, seperti persoalan biayanya, lingkungannya, sarana-prasarananya, kurikulumnya dan lain-lain.

Dunia pendidikan telah terlihat wajah buramnya. Pendidikan telah tercerabut dari makna filosofisnya. Guru kemudian menjadi sosok yang berwajah letih. Dan si murid menjadi makhluk yang antusias melakukan kekerasan. Mereka menjadi mangsa dunia industri dengan melahap semua produk yang disodorkan oleh iklan.

Kompetisi dan globalisasi telah menciutkan dunia dari jangkaun manusia. Semua manusia modern saling berkopentisi melakukan akumulasi modal. Maka tak heran sekolah ibarat perusahaan katering yang menyediakan layanan menu enak dan siap antar untuk memenuhi kebutuhan perut. Semua sekolah berlomba untuk memberikan fasilitas yang lengkap, karena sekolah harus beradaptasi dengan iklim global.

Solusi untuk Pendidikan Kita

Seperti diketahui bahwa sistem pendidikan sangat berkaitan dengan sistem ekonomi yang diterapkan. Sistem pendidikan di Indonesia sekarang ini, diterapkan dalam konteks sistem ekonomi kapitalis yang berprinsip antara lain meminimalkan peran dan tanggung jawab negara dalam urusan publik, termasuk pendanaan pendidikan.

Masyarakat atas  telah terinspirasi akan paham aliran karl Marx yang menjadikan apa apa sebagai sarana penopang eksistensi mereka sebagai penguasa. Pendidikan pun menjadi alat eksploitasi dan pemerkaya diri.

Seperti yang tercantum pada Undang-undang dasar 1945 pasal 31 ayat 2 yang berbunyi “setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya.” Begitu juga dengan Undang-undang nomor 20 tentang Undang-undang sistem pendidikan nasional (USPN) pasal 46 yang menyatakan bahwa “pendanaan pendidikan menjadi tanggungjawab bersama pemerintah, pemerintah daerah dan masyarakat.” 

Hal ini berarti bahwa sumber pendanaan atau biaya pendidikan bukan hannya dibebankan kepada orangtua saja, namun juga menjadi tanggungjawab pemerintah. Sehingga yang diharapkan dari sini adalah bahwa pemerintah tidak hanya sekedar membuat peraturan ataupun perundang-undangan, namun pemerintah juga harus bisa merealisasikan dan mewujudkan hal tersebut. Mengingat tujuan nasional bangsa kita yakni mencerdaskan kehidupan Bangsa.

Di samping itu, bahwa secara tegas, pemerintah harus mempunyai komitmen untuk mengalokasikan dana pendidikan nasional dalam jumlah yang memadai yang diperoleh dari hasil-hasil eksploitasi sumber daya alam yang melimpah. Dengan adanya ketersediaan dana tersebut, maka pemerintahakan dapat menyelesaikan permasalahan pendidikan dengan memberikan pendidikan gratis kepada seluruh masyarakat secara merata.

Pendidikan adalah kebutuhan dasar (basic need) hidup manusia. Pendidikan juga merupakan salah satu bagian dari hak asasi manusia, tapi kenyataan yang terjadi pendidikan dan pengajaran di dalam paradigma neokolonial Indonesia selama ini hanya diajukan demi fungsinya terhadap kebutuhan penguasa, tidak demi masyarakat.

Maka sudah saatnya kita mengubah paradigma pendidikan yang selama ini keliru. Paradigma pendidikan yang seharusnya ditanamkan adalah paradigma “keadilan sosial”, yang direkomendasi oleh Pembukaan UUD 1945 dan Pasal 27. yang pertama menjadikan “ikut mencerdaskan kehidupan bangsa”, yang kedua menjamin “hak memperoleh pendidikan untuk semua.

Paradigma “kedilan sosial” menuntut dijadikannya dasar membangun sistem persekolahan maupun pendidikan masyarakat luas usaha-usaha secara preferensial untuk mensubsidi peserta didik yang tertinggal secara ekonomi sosial. Subsidi tidak hanya berupa materi termasuk uang, tetapi berupa juga pendampingan ekstra. Maksudnya, agar beban ekonomi sosial tidak menjadi kendala untuk mengembangkan kepandaian otak dan keluhuran watak.

Mekanisme paradigma “keadilan sosial” adalah “penetasan kemakmuran”. Argumentasinya asal ada pertumbuhan, perataan, atau distribusi berjalan dengan sendirinya. Pendidikan yang berkeadilan ini akan terlaksana bilamana kita semua serius mentransformasikan pendidikan menuju ke pendidikan yang menempatkan  manusia sebagai manusia.

Jika paradigma ini terlaksana, maka tidak akan ada lagi beratnya tanggungan dalam dunia pendidikan  dan ketimpangan ekonomi sosial bangsa. Dengan paradigma “keadilan sosial” semua anak didik akan mendapatkan haknya dalam menuntut ilmu, dan kemungkinan besar akan terjadinya pengurangan dalam jumlah anak didik yang putus sekolah.

Dengan adanya paradigma keadilan dalam dunia pendidikan, baik dalam hal subsidi antara sekolah negeri dan sekolah swasta, diharapkan tidak ada lagi kesan “sekolah mahal” dan sekolah hanya dapat dijangkau oleh mereka yang berekonomi tinggi, tapi semua manusia dapat mendapatkan haknya dalam dunia pendidikan. Tiada lagi kapitalis, Tiada lagi komersialis, salam bebas kebodohan!!