Artikel-artikel yang menceritakan pengalaman ketika melewati pendidikan ala daring kini banyak ditemukan. Ada tanggapan positif maupun negatif. Akan tetapi, jikalau dibuat survei sederhana, hasil yang muncul adalah kenyataan bahwa pendidikan melalui daring memiliki beberapa catatan.
Beberapa keterangan menyebut, kekurangan itu bisa dari proses penyampaian materi yang membosankan, interaksi dua arah yang kaku, dan cara memahami materi yang tidak menyenangkan. Ini belum dihitung keluhan akan ‘kerugian’ materi karena harus membeli tambahan paket data internet dan beban tugas yang malah jadi lebih banyak.
Dalam posisi seperti ini, mengepalkan jemari dan menyisakan satu telunjuk sebagai wujud penudingan terhadap siapa yang harus bertanggung jawab akan kondisi ini sangatlah tidak beretika. Siapa pula yang secara sadar ingin menjerumuskan diri menuju kesulitan, bukan?
Bagi sebagian kita, termasuk saya, yang keseharian berada di ruang lingkup lingkungan pendidikan, merasakan demikian. Proses penyampaian materi dan kegiatan pendidikan selama pandemi yang full daring ini memiliki kendala.
Pendidikan daring yang sudah dilakoni (atau terpaksa) ini sekurang-kurangnya melibas satu marwah (nilai luhur) pendidikan, terlebih bagi pelaku pendidikan pada lembaga pendidikan keagamaan. Nilai luhur pendidikan tersebut adalah nilai keteladanan. Bahasa pesantren atau agama Islamnya dikenal istilah Uswatun Hasanah.
Niilai keteladanan sejatinya adalah marwah pendidikan. Hasil dari ilmu adalah keluhuran budi. Sayangnya, nilai ini yang selama pandemi ini tidak bisa dilakukan oleh guru karena keterbatasan ruang gerak yang ada. Satu-satunya cara adalah menyerahkannya kembali kepada kerja sama orang tua.
Bentuk keteladanan yang hilang itu bisa berbentuk kesungguhan guru dalam memberi arahan, profesionalitas ketika menyampaikan materi dan praktik, bentuk menasihati dalam keseharian, dan juga menjadi kawan yang terbaik dalam proses pendewasaan peserta didik.
Poin di atas tentu mengingatkan kita pada Pasal 10 ayat (1) Undang-Undang Nomor 14 tahun 2005 tentang Profesionalitas Guru dan Dosen. UU tersebut mengamanatkan bahwa Guru harus memiliki kompetensi pedagogik, kompetensi kepribadian, kompetensi sosial, dan kompetensi profesional.
Artinya, makin ke sini, bentuk keteladanan guru tidak saja soal dinding sekolah, ruang kelas, dan bel. Apalagi hanya bermodal kata-kata kosong berlabel ‘ilmu’. Teknologi makin berkembang, peserta didik kini sudah lebih cerdas dan makin mudah kalau hanya untuk mengetahui suatu materi pelajaran.
Tutwuri Handayani
Marwah bernama keteladanan adalah kebutuhan primer bagi pengembangan pendidikan. Ia adalah kunci pokok media dialog keilmuan bernama sekolah. Ia juga garis utama bagi ruang waktu bernama kehidupan.
Meskipun kini ada satu poin tambahan bernama media sosial/internet, peserta didik, pendidik/guru/dosen, dan orang tua tetaplah tiga serangkai mata air di mana keteladanan bermula. Ketiganya sosok yang paling membentuk lingkungan pengetahuan peserta didik tentang makna keteladanan.
Karenanya, peserta didik bisa saja pandai setinggi langit. Namun jika memiliki urusan terkait moral, ia bagaikan terjun dari ketinggian itu tanpa menggunakan parasut. Sulit menemukan harapan tetap hidup, kalaupun bisa, kemungkinan besar meninggalkan kecacatan.
Itulah sebagian alasan kenapa jargon yang kita pakai ketika memaknai pendidikan berbunyi;
Ing Ngarso Sung Tulodo,
Ing Madyo Mbangun Karso,
Tut Wuri Handayani
di depan memberi contoh,
di tengah membangun karya,
di belakang memberi support (dorongan)
Istilah Patrap Guru, atau tingkah laku guru yang menjadi panutan murid dan masyakat ini begitu lekat di ingatan kita. Tidak saja karena biasa kita baca sebagai cap batik seragam sekolah sejak SD. Lebih dari itu.
Jargon ini begitu lekat karena pada istilah ini tidak kita temukan secara gamblang tentang materi pendidikan, ataupun kata pendidikan itu sendiri. Jargon tersebut lebih menitikberatkan frame keteladanan dari suatu proses ikatan moral.
Istilah Patrap Guru di atas tidak muncul begitu saja. Istilah ini hadir sebagai suatu gagasan perjuangan melawan sistem pendidikan kolonial yang materialistik, individualistik, dan cenderung sebatas intelektualistik.
Istilah ini adalah kristalisasi tujuan terwujudnya sistem pendidikan yang humanis dan populis, yang memayu hayuning bawana (memelihara kedamaian dunia). Suatu gagasan yang dipandang sesuai dengan corak budaya bangsa kita.
Corak ini juga dipandang sesuai dengan keadaan masyarakat kawula (masyarakat umum). Dengan menggunakan istilah Among/Pamong (mengayomi), Ki Hajar Dewantara berharap setiap insan lingkungan pendidikan bisa menjadi pengayom bersama.
Tatkala proses ayoman bersama itu berlangsung, perubahan tidak saja terjadi secara personal, tapi majemuk, sebab menyulut satu sama lain. Tidaklah mengherankan kemudian Ujung-ujung dari lembaga tandingan inilah yang mampu menghasilkan kemerdekaan bangsa dan Indonesia sebagai negara merdeka dan berdaulat
Azas pendidikan kolonial yang hanya berdasar asas regeering (perintah/tugas), tucht (pendisiplinan), dan orde (pesanan/harus ngikut) bisa ditandingi dengan sendi Pendidikan yang disebut momong, among atau ngemong (mendidik) yang bermuara pada tata tenteram (ketenangan).
Jargon yang dibuat oleh Raden Suwardi Suryaningrat atau Ki Hajar Dewantara pada 1952 tersebut mengingatkan kita akan pentingnya sebuah tuntunan. Tuntunan menjadi suatu gerakan yang saling mendukung, suatu paralel manusia saling menguatkan, dan cita menjadi teladan, peneguh, serta pengarah bagi generasi selanjutnya.
Merumuskan jalan Tengah
Plutarch dengan puitis pernah mengatakan, bahwa “Pikiran bukanlah bejana untuk diisi, tapi api untuk dinyalakan”. Pikiran yang membawa perubahan dimulai dari mempersiapkan sumbu pikiran yang tepat. Tidak pendek, apalagi terlalu panjang berbelit.
Harapan tersebut berbanding terbalik dengan adanya pendidikan via daring. Meski terkesan lebih praktis, efisien dan lebih kekinian, keteladanan itu tidak mudah kita dapatkan. Banyak hal strategis yang masih terlewatkan, dari sekadar mengetahui sesuatu hal.
Jargon pendidikan ala Ki Hajar Dewantara, yang sudah dirumuskan jauh-jauh hari mengingatkan kita akan pentingnya menjadi teladan. Menjadi acuan bahwa marwah pendidikan yang sejati adalah nilai keteladanan.
Namun, adanya pembelajaran secara daring dan melibatkan teknologi secara penuh juga merupakan suatu keuntungan. Tidak saja tentang efisiensi, tapi juga interaksi yang mudah untuk mengglobal.
Setidaknya pengalaman selama daring ini juga bisa menjadi pengingat kepada sebagian dari kita yang acap kali masih melihat makna pendidikan dengan sudut pandang institusional dan arsitektural; pendidikan itu sekolah. Sekolah adalah pusat segala pendidikan.
Walhasil, pembelajaran digital dan daring selama pandemi akan semakin menarik jika dikolaborasikan secara tepat dengan pendidikan yang sebelumnya sudah kita lakoni. Tentu berbasis nilai keteladanan.