Kemarin saya diskusi di kafe Puncak Rindu dengan Mbak Afin, guru saya. Ketika sudah panjang lebar membahas soal ilmu filsafat, tiba-tiba dia menceritakan tentang kebaikan hati Kanjeng Nabi.

Dulu ada pengemis buta penganut Yahudi di pojok pasar Madinah yang selalu menjelek-jelekkan Rasulullah. Setiap pagi beliau selalu menyuapi pengemis tersebut sambil mendengarkan pengemis itu menjelek-jelekkan beliau, tapi beliau diam saja dan tidak mengatakan sepatah katapun.

Setelah Rasulullah Saw wafat, Abu Bakar mengunjungi Aisyah dan bertanya: “Adakah sunnah Rasulullah yang belum aku kerjakan wahai putriku?”

Siti Aisyah lalu mengatakan, bahwa setiap pagi, Rasulullah Saw selalu menyuapi pengemis buta di pojok pasar Madinah. Besoknya, Abu Bakar pergi ke pasar Madinah sambil membawa makanan. Di sana, ia mendapati pengemis tersebut duduk di pojok pasar dan menyuapi pengemis itu.

Tiba-tiba pengemis tersebut bertanya dengan nada membentak: “Siapakah kamu?!”

Abu Bakar menjawab: “Aku adalah orang biasa.”

“Bukan, engkau bukanlah orang yang biasa menyuapiku!” katanya, “Orang yang biasa menyuapiku, tidak pernah aku merasakan kesulitan untuk memegang tangannya. Ia juga selalu menguyahkan makanan di mulutnya terlebih dahulu sampai halus, baru kemudian disuapkan kepadaku, sehingga aku tidak kesusahan mengunyah.”

Abu Bakar terisak. Lalu dengan menahan tangis berkata: “Memang, aku bukan orang yang biasa memberimu makan, tetapi sahabatnya. Orang yang biasa memberimu makan tidak lain adalah orang yang selalu kau jelek-jelekkan, yaitu Muhammad Saw.”

Mendengar penuturan Abu Bakar, pengemis itu menangis dan mengatakan: “Benarkah demikian?” Selama ini aku selalu menghinanya, menjelek-jelekkannya, memfitnahnya, tetapi dia tidak pernah sekalipun memarahiku. Justru setiap pagi ia selalu menjengukku dan menyuapi makanan ke mulutku. Begitu mulia sekali orang itu. Pengemis buta Yahudi itu akhirnya bersyahadat di hadapan Abu Bakar.

Begitulah kebaikan Nabi Muhammad kepada orang Yahudi. Sehingga dari cerita di atas, bisa diambil pelajaran, bagaimana cara kita menghargai orang lain, bahkan kepada penganut kepercayaan lain.

Membaca Cara Dakwah Wali Songo

Akhir-akhir ini, doktrin tentang Islam yang kaku seakan telah melekat di sebagian masyarakat Indonesia, bahkan terbilang banyak. Ironisnya, mereka yang fanatik terhadap ajaran Islam yang kaku itu menjustifikasi golongan lain sebagai “ahli bid’ah” dan penghuni neraka. 

Hal itulah yang kemudian menstimulus masyarakat dalam membantah balik anggapan tersebut dengan dalil-dalil tentang toleransi yang telah dipraktikkan oleh Kanjeng Nabi dalam banyak hadist, salah satunya hadist yang diriwayatkan oleh Ibnu Abbas: “Rasulullah ditanya oleh salah seorang: “Agama apakah yang paling dicintai Allah, ya Rasul?” 

Beliau kemudian menjawab: “Al-Haafiyyah as-samhah (agama yang lurus dan toleransi)”.

Namun kebanyakan, Islam dipresentasikan di masyarakat sebagai agama yang kuno dan kolot. Padahal faktanya, Islam adalah agama yang sangat mengajarkan arti toleransi. Islam tidak melarang adanya perbedaan, tapi melarang adanya pertikaian. 

Konsep “samhah” yang didawuhkan oleh Kanjeng Nabi di atas, secara etimologi bermakna toleransi. Menurut Friedrich Heiler, toleransi adalah sikap seseorang dalam mengakui adanya keberagaman agama dan menghargai setiap pemeluk agama lain; memberikan perlakuan yang sama pada semua pemeluk agama.

Melihat realitanya, Indonesia adalah negara dengan keberagaman agama, yang secara kultural setiap masyarakat dituntut untuk saling menghormati dan menghargai. Sehingga, orang yang tempramental akan semakin frontal dan menggebu-gebu mengkafirkan orang lain. Dan ini fatal.

Allah Swt dalam al-Qur’an surat al-Kafirun, Allah berfirman: “Lakum dinukum wali ad-din.” (Bagimu agamamu, dan bagiku agamaku). Jika telah mengakar di hati seorang muslim ayat itu, banyak kemungkinan tidak akan ada pertikaian dan menyalahkan umat beragama lain. 

Jadi, proses pengambilan sikap dari implementasi ayat itu adalah menghargai dan menghormati pemeluk agama lain, bukan malah menyalahkan dan menyuarakan bahwa mereka “kafir”. Ingat dawuh Gus Dur: “Agama tidak melarang adanya perbedaan, tapi perpecahan”.

Menyoal toleransi antar umat beragama, kita bisa mengkaji makna “Islam” secara etimologi. Islam diambil dari bahasa arab “aslama-yuslimi-islaman”, yang berarti menyelamatkan, atau mendamaikan. Dalam praktik keseharian, Islam adalah agama yang bersifat mendamaikan dan menyelamatkan orang lain, bukan memusuhi atau memerangi.

Kata “aslama” diambil dari kata kerja asli “salima-yaslamu-salaman”, yang berarti selamat atau damai. Selaras dengan teori yang diungkapkan Paulo Friere bahwa “damai” adalah dimensi kemurahan hati yang bertujuan untuk mencegah suatu konflik, Islam memaknai damai sebagai sikap seseorang dalam memberi kasih sayang kepada semua umat manusia. 

Maka orang yang tidak memahami Islam dari prespektif “kedamaian”, masih kurang dalam menjiwai Islam secara komprehensif.

Nabi telah mencontohkan bagaimana bersikap menghormati orang lain, bahkan kepada orang-orang kafir. Sebagai salah satu contoh, cerita di atas. Lalu atas dalih dan tendensi apa seorang muslim menjahati dan memusuhi orang lain hanya karena beda agama dan kepercayaan? 

Kanjeng Nabi pernah dilempari batu saat berdakwah di Thaif sampai malaikat penjaga gunung menawarkan untuk melemparkan gunung ke penduduk Thaif, tetapi beliau menolak dengan mengatakan bahwa masih ada anak cucu mereka yang diharapkan masuk agama Islam.

Cara dakwah seperti inilah yang kemudian diadopsi oleh para wali dalam menyebarkan Islam di Indonesia, yaitu dengan mengakulturasikan budaya, sehingga sampai detik masih bisa kita rasakan keberagaman budaya dengan nuansa keislaman yang masih kental, beberapa di antaranya: tumpengan, kenduren, nyadran, dan lain-lain.

Maka bilamana Indonesia akan dijadikan negara dengan sistem khalifah, sukar rasanya akan terealisasi, karena menilik sejarah para wali dulu dalam menyampaikan Islam sebagaimana yang dijelaskan di atas. Berbeda jika semua khazanah intelektual leluhur dihilangkan dan diganti dengan doktrin-doktrin baru, maka most likely, besar kemungkinan, akan bisa terealisasi.

Karena sejalan dengan itu, Arnold Toynbee dalam magnum opusnya, A Study of History, menyebutkan: “Jika kalian ingin menghancurkan peradaban suatu bangsa, maka hilangkanlah khazanah intelektual leluhur dari sejarah bangsanya.”