Bagi saya, perempuan selalu menarik perhatian. Bukan karena semata-mata soal keindahan fisik, atau semata-mata karena saya terlahir sebagai lelaki, tapi lebih karena potensi-potensi yang mereka miliki. Mereka memiliki roh seorang ibu, dan roh ini, dalam hemat saya sejatinya sangat dibutuhkan di dunia politik tak terkecuali di negeri ini.

Merekalah yang mengubah persepsi maskulin yang di zaman batu mengukur perempuan dari sekadar cantik atau tidak, siap dipoligami atau tidak. Mereka juga yang menunjukkan secara riil, wilayah perempuan tak lagi terpaku pada dapur, kasur, dan sumur seperti impian diam-diam banyak lelaki baheula. Pun mereka, yang membuka mata pria, dalam kelembutan dimiliki masih ada kekuatan sangat yang dapat mengubah segalanya.

Lagi-lagi mereka, menunjukkan lebih jauh, bahwa Tuhan memang lebih mempercayai mereka dibandingkan laki-laki, hingga rahim pun diberikan kepada para perempuan. Karena perempuan memiliki kekuatan kasih sayang dan kemampuan mendidik yang tak dimiliki laki-laki. Ada filosofi di sini, dan ada bekal penting dari ini, yang dapat diejawantahkan mereka hingga lintas dimensi, tak terkecuali ketika mereka berstatus politisi.            

Megawati Soekarnoputri, yang hingga kini masih “me-ratu-i” salah satu partai politik pantas dikatakan salah satu di antara politisi hebat sekaligus perempuan hebat. Terlepas adanya kontroversi dalam kebijakannya, ia masih pantas disebut sebagai politisi sekaligus perempuan hebat. Dia mampu bertarung dengan kalangan politisi pria untuk muncul ke atas, mewakili perempuan negeri ini dengan membawa pesan penting; kami punya nyali, dan kami tak selalu berada di bawah laki-laki.         

Tapi tunggu dulu. Masih ada banyak polemik dan tanda tanya seputar kiprah mereka di dunia politik. Misal saja, dalam sedikitnya politisi perempuan ada di antaranya yang justru terjerat pidana korupsi, hingga memunculkan rasa skeptis; lalu apa yang membedakan mereka daripada kalangan politisi lelaki? 

Ada masalah terkait citra politisi perempuan yang sejatinya menanggung ekspektasi dapat melakukan sesuatu dan menciptakan tren berbeda dari yang diperlihatkan politisi lelaki yang memang acapkali mengubah politik menjadi hal remeh; sebagai jalan untuk mengeruk uang hingga peluang menambah jumlah istri.

Soal citra itulah yang sempat disinggung  analis Prapancha Research, Cindy Herlin Marta, dalam jumpa pers untuk laporan penelitian lembaganya pada 2013 lalu, bahwa dibutuhkan citra perempuan yang kuat dan positif di dunia politik. Untuk itu, kalangan perempuan harus dapat melakukan usaha melebihi yang dapat dilakukan laki-laki. “Karena politik adalah ranah yang selama ini dikuasai laki-laki,” Cindy berpendapat saat itu.           

Ditelisik lebih jauh lagi, sejatinya jembatan untuk perempuan berkiprah di politik kian lebar jika dibandingkan dekade-dekade lalu. Maka itu, tak heran jika dihitung per 1971 hingga 2009 saja, ada kenaikan hingga tiga kali lipat dalam hal jumlah kursi parlemen yang dikuasai perempuan—merujuk laporan Inter-Parliamentary Union.           

Patut dicatat, pada 1971, perempuan Indonesia hanya dapat merebut kursi parlemen sebanyak 7,17 persen dari 460 kursi. Artinya, hanya 33 perempuan yang mendapatkan tempat di sana. Angka itu sempat naik turun hingga 1999 di mana perempuan hanya meraih 8 persen dari 500 kursi. Baru pada 2009 mampu menembus 104 kursi, dan ini kali pertama menembus tiga digit.           

Bagaimana kondisi terkini? Maka Pemilu 2014 menyajikan lagi fakta ironis, kembali terjadinya penurunan pada jumlah kursi yang berhasil diraih perempuan. Dari 555 kursi parlemen yang ada saat itu, perempuan hanya mendapatkan 17,1 persen dan itu tidak lebih dari 95 kursi--masih merujuk data IPU.           

Di antara persoalan konkret sempat mengemuka adalah peranan politisi perempuan yang bahkan sempat dinilai gagal membawa dampak serius, di antaranya yang berkaitan dengan buruh perempuan. Alhasil, sesama perempuan saja cenderung skeptis memilih politisi perempuan, sehingga ironi 2014 itu terjadi.

Sinyal skeptis itu sempat terungkap di berbagai media, terutama dalam kiprah mereka membela kepentingan perempuan. “Kita tahu ada perwakilan perempuan di DPR tapi ada Undang-Undang yang justru tak memberikan perlindungan kepada buruh perempuan,” Nining Elitos, aktivis organisasi buruh sempat menggugat andil politisi perempuan.           

Beberapa catatan itu memang mewakili kondisi terkini, bahwa perempuan di dunia politik belum cukup membawa pengaruh besar. Selain itu, belum ada yang mampu berdiri sebagai pionir dalam melakukan terobosan signifikan, terutama di legislatif.           

Dapat dibayangkan jika politisi perempuan negeri ini memiliki power berlebih, mampu mentransferkan filosofi seorang ibu dalam aktivitasnya, saya kira Indonesia takkan lagi terlihat layaknya kakek usia 70-an yang terbatuk-batuk. Mereka dapat mengubahnya selayaknya anak muda gagah dan diperhitungkan dunia luar.           

Di pemerintahan, menteri Susi Pujiastuti mulai menunjukkan kiprahnya yang diakui tak hanya di dalam negeri, seperti halnya Sri Mulyani Indrawati, yang dihormati hingga sampai ke luar negeri. Atau, di tingkat dua pemerintahan, muncul Tri Rismaharini. Namun figur-figur sekelas itu masih terbilang dapat dihitung dengan jari, terutama—sekali lagi—di ranah politik atau yang bersentuhan dengan kebijakan politik.           

Di sini ada pesan menarik dari Eva Sundari yang notabene kenyang dalam dunia perpolitikan. Saat bincang-bincang dengan kalangan pers, dia pernah menyoroti  perempuan yang muncul ke dunia politik yang cenderung mengandalkan popularitas. Selain, dia juga menilai, pola diterapkan partai pun acapkali hanya memilih yang cenderung gampang dan menguntungkan dalam jangka pendek.

 “Elektabilitas pun diterjemahkan partai, kalau bukan popularitas, ya yang berduit banyak, bukan  ketrampilan, kapasitas, atau kapabilitas,” ucapnya, seperti dilansir BBC, 2011 lalu.

Sekarang, sebagai lelaki yang beribukan perempuan dan beristrikan perempuan, saya pribadi hanya mendoakan para ibu di negeri ini kelak mendapatkan tempat dan ruang lebih besar untuk memeluk negeri ini dengan cinta lewat kancah politik itu. Ya, cinta berlandaskan pengetahuan dan ketrampilan yang dapat membantu anak-anak negeri ini berlari kencang, minimal, menyalip anak-anak negara tetangga. Semoga* (Twitter: @zoelfick)

 #LombaEsaiPolitik