"Kritik yang terkesan menjebak dan realitas buzzer sebagai simpatisan elit semakin memperpanjang daftar kelumit masalah dinegeri ini. Adapun kita yang acuh akan problem hari ini, adalah ia yang mengamini penindasan."

Buzzer si pendengung yang sering dikaitkan dengan istana, bukan istana mini tentunya. Ada satu kedunguan ketika mendikotomi buzzer istana dan oposisi, karena para pendengung dan pembungkam ini sebenarnya sama saja dari sudut pandang yang berbeda saling mengkritisi satu sama lain, saling ingin membungkam satu sama lain, dan saling ingin menang satu sama lain. Yang bedanya hal ini dipertegaskannya kepada siapa, dan untuk apa si buzzer atau oposisi bereaksi. 

Kritik dan pembelaan, sebenarnya kedua hal ini tak memiliki garis tipis atau penghalang karena semuanya tergantung dimana sudut pandang berkesan dan menilai. Oposisi mengkritik dan buzzer melakukan pembelaan begitu pula sebaliknya keduanya mengadu pembenaran, data dan fakta serta framing opini. 

Meskipun kritik selalu disematkan pada oposisi, kita wajib tau kritik seperti apa yang layak disematkan, tentunya yang tidak "kosong nyaring bunyinya" Melainkan dengan data dan fakta untuk menjadikannya sebagai sebuah fakta mutlak yang tidak menjadi relatif bagi lainnya. Namun ketika kritik yang diizinkan malah membingungkan ini akan menjadi suatu kelalain berdemokrasi, hak untuk memberi izin dan hak untuk dikritisi malah buram. 

Adalah mengagetkan ketika pak Presiden Jokowi mengeluarkan statement bahwasannya masyarakat diharapkan untuk mengkritik pemerintah namun ini lebih tepatnya seperti memberi izin yang mana notabennya kritik itu tak harus diminta dan terkesan berizin dulu, karena setiap saat masyarakat sudah melakukan kritik secara langsung dan tidak langsung dalam memperjuangkan haknya, namun yang gagal dan gagap adalah tanggapan dari yang dikritik menunjukkan inkonsistensi mengemban amanah rakyat.

Namun yang membuat heran lagi harapan kritik itu selalu dibayang bayangi oleh UU ITE yang dijadikan sebagai tameng ksatria menjadikan demokrasi yang diharapkan itu utopia, seakan akan simalakama sekali jika ditelan bulat peryataan yang lalu. Lantas lebih membuat terperangai lagi ketika buzzer pro-choice yang ikut serta ditamengkan UU ITE, menambah survei panjang demokrasi di indonesia yang selalu naik turun tiap tahunnya.

Survei yang dilakukan Indikator Politik Indonesia (IPI) menunjukkan, hanyak 17,7 persen responden yang merasa kualitas Indonesia menjadi lebih baik. Sedangkan, 36 persen merasa saat ini Indonesia kurang demokratis dan 37 persen responden menganggap keadaan demokrasi Indonesia tak mengalami perubahan Survei yang dilakukan pada medio 24 hingga 30 September 2020 itu juga menyatakan bahwa mayoritas publik kian takut dalam menyampaikan pendapat. Hal itu ditunjukkan dengan 21,9 persen responden bahwa warga semakin takut menyampaikan pendapat dan 47,7 persen warga merasa agak setuju dengan pendapat itu. (Kompas.com) 

Demokrasi yang diimpikan hanya menjadi semu ketika produk hukum dan watak khas elit politis berkonfrontasi, di tengah perkembangan dunia digital yang dikomodifikasi sedemikian rupa untuk melangengkan beberapa hal menjadikan otoriterian semakin menjadi-jadi.   Apalagi dengan UU ITE yang merupakan kumpulan pasal karet yang sewaktu waktu menjadi lawan atau kawan.

Dengan presentasi Demokrasi kita setiap tahunnya yang menurun dikarenakan indikator politik membuat kita seharusnya membangun kesadaran bersama dalam menjadikan Demokrasi yang pro terhadap kerakyatan dan bukan lah sebuah Demokrasi liberal yang mengkebiri hak rakyat pada umumnya.  Kritik yang diharapkan pemerintah sendiri nantinya dapat menjadi sebuah solusi dan pembelajaran terhadap pemerintah, namun percuma juga jika kali ini menghrapkan kritik namun yang lalu tak kunjung usai. 

Ada semacam kecatatan berpikir dalam mengharapkan kritik yang disampaikan tetap dijadikan solusi hari ini, berkaca dari masalah-masalah yang lalu kritik sampai bungkam selalu di counter oleh sejuta cara. 

Belum lagi dengan perkembangan dunia digital menjadikan pemerintah lebih fokus mengurusi opini ala gawai dengan memperbudak para pendengung atau siapa lagi kalau bukan buzzer. Saya jadi ingat bagaimana tadi pagi membaca narasi Made Supriadma tentang seorang Pigai dan Abu Janda, yang kiranya merekan berdua lebih jatuhnya seperti influemcer saudara sepupu nya buzzer dalam mengiringi opini publik. 

Selain mengharapkan kritik dari masyarakat topik buzzer pun mulai kembali ke permukaan, bagaimana tidak seorang Kwik Kian Gie yang seorang berkompeten pada bidangnya pun menjadi target buzzer dalam menjalankan tugasnya menggiring opini, di dunia maya pendapat tak lagi di anggap buah pikir yang patut dijadikan diskursus bersama, melainkan menjadi ajang membodohi dan menggurui satu sama lain, dan hal itu diperpatah dengan trend buzzer yang entah benarkan punya istana atau tidak yang jelas keberadaan mereka amatlah gaib . 

Jika menelisik soal buzzer, anda akan kaget ketika mendapati sebenarnya buzzer awalnya adalah sebuah trik marketing dari mulut ke mulut dan tak pernah sekalipun ada indikator politik di dalamnya. Semakin bertambah zaman, fungsi dari buzzer pun mulai berganti dengan berbagai indikator pendukung di dalamnya. 

Dulunya buzzer bukanlah sesuatu yang dapat membuat kita emosional atau mengelengkan kepala ketika mendengar namanya, dikarenakan buzzer memang dulunya selalu berfungsi positif namun lantas sekarang mulai menjauh dari kesan awalnya, buzzer yang positif biasanya digunakan dalam mengerakkan isu sosial di dunia digital contohnya seperti lingkungan, atau bahkan hanya untuk sekedar mancari simpati pengalangan dana donasi dan lain sebagainya. 

Bagi saya buzzer ini merupakan  salah satu faktor pendorong rekayasa opini publik terbaik dalam berdemokrasi, meskipun buzzer kesannya adalah produk elit politik dalam menghalau berbagai kritik oposisi, jika mengaitkan hal ini pada gerakan sosial baru maka bagi saya buzzer juga termaksud bagian dari nya, meskipun yang kita ketahui bersama gerakan sosial adalah gerakan kolektif bersama yang bernuasa politik dalam melawan pemerintah. 

Gerakan sosial sering dilihat sebagai sebuah aksi kolektif untuk melakukan perlawanan terhadap negara dalam rangka memperjuangkan hak- hak masyarakat sipil. Menurut Sujadmiko (2006; xvi) lantas bagaimana dengan posisi buzzer yang pro terhadap pemerintah dalam perkembanggannya yang selalu membela kepentingan pemerintah dan bukan rakyat, tentunya dalam gerakan sosial baru kita mendapati buzzer adalah kekuatan pengerak perubahan. 

Gerakan sosial sendiri dibagi menjadi dua, yaitu gerakan sosial ‘lama’(old social movement) dan gerakan sosial ‘baru’(new social  movement). Kedua pandangan tersebut tidak jauh berbeda tentang bentuk- bentuk gerakan yang di konsepsikan sebagai “gerakan sosial lama” dan "gerakan sosial baru”. 

Gerakan sosial ‘lama’ lebih pada membawa wacana tentang ideologis yang meneriakkan anti kapitalisme, revolusi kelas, dan  perjuangan kelas. Sedangkan saat ini, gerakan sosial baru mengekspresikan  dirinya dengan kaya akan bentuk seperti anti rasisme, anti nuklir, perlucutan senjata, feminism, enviromentalisme, regionalism dan etnisitas, kebebasan masyarakat sipil sampai kepada isu-isu kebebasan personal dan perdamaian. Gerakan sosial baru essensialnya merupakan perkembangan dari teori  gerakan sosial yang ada sebelumnya. 

Lantas bagaimana posisi buzzer pro pemerintah dalam gerakan sosial baru, tentunya buzzer yang pro elit juga bagian dari warna gerakan sosial baru dimana tujuan dari buzzer dan oposisi sebenarnya sama untuk menancapkan "fakta mutlak" Yang nantinya akan diketahui bersama sebagai satu fakta yang benar dan disetujui oleh banyak kepala serta melahirkan perubahan. 

Karena fakta dan opini yang dianggap benar dan tergantung oleh massa, semakin banyak massa maka pendapat massa akan menjadi mutlak. Sehingga buzzer yang mencoba mengiring opini bertujuan membawa perubahan lain didalam masyarakat dengan berusaha menjadikan sebuah konstruksi kebenaran adalah pendapat mutlak massa namun terkesan pro terhadap elit.

Buzzer pro pemerintah tak melahirkan perubahan seintens dan Radikal kaum oposisi, karena buzzer hanya menjaga agar misi para kaum kontra pemerintah tak sampai menjadi sebuah fakta relatif untuk masyarakat, perubahan yang dilakukan buzzer hanyalah upaya merubah mindset rakyat terkesan sudah tak sevisi dengan pemerintah. 

Kita akan mendapati berbagai jenis buzzer serta tak lupa pula influencer dan bot atau akun palsu bertebaran hari ini di jagat dunia digital dalam rangka melakukan perubahan pola pikir dan kesadaran rakyat terhadap pemerintah, sehingga menyatakan buzzer sebagai dari gerakan sosial baru juga tak keliru meskipun yang di lawan adalah kaum oposisi namun keduanya bersamaan ingin melahirkan perubahan dan tinggal kita lihat siapa saja yang berhasil akannya. 

Dalam kontestasi berpolitik masa kini di era revolusi Industri 4.0 buzzer adalah basis penguatan terhadap elit politik yang jauh lebih mudah digunakan dibandingkan harus menggerakkan massa secara langsung, sehingga buzzer kini mungkin sudah menjadi salah satu mata pekerjaan yang menghasilkan cuan, dan dengan semakin hari bertambah kita akan mendapati negeri ini semakin mengada ada.