Pada dasarnya semua makhluk hidup melakukan pekerjaan, namun kerja pada manusia menjadi sangat berbeda dan khas dari pada makhluk yang lainnya. Apa yang membuat kerja pada manusia sangat khas dan berbeda?

Hal itu karena kerja pada manusia sebagai bentuk menyatakan keberadaan dirinya, maksudnya manusia bekerja untuk memproduksi sesuatu yang akan dikonsumsi namun terkadang juga manusia memproduksi melebihi kebutuhannya.

Berbeda dengan makhluk lain, seperti hewan pada umumnya, melakukan kerja hanya untuk keberlangsungan hidupnya (survive).

Awalnya manusia, sama dengan makhluk yang lain, masih terintegrasi dengan dunia namun dengan melewati proses kerja manusia kini membuat dunia yang niscaya tersebut menjadi hasil produk atau hasil kerjanya. Secara historis dunia telah diubah sesuai kehendaknya sehingga kerja menjadikan manusia berbeda dengan sesuatu di luar dirinya.

Kerja juga membuat manusia dapat menggunakan teknologi sebagai instrumen pembantu untuk keberlangsungan hidupnya di dunia.

Sekarang bayangkan jika kerja manusia tidak berbeda dengan makhluk hidup yang lain dan membuat teknologi menjadi hampir mustahil digunakan. Sebagai contoh, manusia tidak akan bisa melakukan perjalanan ke tempat-tempat yang jauh karena memerlukan kendaraan.

Perihal kerja, Eka Kurniawan (novelis) memberikan problem yang menarik untuk diikuti dalam tulisannya di kolom opini JawaPos, bahwa (menurut Eka) manusia harus dipersiapkan tak hanya untuk menciptakan teknologi, demi membantu kerja-kerjanya. Manusia juga harus dipersiapkan untuk menghadapi segala macam dampak teknologi agar sebisa mungkin tidak merugikan kehidupannya.

Artinya adalah kesadaran akan pentingnya manusia yang harus dikedepankan karena kerja sudah tidak lagi menjadi bentuk untuk menyatakan diri manusia di hadapan dunia. 

Kerja seharusnya membuat manusia berbeda dengan yang lain kini telah tercerabut dari dirinya, semata-mata manusia bekerja bukan untuk dirinya. Jika manusia telah kehilangan hal yang paling mendasar dari dirinya, yaitu kerja, lalu bagaimana mengembalikan hal tersebut?

Selanjutnya Eka Kurniawan menambahkan sebagai penutup tulisannya bahwa mulai menghormati manusia Indonesia dan kerja-kerjanya. Petani dari tanahnya, nelayan dari lautnya. Intelektual dari buku-bukunya. Buruh dari alat-alat produksinya. Ia harus membebaskan manusia Indonesia dari rasa takut ketika ia melakukan pekerjaan-pekerjaan yang menghidupinya.

Artinya, emansipasi adalah satu-satunya bentuk mengembalikan kerja sebagai hal yang paling mendasar pada manusia sehingga distorsi kerja dan ketertindasan manusia yang disebabkan oleh sesuatu di luar dirinya telah hilang.

Namun perlu diingat, apa yang telah ditulis oleh Eka Kurniawan harus ditinjau lagi lebih kritis. Dengan begitu, kita dapat mempertanyakan kembali perihal konsep kerja.

Apakah emansipasi manusia hanya bisa terlaksana apabila kerja telah dikembalikan pada dirinya sendiri? Dan apakah ada dimensi lain, selain kerja, yang dapat membuat terlaksananya emansipasi manusia? Ataukah sebenarnya emansipasi manusia itu tidak diperlukan?

Dimensi komunikatif

Sebagaimana telah diuraikan di atas bahwa kerja sebagai bentuk menyatakan diri manusia akan kepenuhan eksistensinya di hadapan dunia, maka dengan model paradigma kerja seperti itu manusia mempunyai kehendak atas dunia. Namun sekali lagi, apakah hal tersebut hanya dibatasi oleh dimensi kerja saja?

Untuk menjawab pertanyaan tersebut, kita harus melihatnya dalam perspektif lain, Jurgen Habermas (1979) mengatakan bahwa manusia tidak hanya tools making animal melainkan juga language using animal.

Hal tersebut menjelaskan bahwa tindakan dasar manusia tidak hanya sebatas pada dimensi kerja saja namun pada dimensi komunikasi juga. Komunikasi dimaksudkan sebagai salah satu sarana melihat manusia dalam keutuhannya.

Dimensi komunikasi harus dialamatkan pada sesuatu yang umum , yaitu rasio manusia—rasio yang dimaksud tidak bersifat netral atau memiliki keberpihakan sebagai status emansipasi manusia—yang berkaitan dengan kemampuan linguistik.

Jika mengacu pada dimensi pertama, yaitu kerja, maka dunia menjadi objek manipulasi manusia sehingga membuat dunia yang niscaya itu telah menjadi dunia manusia karena secara historis sudah melewati proses kerja, sedangkan dimensi komunikatif adalah tindakan manusia dalam hubungannya dengan manusia lain sebagai subjek—tidak monologal namun secara dialogal.

Dimensi komunikasi diaktualkan dalam moral-praktis atau dalam tindakannya di ruang publik sebagai bentuk politik.

Karena berbasis emansipatoris, maka komunikasi tidak mengizinkan hadirnya bentuk represif kekuasaan atau bahkan ideologi dari luar. Artinya, komunikasi yang bersifat bebas, dengan begitu dapat terciptanya ruang demokrasi yang radikal.

Sejauh komunikasi dapat terlaksana dengan bebas, maka orientasinya terarah pada terciptanya pemahaman masing-masing kelompok, maka tindakan komunikasi bersifat terbuka. Namun apabila proses interaksi atau komunikasi terjadi secara tidak bebas atau adanya tekanan dari luar, kekuasaan dan ideologi, maka akan terjadinya bentuk manipulasi yang membuat komunikasi tersebut bersifat tertutup dan tidak terciptanya pemahaman semua pihak.

Dengan adanya model komunikasi tertutup atau terjadinya manipulasi akan membuat dimensi komunikasi sebagai dasar tindakan manusia tidak lagi terarah pada pembebasan manusia.

Hal tersebut bisa dilihat pada kasus penangkapan Robertus Robet (Dosen UNJ dan aktivis HAM) karena diduga menyebarkan isu SARA dengan berorasi di depan massa demonstran pada Aksi Kamisan di taman aspirasi depan istana presiden (28/2/19) ,mengingatkan bahayanya dwifungsi ABRI dengan menyanyikan lagu mars ABRI yang dipelesetkan oleh para demonstran. (bisa lihat di sini)

Pada fenomena tersebut telah terjadinya dimensi komunikasi tertutup, di mana yang seharusnya tindakan komunikasi di ruang publik harus bersifat bebas dari tekanan kekuasaan maupun ideologi.

Dimensi komunikasi yang semestinya dapat mengemansipasi manusia kini telah terdistorsi secara sistematis dan terjadinya manipulasi yang tidak memihak pada bentuk pemahaman antarsubjek, sama halnya terjadi pada dimensi kerja yang tercerabut dari dirinya.

Maka syarat emansipasi manusia tidak hanya sebatas pada dimensi kerja saja, namun harus diandaikan adanya dimensi kedua, yaitu komunikasi yang bersifat dialog dan terbuka tanpa adanya represi dari kekuasaan ataupun ideologi dan lain-lain.

Secara tidak langsung, hal tersebut akan membatalkan konsepsi Marx mengenai basis (material, dalam hal ini kerja) akan mengondisikan suprastruktur (interaksi sosial), karena harus diandaikan keduanya sebagai dimensi tindakan dasariah manusia.