Dialektika pemikiran Islam di perguruan tinggi telah mengalami banyak perubahannya. Jika kita melihat perkembangan pemikiran Islam, kita akan menemukan di era saat ini terjadi kemandekan pemikiran.
Hal ini disebabkan karena pada realitasnya perguruan tinggi kita tidak lagi menghasilkan para pemikir hebat dalam dunia Islam. Perguruan tinggi saat ini, telah disibukkan dengan berbagai proyek pengembangan secara fisik dan melupakan hakikat yang sesungguhnya.
Perubahan yang terjadi di perguruan tinggi, khususnya perguruan tinggi Islam lebih mengfokuskan agar mahasiswa mampu menghasilkan satu produk yang itu mengarah kepada materi. Mahasiswa di tuntut agar mampu mengusai segala bentuk teori-teori yang itu di butuhkan dalam dunia industry (pasar).
Akhirnya yang terjadi perguruan tinggi tidak lagi melahirkan kaum intelektual melainkan hanya melahirkan kaum toxic. Realitas ini disebutkan oleh Azyumardi Azra bahwa mereka ini tidak bisa dikatakan sebagai kaum intelektual, melainkan mereka hanya bisa disebut sebagai kaum intelegensi.
Intelegensi dan intelektual menurut Azra berbeda secara konsep. Intelegensi ialah mereka yang hanya berfokus kepada pekerjaan mereka tanpa memikirkan sesuatu di luar kesibukan mereka.
Hal ini dapat kita lihat di perguruan tinggi, banyak pengajar yang hanya mengurusi kesibukannya sendiri. Sedangkan intelektual sorang yang banyak memikirkan kemajuan orang banyak, dan melawan penindasan dalam bentuk apapun.
Perbedaan tersebut sangat nyata kita lihat di perguruan tinggi saat ini. Dimana hampir setiap tahunnya perguruan tinggi melahirkan kaum intelegensi yang hanya memikirkan keadaannya sendiri.
Ali Syariati menyebut orang-orang intelektual tersebut dengan sebutan Rausyan Fikr atau orang-orang yang tercerahkan, sampai pada ia menuliskan sebuah buku yang diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia yang diberi judul tugas kaum intelektual.
Keberadaan kaum intelektual di tengah masyarakat tentunya memiliki tugas untuk senantiasa menjadi oase dalam kehidupan masyarakat yang sedang haus dengan berbagai persoalan sosial.
Di tahun 80 an, kita banyak melihat bagaimana perguruan tinggi telah banyak melahirkan pemikir Islam, yang menjadikan Islam sebagai suluh dalam merumuskan suatu kebenaran berdasarkan nilai ajaran universal Islam.
Dahulu ada Abdurahman Wahid (Gusdur), Nur Kholis Madjid (Cak Nur), Harun Nasution, Dawam Raharjo, H.M. Rasjidi, Kuntowijoyo, Buya Safii Ma’rif, Jalaludin Rakhmat, dan sebagainya. Mereka semua adalah pemikir Islam atau intelektual Islam yang dilahirkan dari rahim perguruan tinggi yang otentik.
Pikiran-pikiran yang dihasilkan telah merubah cara pandang Islam terhadap dinamika beragama, kehidupan sosail masyarakat, politik, ekonomi, pendidikan san yang lainnya.
Kelahiran para pemikir tersebut, menunjukkan bahwa kualitas perguruan tinggi saat itu mampu memberikan sumbangsi yang begitu besar dalam perjalanan bangsa ini.
Buya Syafii Ma’rif pernah mengatakan setiap manusia haruslah menjadi rumah kearifan bagi manusia lainnya. Untuk menciptakan manusia yang arif, maka perguruan tinggilah yang memiliki peran penting dalam membentuk intelektual yang otentik.
Perguruan tinggi harus mampu mendekonstruksi pola metode pembelajaran yang ada. Sebagaimana yang dikatakan oleh Derida seorang filsuf bahwa segala sesuatu yang jika tidak sesuai antara teori dan praktiknya, maka perlu dekonstruksi ulang teori-teori tersebut.
Hari ini yang terjadi ialah, bagaimana perguruan tinggi kita hanya berfokus kepada menghasilkan manusia yang penurut dan terkungkung dengan indikator capaian yang sangat dogmatis.
Mahasiswa hanya mampu di persilahkan untuk memahami tanpa harus menjadikan indikator tersebut sebagai bagian dari pemikiran yang bisa dijadikan sebagai landasan dalam merumuskan berbagai persoalan.
Realitas Perguruan Tinggi
Secara umum perguruan tinggi tentunya memiliki banyak bidang keilmuan. Misalkan di perguruan tinggi Islam, bukan hanya jurusan keagamaan saj yang saat ini ada, melainkan sudah pula keilmuan yang sifatnya eksakta (ilmu pasti).
Jadi alasan untuk mengatakan bahwa jurusan saya bukanlah jurusan agama. justru pemahaman seperti ini adalah pemahaman yang sangat keliru, karena menjadi intelektual tidak harus menjadi mahasiswa ilmu agama dulu baru kemudian menjadi pemikir. Kita bisa mengambil contoh tokoh intelektual bangsa ini yang kebanyakan juga bukan dari ilmu agama.
Misalkan Jalaludin Rakhmat (Kang Jalal), ia memiliki keilmuan sebagai orang komunikasi, namun ia banyak menuliskan ide dan gagasannya mengenai Islam (pemikiran). Sehingga ia mengatakan bahwa harus ada ekspansi keilmuan untuk memajukan ilmu pengetahuan dalam Islam.
Realitas perguruan tinggi kita saat ini, terlalu berfokus kepada menghasilkan mahasiswa yang siap pakai. Ini dapat kita lihat dalam berbagai aspek.
Pertama dalam perguruan tinggi Islam, materi pembelajaran hanya menyampaikan bagaimana mahasiswa mampu mengusai soft skill sesuai dengan jurusannya. Misalkan pendidikan Agama Islam, seorang mahasiswa harus menguasai metode, strategi, pengembangan dan sebagainya mengenai pendidikan Agama Islam karena akan menjadi seorang guru.
Kedua, karena menciptakan manusia yang siap pakai, akhirnya dalam perekrutan mahasiswa kadang perguruan tinggi menawarkan berbagai janji manis jika kuliah di perguruan tinggi tersebut, jika lulus akan langsung mendapatkan pekerjaan.
Ketiga, perguruan tinggi baik Islam maupun umum dijadikan sebagai relasi kuasa dengan berbagai wacana yang ada. Tentunya berkaitan dengan status quo.
Menurut Michel Faucoult bahwa dalam kehidupan ini terdapat wacana dan relasi kuasa. Sehingga ia mengatakan setiap kehidupan manusia terdapat wacana yang itu berhubungan erat dengan relasi kuasa untuk memberikan control terhadap tindakan manusia, jadi manusia akan bertindak sesuai dengan wacana yang bergulir.
Misalnya konsep merdeka belajar, hal ini tidak bisa hanya di pandang sebagai diberinya kebebasan kepada mahasiswa untuk memilih proses pembelajarnya sendiri, namun perlu diketahui wacana apa di balik itu semua.
Dekonstruksi Pemahaman Perguruan Tinggi
Apakah perguruan tinggi kita saat ini mampu melahirkan pemikir handal dalam kehidupan manusia saat ini.? jawabanya ia selama kita mampu mengubah paradigma kita mengenai perguruan tinggi.
Setidaknya ada beberapa hal yang bisa kita lakukan untuk mengubah perguruan tinggi sehingga mampu melahirkan pemikir-pemikir Islam yang kompeten saat ini.
Pertama ialah, perguruan tinggi kita perlu merevisi cara mendidik agar tidak terfokus kepada pengisian secara kognitif, melainkan perlu memberikan kesadaran secara agamis bahwa manusia memiliki tugas untuk membumikan nilai ajaran Allah secara langsung.
Kedua, apa yang dikatakan oleh Kang Jalal mengenai ekspansi ilmu pengetahuan perlu diterapkan di perguruan tinggi kita, sehingga menghasilkan pemikiran Islam yang tidak hanya konsen kepada keilmuannya saja, melainkan mampu menjadi sosok pemikir yang mampu hadir di tengah masyarakat.
Ketiga, perlunya kesadaran kolektif, khususnya pada kalangan umat Islam, untuk benar-benar mendidik dan didik ke dalam sebuah ajaran yang otentik sehingga menjadi sosok manusia yang merealisasikan rahmatan lil alamin dalam kehidupan beragama dan bernegara.