Di tengah pandemi korona atau Covid-19, taji Omnibus Law Cipta Kerja agaknya menjadi harapan terbesar.
Seperti kita tahu, pandemi yang sudah menjalar ke mana-mana ini bukan lagi kejadian biasa-biasa saja. Kini ia telah menjelma momok menakutkan, kejadian extraordinary, yang karenanya patut mendapat respons luar biasa juga.
Memang tak bisa kita pungkiri, penularannya sangat mudah, cepat, dan luas. Ia telah menjangkit sekitar 1,7 juta orang dan bereskalasi—sempat mencapai 100 ribu kasus dalam sehari. Pun, sudah menjangkiti 210 negara di mana 180 di antaranya akibat transmisi lokal.
Jangan tanya soal berapa banyak korban jiwa yang sudah ditelannya. Tercatat, total kematian hingga hari ini mencapai 103 ribu jiwa. Bahkan di Amerika Serikat, misalnya, estimasinya mencapai 100 – 240 ribu dengan rata-rata 6.973 jiwa per hari.
Itu belum lagi soal kemampuannya menghentikan berbagai aktivitas. Dalam paparan Menko Perekonomian Airlangga Hartarto kemarin (Selasa, 14/4), tersebut travel ban dan total border shutdown di 59 negara; partial shutdown di 85 negara. Penutupan sekolah turut menjadi fenomena di 85 negara. Lagi-lagi mengambil contoh di AS, 6,6 juta orang telah mengklaim unemployment benefit pasca-korona.
Di wilayah perekonomian, pandemi mematikan ini betul-betul mengubah arahnya secara drastis. Optimisme pemulihan global seketika berubah menjadi ancaman resesi.
Jika sebelumnya, pada Januari 2020, pertumbuhan ekonomi global diproyeksikan naik 3,3 persen, maka, setelah pandemi ini, angkanya turun menjadi -2,2 persen. Adapun kerugian ekonomi global atau potensi PDB global yang hilang di 2020-2021, yakni -$5 triliun. Ini seukuran dengan ekonomi Jepang.
Resesi ekonomi global tersebut disebabkan disrupsi di sisi demand and supply. Dampak ekonominya berupa penurunan pendapatan masyarakat, penurunan permintaan/konsumsi, peningkatan pengangguran, serta potensi kebangkrutan. Untuk langkah pencegahan ekstremnya—dan ini tidak terhindarkan—adalah penurunan output akibat distancing/lockdown serta karena gangguan rantai pasokan.
Pada akhirnya, Covid-19 ini benar-benar memberi tantangan berat pada stabilitas sektor keuangan nasional. Sentimen negatif di pasar global mendorong pembalikan arus modal yang begitu tinggi. Pasar keuangan domestik juga panik. Terjadinya pembalikan modal membuat tekanan pada mata uang, pasar modal, dan surat berharga.
Tidak hanya itu, ia juga berimbas besar bagi ekonomi nasional. Sama halnya dengan dunia dan negara-negara lainnya, ancaman Covid-19 pada perekonomian nasional Indonesia pun sangat signifikan.
Untuk itu, sudah saatnya Indonesia meresponsnya dengan kebijakan extraordinary. Tujuannya adalah melindungi masyarakat, dunia usaha, dan stabilitas sektor keuangan.
Bahwa eskalasi Covid-19 dan perlambatan ekonomi yang tajam harus dimitigasi dampaknya pada kesehatan dan kesejahteraan masyarakat, kesinambungan dunia usaha, serta stabilitas sektor keuangan melalui kebijakan extraordinary. Dengan begitu, berarti pemerintah sudah berupaya menjaga agar pertumbuhan tidak menuju skenario terburuk.
Terlebih diketahui pula banyak masyarakat yang berpotensi kehilangan pekerjaan dan penghasilan. Maka dukungan pemerintah mutlak diperlukan untuk menghindari lonjakan pengangguran dan angka kemiskinan.
Kebijakan Penanganan
Ya, langkah extraordinary dan antisipatif mutlak dilakukan. Tiada lain untuk mengatasi gangguan kesehatan dan penyelamatan perekonomian dari pemburukan.
Dalam hal itu, kita patut mengapresiasi pemerintah yang menerbitkan PERPPU Nomor 1 Tahun 2020. Ini merupakan payung hukum untuk mengambil langkah-langkah cepat dan luar biasa serta terkoordinasi guna menghadapi pandemi Covid-19.
Di samping itu, program Kartu Prakerja turut jadi solusi. Ini merupakan bagian dari social safety net dalam penanganan dampak Covid-19. Besaran manfaatnya, seperti bantuan pelatihan dan insentif setelahnya, setidaknya meringankan beban. Apalagi skala prioritasnya terhadap para pekerja informal/formal dan pelaku UMK yang terdampak serta WNI 18 tahun ke atas yang tidak sedang sekolah/kuliah.
Selama masa pandemi, melakukan langkah-langkah luar biasa sebagai upaya penanganan dan penyelamatan perekonomian juga patut lebih digalakkan. Segala gangguan terhadap kesehatan dan ancaman jiwa, aktivitas sosial-ekonomi, sektor riil dan peningkatan risiko di sektor keuangan, serta PHK (pemutusan hubungan kerja) mesti jadi dasar. Bahwa pemulihan, jaring pengaman sosial, dukungan dunia usaha, serta perlindungan dan cipta lapangan kerja adalah langkah utama.
Berkaitan dengan dua hal terakhir, di titik itulah RUU Cipta Kerja menjadi patut segera dibahas dan disahkan. Sebab, dukungan bagi dunia usaha serta UMKM dan koperasi dalam peningkatan investasi akan mendukung penciptaan lapangan kerja dan perlindungan para pekerja.
Pada akhirnya, transformasi ekonomi menjadi hal signifikan dan mendesak. Kita tidak bisa menunggu lagi pertumbuhan perekonomian nasional berjalan apa adanya. Sudah waktunya kesejahteraan masyarakat merata di mana-mana. Kita butuh ketahanan melalui payung Cipta Kerja yang itu akan meningkatan daya saing ekonomi di kancah global.
Dengan begitu, cita-cita Indonesia Maju 2045 akan tercapai. Menjadi negara dengan ekonomi 5 besar dunia bukan hal mustahil lagi. Upaya keluar dari middle income trap akan makin dekat. PDB USD 7,4 triliun akan kian nyata. Bahkan, tingkat kemiskinan 0 persen serta tenaga kerja berkualitas akan segera hadir di tengah-tengah kita. Dan hal ini bisa terwujud hanya dengan pengesahan RUU Cipta Kerja menjadi Undang-Undang Cipta Kerja.