Kasus  pemaksaan siswa nonmuslim untuk berjilbab di SMK N 2 Padang kembali menambah catatan tersendiri tentang bagaimana sekolah  negeri telah memasuki ranah privat beragama pada  aturan  atau hukum  positif di lingkungan  sekolah yang berlabel negeri.

Kasus di SMK N  2 Padang bukanlah kasus yang  asing ditemui. Baik yang sudah muncul di media mau pun yang tidak menimbulkan gejolak di sekolah sendiri juga banyak ditemui.

Ada beberapa catatan yang perlu  dilihat dari kasus ini  begitu juga kasus-kasus sebelumnya yang pernah terungkap. Sebagai pengajar di SMA Negeri, saya sendiri tidak terkejut dengan berbagai aturan terutama diarahkan pada pemakaian seragam bagi yang muslim untuk kewajiban berjilbab. Tentu aturan ini pada awalnya tidak dibuat sebagai bentuk pemaksaan, namun anjuran.

Mengenakan seragam muslim terutama berjilbab bagi siswa putri di sekolah negeri  sudah menjadi trend.  Pemakaian seragam yang terkesan terlalu pendek hingga atasan yang terlalu ketat mendorong aturan pemakaian seragam di sekolah untuk lebih tertutup.  Hingga  akhirnya seragam berjilbab  dianggap sebagai seragam  paling sopan di sekolah.

Penggunaan Dogma Agama dan Dukungan Orang Tua

Jilbabisasi di sekolah negeri tidak lepas dari dogma agama Islam yang memberi aturan cara berpakaian pada perempuan. Aturan wajib penggunaan jilbab ini ternyata banyak didukung orang tua wali. Ini dibuktikan  tidak banyak  yang melakukan gugatan.  Meskipun pada awalnya mengalami keberatan, orang tua wali lebih banyak mengalah pada aturan sekolah. Tentu  mencoba menggugat aturan sekolah akan terasa begitu membuang-buang energi.

Terlepas  dari aturan  ini dan banyaknya dukungan pada aturan ini  memberi kesan  bahwa kewajiban memakai jilbab tentunya tidak apa-apa. Tidak ada masalah. Namun, justru ada masalah lain di sini yaitu pemaksaan pada ranah spiritual.

Jika institusi yang melaksanakan kewajiban  berjilbab adalah sekolah berbasis Islam, tentu ini tidak masalah. Institusi negara yaitu sekolah negeri adalah institusi milik semua kalangan dan keyakinan, maka pemaksaan pada keyakinan tertentu harusnya tidak  terjadi. Sekali pun siswa tersebut seorang muslim, kewajiban memakai jilbab seharusnya tidak dilakukan oleh sekolah.

Ranah Keimanan Bukanlah Ranah Publik

Dakwah keagamaan yang telah memasuki ranah publik terwujud dalam bentuk aturan kewajiban menunjukkan simbol agama.  Aturan ini kemudian mengikat hingga menjadi kewajiban  yang masuk dalam lingkup sekolah negeri.

Seseorang yang  tidak mengikuti aturan dianggap telah mencoreng keimanan. Jangan lupa, ranah keimanan di negeri ini semakin banyak diangkat sebagai ranah publilk. Perempuan yang tidak berjilbab dianggap telah mengganggu ranah spiritualitas orang lain  dan dianggap telah menodai agama Islam.

Namun, bicara di ranah publik, dalam hal  ini sekolah  negeri, ukuran keimanan adalah ukuran yang menjadi ranah privat kita sendiri.  Sekolah boleh membuat aturan berdasarkan norma  kesopanan juga etika tapi bukan agama tertentu terutama agama mayoritas.

Sayangnya,  terkadang masih  kita temui pendidik atau pun guru  yang  ikut serta dalam melakukan takaran keimanan siswa-siswanya  berdsarkan  simbolisme agama.  Tentu  saya tidak  mengatakan  simbol agama  tidak  penting,  namun simbol  agama yang  dikultuskan adalah  benih radikalisme yang   bisa berbahaya.  Siswi  yang  berjilbab dianggap lebih beriman  daripada yang tidak. 

Padahal tidak sedikit ditemui  siswi berjilbab melakukan  tindakan dekadensi moral.  Pergaulan  bebas hingga penggunaan narkoba adalah  jenis perilaku melanggar  aturan norma yang  juga dilakukan  siswi  berjilbab.

Seorang siswi berjilbab  di  sekolah  yang di rumah  ia  terbiasa  tidak berjilbab berkata  pada saya, “Saya yang  penting  di sekolah  jilbaban Bu.  Soalnya kalau tidak, nilai  agama  dan PKn  saya  tidak tuntas”. Simbolisme agama melalui cara berpakaian  telah menempatkan porsi  paling  tinggi pada kriteria  penilaian.

Tentu  saya meyakini tidak semua guru  beranggapan  demikian,  tapi bisa dikatakan bahwa subyektifitas inilah yang mendorong   adanya jilbabisasi di sekolah  negeri. Standar jilbab secara  tidak langsung adalah standar pencapaian moral  yang baik. Meskipun  standar  ini  pun masih   banyak dipertanyakan.

Lalu  bagaimana cara menghentikannya?

Saya pribadi tidak menolak  penggunaan jilbab di sekolah  negeri  oleh siswa muslim, dan  hak  menggunakan  jilbab tetap harus  dilindungi.  Namun  jika terjadi pemaksaan menggunakan jilbab baik  secara  halus  mau  pun jelas tertera  dalam  aturan,  tindakan  ini  harus  dihentikan.

Pemahaman tentang  toleransi di lingkungan instansi  pendidikan sampai saat ini lebih  banyak  bersifat normatif dan tekstual.  Pelajaran tentang  menghormati serta  saling menyayangi  sesama dalam  perbedaan lebih  banyak  bermuatan tekstual  dalam  buku pelajaran.  Siswa diminta menguasai teori meskipun dalam  prakteknya  toleransi sendiri  di  lingkungan  sekolah  masih  sulit  diterapkan.

Sudah saatnya sekolah  negeri kembali sebagai tempat yang dapat mempraktekkan  nilai-nilai  toleransi. Ini  harus  diawali  dari  peraturan  serta guru-guru yang  berwawasan  luas dan terbuka.  Dinas pendidikan adalah instansi pertama yang dapat melakukan  pengawasan pada sekolah-sekolah negeri jika terdapat aduan.

Dan akhirnya masyarakat  yang  di dalamnya  termasuk orang  tua  murid  adalah unsur  penting  dalam  mengawal jika terjadi intoleransi atau  pun  tanda-tanda adanya  diskriminasi  di  sekolah. 

Dengan  adanya  media, sekolah  negeri  saatnya  berbenah dan mengembalikan fungsinya  sebagai  pusat pendidikan  generasi untuk  semua  keyakinan  dan semua  kalangan.