Bukan rahasia lagi jika keberadaan industri kertas kerap melahirkan kemenduaan sikap. Di satu sisi, kita menghendakinya guna memproduksi kebutuhan-kebutuhan hidup yang ramah lingkungan: produk-produk berbahan baku kertas. Di sisi lain, kita mengabaikannya hanya karena memandang industri kertas sebagai satu sumber penderitaan umat manusia: pengrusakan ruang hidup.
Soal produknya, saya kira kita semua bisa bersepakat kata. Ketimbang menggunakan plastik sebagai pembungkus makanan, misalnya, pemakaian kertas jelas jauh lebih bermanfaat. Dari aspek mana pun, entah itu aspek ekonomis maupun sisi kesehatan, penggunakan alat berbahan baku kertas adalah pilihan yang tepat.
Bagaimana soal sisi lainnya? Haruskah kita mengubur industri kertas hanya karena dianggap ikut merusak ruang hidup manusia?
Rumit memang untuk menjelaskannya ke publik luas. Apalagi terhadap masyarakat yang rata-rata masih didominasi oleh orang awam akan pentingnya industri kertas. Baru menyebut kata "industri" saja, misalnya, orang sudah ketar-ketir. Industri telanjur dipersepsikan sebagai biang kemelaratan.
Makanya, untuk menghapus pandangan yang sudah tidak relevan seperti itu, kita butuh upaya ekstra. Kita harus mendorong agar orang mau menerima kenyataan lain bahwa tidak selamanya industri kertas sekadar produsen penderitaan. Seperti butuhnya kita akan kertas daripada plastik, begitulah pandangan yang harus kita tanamkan.
Masyarakat Tanpa Kertas?
Sudah saya jelaskan di tulisan sebelumnya bagaimana perubahan peran dan fungsi kertas dari sejak diciptakannya sampai sekarang. Bahwa kini manusia tidak lagi menempatkan kertas sekadar media penyebaran informasi atau ilmu pengetahuan. Peran dan fungsi mulianya itu sudah tergantikan produk-produk teknologi supercanggih.
Yang tersisa dari kertas hari ini adalah kebermanfaatannya bagi lingkungan hidup. Manusia menginginkan kertas untuk pemenuhan kebutuhan, sekaligus upaya merawat keberlangsungan ruang hidup anak-cucu di kemudian hari. Kertas adalah bagian tak terpisahkan untuk kebutuhan kita paling mendasar.
Potensi tereduksinya peran dan fungsi kertas dalam peradaban manusia ini sebenarnya sudah pernah diprediksi oleh Frederick Wilfrid Lancaster. Pada 1978, era sebelum Internet benar-benar membiak seperti sekarang, ia berani mengeklaim bahwa akan tercipta suatu masa di mana penggunaan kertas tidak akan semasif lagi seperti pertama kali ditemukan oleh Cai Lun.
Ia menyebutnya sebagai paperless society atau masyarakat tanpa kertas.
Meski demikian, ramalannya justru terbilang kurang tepat. Di tengah menurunnya penggunaan kertas di wilayah pendokumentasian informasi, peran kertas malah kian pesat. Ini menandakan bahwa tidak berarti kertas betul-betul ditinggalkan. Yang berubah dari penonjolan kertas hari ini hanyalah sudut penggunaannya saja.
Tetap mempertahankan kertas sebagai media penyalur ilmu pengetahuan bukan lagi sikap yang bijak. Di era kini, kertas harus benar-benar kita gunakan dalam perspektif lingkungan.
Atas nama lingkungan atau ruang hidup manusia, penggunaan kertas sangat dimungkinkan. Bukan perkara ketidakefektifannya sebagai medium belajar kita, melainkan problem lingkunganlah yang kian hari kian mendesak. Kertas harus kita tempatkan sebagai substitusi plastik yang memang kurang bersahabat itu.
Maka sudah waktunya kita menjawab tudingan bahwa paperless society itu adalah mitos belaka. Fakta membuktikan, peralihan peran kertas benar-benar tumbuh bak jamur di musim penghujan. Penggunaan kertas sudah merambah ke segala lini penghidupan, bersentuhan langsung sebagai kebutuhan pokok kita, manusia.
Demi Masa Depan
Melihat transformasi peran kertas ini, bukan hal keliru jika berbagai negara, termasuk Indonesia, menempatkan industri kertas sebagai bisnis yang menjanjikan. Selain ada banyak peluang ekonomi yang bisa didapatkan dari sana, keberadaannya juga memungkinkan hidup manusia jadi lebih baik.
Menteri Perindustrian Airlangga Hartarto bahkan pernah mewacanakan bagaimana pentingnya industri kertas sebagai penunjang perekonomian negara. Salah satu pasalnya adalah karena produk-produk berbahan baku kertas cukup menggiurkan sebagai konsumsi yang pasar butuhkan.
Saya kira ini momentum tepat bagi Indonesia untuk menilik peluang industri kertas ke depan. Apalagi melihat negara-negara pemasok kertas terbesar, sebut misalnya Amerika Utara dan Skandanavia, sudah tergeser sebagai produsen utamanya. Pencipta kertas terbesar kini sudah beralih ke wilayah Asia Tenggara, termasuk Indonesia.
“Hal ini sangatlah tepat karena Indonesia memiliki keunggulan komparatif, terutama terkait bahan baku, di mana produktivitas tanaman kita jauh lebih tinggi dibandingkan negara-negara pesaing yang beriklim subtropis.” (merdeka.com)
Upaya menggarap industri kertas di Indonesia jelas penting untuk dipandang tepat. Terlebih kita tahu bahwa Indonesia masuk sebagai industri kertas peringkat ke-6 dunia. Sementara di Asia, posisi Indonesia berada di peringkat ke-4 setelah Cina, Jepang, dan India.
Dari segi ekspor, industri kertas Indonesia juga berada di peringkat pertama pada 2011 – 2017. Tentu saja, kinerja ini turut berkontribusi terhadap devisa negara yang angkanya mencapai USD5,8 miliar pada 2017.
Capaian di atas itulah yang mesti kita respons bersama. Di Indonesia, kita sudah punya industri kertas seperti APP Sinar Mas. Industri ini terus konsisten menjadi bagian dari penyumbang terbesar kertas dan bubur kertas (pulp). Itu harus kita tangkap sebagai peluang yang tak bisa kita abaikan menuju revolusi yang konon bernama Industri 4.0.