Cara pandang akan menentukan hasil dari pandangan terhadap objek tertentu, cara itu meliputi posisi, Alat yang dipakai dan juga tujuan dalam melihat suatu objek. itu sebabnya sangat penting untuk menentukan posisi, menentukan Alat yang akan digunakan dan juga tujuan yang ingin dicapai. Dalam tulisan kali ini, penulis ingin menggali hakekat dari Negara beserta seluruh perangkatnya.
Penelusuran dilakukan dengan memaknai secara komprehensif, mulai dari setiap kalimat yang dirangkai di pembukaan UUD 1945, kemudian masuk setiap Pasal di batang tubuh dan sampai pada penutupan. Masih ada banyak hal yang bisa dilihat.
Seperti yang pernah dikatakan oleh Jimly Asshiddiqie bahwa konstitusi memiliki wajah yang beragam, artinya bisa dilihat dari berbagai perspektif, bisa kita lihat contohnya dari buku-buku yang dibuat oleh Jimly Asshiddiqie ; “Konstitusi Ekonomi” (2010), “Green Constitution” (2009), “Konstitusi Kebudayaan” (2017). Selain itu ada juga Buku yang berjudul “Konstitusionalisme Agraria” (2014) yang ditulis oleh Yance Arizona.
Penulis akan menggali hakekat Negara di dalam UUD 1945 dengan melihat konstitusi dari wajah yang lain yakni wajah ketuhanan yang termanifestasikan dalam Konstitusi UUD 1945. Penulis akan memulai uraian tulisan dari Pembukaan, itu sebab perlu penulis jelaskan kedudukan Pembukaan konstitusi dalam diskursus ketatanegaraan.
Frans Magnis Suseno merupakan salah satu tokoh yang penulis temukan – yang menjelaskan Pembukaan Konstitusi. baginya Nilai Luhur serta Tujuan akan Nampak dalam Lima Sila yang menjadi penutup pembukaan tersebut namun keluhuran juga dapat dilihat pada kalimat-kalimat lain, (Frans Magnis Suseno, 1995:24).
Kedudukan Pembukaan dalam diskursus ketatanegaraan sebagai berikut ; Pertama, menurut Liav Orgard yang dikutip oleh Rudy dalam penelitiannya bahwa materi muatan pembukaan terdiri dari 5 kategori, diantaranya; kedaulatan, sejarah, tujuan dan cita bangsa, identitas nasional dan agama atau ketuhanan, lebih lanjut dijelaskan bahwa menurut Hans Kelsen karakter pembukaan lebih bersifat ideologi daripada karakter Hukum, (Rudy, 2013:129).
Pendapat Liav Orgard menurut penulis sejalan dengan pendapat Kelsen, sebab tujuan, cita bangsa, identitas nasional dan Ketuhanan, sangat berkaitan erat dengan konsep ideologi, dan jika dikontekskan dengan pembukaan UUD 1945, maka pendapat kedua tokoh di atas dapat dibenarkan atau malah sebaliknya kedudukan pembukaan yang diperkuat, terlihat jelas dalam pembukaan, terdapat semua kategori yang disebutkan di atas, dan semakin jelas dengan adanya lima butir pancasila.
Kedua, Tren global saat ini telah menggeser pandangan tentang kedudukan pembukaan ke arah yang baru – bukan lagi sekedar simbol semata, melainkan lebih dari itu yakni memiliki kedudukan dalam hukum, bagi Jimly Asshiddiqie bahwa dasar Negara terdapat pada seluruh bagian pembukaan UUD 1945 dan kedudukan pembukaan sangatlah penting sebab merupakan satu kesatuan dengan dengan pasal-pasal UUD 1945, (Mei Susanto, 2021:194-198). Penulis memahaminya bahwa seluruh uraian penting di dalam pembukaan UUD 1945, telah terejawantahkan ke dalam bentuk norma konkret di dalam batang tubuh UUD 1945.
Penjelasan di atas, memberi sedikit pengetahuan mengenai kedudukan pembukaan sebuah konstitusi, seperti yang telah dijelaskan di atas. menurut Liav Orgard, salah satu dari lima kategori yang terkandung dalam pembukaan ialah Agama atau Ketuhanan, dan di dalam pembukaan UUD 1945 terdapat frasa yang menegaskan terdapatnya kategori Tersebut, seperti pada alinea ketiga terdapat frasa yang berbunyi “Atas berkat rakhmat Allah Yang Maha Kuasa “ dan juga terdapat di alinea ke-empat “Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan berdasar kepada Ketuhanan Yang Maha Esa”.
Ketika membaca frasa pertama di atas, penulis memahami bahwa kemerdekaan Indonesia kemudian menjadi sebuah Negara merupakan “Pemberian” dari Tuhan alam semesta, itu sebabnya dalam menggunakan kemerdekaan – menjalankan Negara, harus tetap berlandaskan pada nilai-nilai ketuhanan, agar dapat mewujudkan kehidupan yang adil bagi seluruh rakyat Indonesia. Menurut penulis, Terlihat dengan jelas bahwa sumber, alat dan tujuan merupakan satu kesatuan yang bersumber pada satu yakni Tuhan. Ini yang disebut sebagai pandangan dunia (Weltanshcauung) Negara Indonesia.
Said Munirudin menjelaskan pandangan dunia merupakan perangkat pandangan atau keyakinan tentang hakikat keberadaan suatu hal, juga dapat dimaknai sebagai pemikiran teoritis yang menjelaskan mengenai penciptaan alam semesta dan manusia (Tauhid), yang lebih lanjut untuk mengetahui “dari mana asal muasal kehidupan”, “siapa kita”, “mengapa kita di sini”, “apa relasi kita dengan asal usul kita dan alam semesta” dan “kemana kita akan pergi”, (Said Munirudin, 2017:128-129).
Pandangan dunia Negara hanya merupakan turunan dari pandangan dunia manusia – dengan mengetahui siapa dan apa itu manusia, serta mengetahui alasan keberadaan dan juga mau kemana setelah kehidupan ini, kita dapat mengetaui rasion d’tre dari Negara, namun mengenai konsep manusia penulis tidak akan menguraikannya di sini, sebab seperti yang telah disinggung di atas bahwa tulisan ini fokus pada penggalian hakekat Negara di dalam Konstitusi.
Jika berpijak pada pandangan dunia Negara Indonesia yakni pancasila, maka sejatinya status ontologi dari Negara Indonesia hanyalah sebagai kendaraan atau saran untuk menghantarkan manusia pulang ke asal sejatinya – tempat awal manusia diciptakan.
Seperti yang dijelaskan di atas, bahwa kemerdekaan merupakan pemberian Allah SWT sehingga wajib digunakan untuk kembali kepadaNya. Ini juga menegaskan hubungan erat antar Negara, Manusia dan Tuhan. Itu sebabnya menjalankan roda kenegaraan harus berlandaskan pada aturan – secara jelas ditegaskan dalam Pasal 1 Ayat (3) “Negara Indonesia adalah Negara hukum”. salah satu prinsip dalam Negara Hukum ialah segala hal yang berkaitan dengan hak dan kewajiban diatur di dalam peraturan perundang-undangan – isinya memuat mana hak, mana kewajiban dan mana yang boleh dilakukan, mana yang tidak boleh dilakukan. Muatan materi dalam peraturan perundang-undangan bersumber dari Pancasila maupun UUD 1945.
Peraturan perundang-undangan merupakan bentuk konkret pembatasan. Kebebasan merupakan Anugerah bagi yang dapat mengontrol kebebasanya, namun akan menjadi Bomerang bagi yang tidak mampu mengontrol kebebasan. Adanya Agama, Negara dan yang lebih spesifik yakni peraturan perundang-undangan merupakan sarana untuk mengontrol kebebasan manusia, agar kebebasan tersebut dapat menjadi anugerah.
Undang-Undang Dasar 1945 merupakan sumber peraturan dibawahnya, seluruh pasal di dalamnya merupakan bentuk pembatasan, namun menurut penulis secara spesifik mengatur mengenai pembatasan diatur dalam pasal 28J Ayat (2) “Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis”.
Salah satu pertimbangan di dalamnya ialah nilai-nilai agama. Kalau tadi disebutkan di atas bahwa fondasi Negara Indonesia adalah Hukum, Maka menurut penulis bahwa sumber atau unsur-unsur pembentukan fondasi ialah Nilai-Nilai Religius, seirama dengan yang tertuang dalam pasal 29 Ayat (1) “Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa”.
Menurut Frans Magnis Suseno, UUD 1945 itu pancasilais apabila nilai-nilai pancasila terejawantahkan ke dalam batang tubuh, (Frans Magnis Suseno, 1995:25). Keberadaan Pasal 29 Ayat (1) merupakan bentuk pengejawantahan dari nilai-nilai yang terdapat pada pembukaan UUD 1945 pada alinea ketiga dan ke-empat tentang nilai ketuhanan.
Dimensi ketuhanan dalam konstitusi secara tersirat telah ditegaskan sejak lama – Muhammad Hatta merupakan salah satu tokoh yang menguraikan dengan sangat indah mengenai keberadaan dimensi ketuhanan tersebut. menurut Hatta (1999:17) : “Dasar ke-Tuhanan Yang Maha Esa jadi dasar yang memimpin cita-cita negara kita, yang memberikan jiwa kepada usaha penyelenggaraan segala yang benar, adil dan baik, sedangkan dasar kemanusiaan yang adil dan beradab adalah kelanjutan dalam perbuatan dan praktik hidup dari pada dasar yang memimpin tadi. Dalam susunan sekarang ini dasar kemanusiaan yang adil dan beradab harus menyusul, berangkaian dengan dasar yang pertama. Letaknya tidak dapat dipisahkan dari itu, sebab ia harus dipandang sebagai kelanjutan kedalam praktik hidup dari pada cita-cita dan amal ke-Tuhanan Yang Maha Esa”
Keberadaan nilai-nilai tersebut merupakan Manifestasi Ilahi, dan Sila pertama merupakan dasar bagi empat sila lainnya. Sila Ke-Tuhanan Yang Maha Esa adalah yang paling dasar dan melingkupi dari lima sila tersebut, (Zainul Akmal, 2018:132). Sehingga apabila sila pertama telah diterapkan dengan benar maka ke-empat sila lainnya akan secara otomatis terwujud pula.
Secara teoritis, konsep ketuhanan yang terdapat pada konsitusi sejalan dengan salah satu mazhab dalam aliran pemikiran Hukum yakni Mazhab Hukum Alam – Thomas Aquinas merupakan salah satu Eksponenanya, menurutnya bahwa Hukum yang dibuat ulang melalui lembaga-lembaga supra dan infra Negara (Human Law), seharusnya dijiwai oleh nilai-nilai ketuhanan baik nilai hukum ketuhanan yang tertulis di kitab suci (Scripture), maupun nilai hukum ketuhanan yang melekat pada alam (Natural Law), (Suteki, 2021:333). jadi dapat dipahami Devine Law dan Natural Law sebagai dasar pembentukan Human Law.
Keberadaan Pasal 29 Ayat (1) ke dalam batang Tubuh UUD 1945 sebagai bentuk kristalisasi dari nilai ketuhanan yang terdapat dalam pembukaan, secara implisit telah mejelaskan Hakekat Negara itu sendiri – yang dalam hal ini Negara Indonesia. untuk menjelaskan Hakekat Negara yang terdapat di dalam UUD 1945 sekaligus mengakhiri tulisan ini, penulis meminjam pernyataan Hegel yang menyatakan “The State is Devine Idea as it exists on earth”, dalam pemahaman penulis bahwa Hakekat Negara di dalam Konstitusi ialah sebagai salah satu di antara banyaknya tanda-tanda Tuhan yang ada di bumi – yang bertujuan untuk menuntun manusia kembali ke asalnya.
Daftar Pustaka :
Frans Magnis Suseno (1995). Kuasa dan Moral. PT.Gramedia Pustaka Utama : Jakarta.
Said Munirudin (2017). Bintang Arasy, Tafsir Filosofis – Gnostik Tujuan HMI. Syiah Kuala University Press, Banda Aceh.
Suteki (2021). Hukum dan Masyarakat. Penerbit Thafa Media : Yogyakarta.
Jimly Asshidiqie (2016). Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara. Rajawali Pers, Jakarta.
Muhammad Hatta (1977), Pengertian Pancasila. Idayu Press, Jakarta.
Mei Susanto, kedudukan dan fungsi pembukaan undang-undang dasar 1945 : pembelajaran dari tren global. jurnal legislasi Indonesia Vol 18 No.2 – Juni 2021.
Rudy, kedudukan dan arti penting pembukaan uud 1945. fiat justisa jurnal ilmu hukum volume 7 No.2, Mei-Agustus 2013.
Zainul Akmal Relevansi Pasal 29 Konstitusi Terhadap Sila Pertama Pancasila Sebagai Dasar Negara. No. 1 Vol. 3 Januari 2018: 125 – 147.