Beberapa teman kampus saya telah menyadari penggunaan plastik secara berlebihan akan berdampak pada kerusakan lingkungan. Plastik dianggap sukar diurai oleh tanah. 

Bumi mengidap penyakit akut karena bertahun-tahun diracuni ulah manusia. Plastik, plastik, dan plastik. Dengan beraneka rupa bentuknya, ia dianggap penyebab kerusakan lingkungan yang paling besar dalam abad ini.

Kita mafhum kalau tiap pertokoan di sekitar tempat tinggal kita niscaya menawarkan kantong plastik. Manusia dan plastik sudah menjadi komponen yang tak terpisahkan, sehingga manakala kampanye antiplastik beredar viral, paling hanya segelintir orang saja yang sadar. 

Kata iklan, mencegah lebih baik ketimbang mengobati. Saya sepakat dengan hal ini. Namun, bagaimana wujud pencegahan itu sebaiknya?

Pandangan masyarakat kebanyakan masih memahami pencegahan sebagai upaya antiplastik. Mengganti plastik, mereka membawa tas kantong. Ini terobosan yang cukup cerdas dari masyarakat kita. 

Selain dari akar rumput, pertanyaan selanjutnya, kenapa tak banyak toko yang menawarkan langsung kantong kertas, malah masih saja menggunakan plastik?

Persoalan ini membutuhkan waktu panjang untuk menguraikanya satu per satu secara sistematis. Jawaban paling sederhana bisa dikatakan kalau biaya produksi plastik relatif murah daripada kertas. Artinya, industri pertokoan tak mau ambil pusing untuk berlaku revolusioner karena pertimbangan ekonomi.

Untung-rugi finansial antara biaya produksi plastik dan kertas cukup menganga. Itu kenapa industri yang menawarkan produk kebutuhan sehari-hari masih bertahan menawarkan kantong plastik. Ia tak mau rugi, atau setidaknya, mengeluarkan biaya produksi tambahan. Rumus mengeruk keuntungan sebanyak-banyaknya dengan biaya produksi sedikit-dikitnya masih mengakik dalam mekanisme kapital di dalamnya.

Lantas, kampanye antikertas ini milik siapa? Apakah sekadar bagi masyarakat yang peduli lingkungan atau perusahaan? Saya tak berada pada dikotomi ini. Sidang pembaca dapat menerka langsung logika neokapitalisme demikian.

Itu pertanyaan yang saya ajukan kepada teman-teman saya di kampus. Kalau mereka secara progresif mengampanyekan kertas sebagai pengganti plastik, bisakah mereka memengaruhi kebijakan industri? Sebab bukankah dari industri plastik inilah yang sesungguhnya sumber dari produksi besar-besaran plastik? Dengan modal idealisme ala mahasiswa, dapatkah mereka melawan neokapitalisme plastik?

Ilustrasi atas pertanyaan dan uraian singkat di atas bagai seorang idealis menghendaki perubahan sosial tapi hanya dipampangkan lewat status medsos. Untungnya sebagian dari mereka tak hanya berucap tapi juga laku. Setidaknya perubahan itu dimulai dari dirinya sendiri, sekalipun di sekitar lingkungan masih menyisakan PR tersendiri.

Saya membayangkan kalau kampanye antiplastik dijalankan semua elemen, baik masyarakat maupun industri, bukankah perubahan sosial itu bukan isapan jempol? Namun, sekarang ini kenyataan di sekitar kita masih timpang. Kesadaran akan penggunaan kantong kertas sebagai pengganti plastik masih kontras antara masyarakat dan industri.

Saya kira di antara kedua elemen itu harus ada kehadiran pemerintah. Sebaiknya terdapat kebijakan konstitusional dan revolusioner dari pemerintah sebagai wujud intervensi negara. Tanpa orang ketiga ini, reduksi penggunaan plastik masih berupa utopia.

Pemerintah hendaknya menyadari, saya yakin sudah, bahwa surplus penggunaan plastik membunuh bumi pelan-pelan. Defisit kualitas lingkungan, karenanya, akan terjadi, bahkan telah menunjukkan ke arah sana, bila merujuk pada riset-riset lingkungan hidup baru-baru ini. 

Peran kertas sedemikian penting di sini. Ini karena bahan materialnya mudah diurai tanah.

Sekarang saya menyadari, sebagaimana ayat-ayat Tuhan menjelaskannya, kalau kerusakan bumi justru dilakukan oleh agensi, yakni manusia yang tak bertanggung jawab atas lingkungannya sendiri. Ibu bumi tak lagi seasri seratus tahun silam manakala populasi belum meletup seperti sekarang. Dentuman populasi itu, ditambah nirkesadaran lingkungan dari manusia, bumi makin menunjukkan akhir riwayatnya.

Saya kira kesadaran akan penggunaan kertas sebagai pengganti plastik harus ditempatkan secara epistemologis. Bukan hanya seperti kebanyakan dilakukan selama ini yang cenderung ontologis. Realitasnya praksis “apa” lebih dominan ketimbang “bagaimana”. 

Yang paling penting saat ini, menurut saya, adalah kesadaran atas bagaimana seharusnya merawat bumi dengan mereduksi penggunaan plastik. Kesadaran filsafat semacam ini akan lebih baik bila diejawantahkan oleh masyarakat dan industri. 

Sekalipun mengharapkan perubahan dari industri akan amat sukar karena modal kapitalnya lebih besar, bukan berarti menciutkan spirit para aktivis lingkungan hidup. Dari sini kita juga bisa kreatif. Bagaimana?

Saya teringat bagaimana organisasi mahasiswa di kampus saya berduyun-duyun memaksimalkan kertas bekas untuk digubah menjadi kantong pengganti plastik. Mereka menenun kertas-kertas tak terpakai—biasanya dari kopian surat—untuk dibentuk menyerupai kantong. Walaupun secara tampilan, menurut saya, masih kurang estetis, tetapi cukup untuk menggantikan peran plastik.

Kegiatan ini dilakukan sukarela. Tak ada paksaan verbal. Kendati begitu, kreativitas mereka lambat-laun ditiru teman lain, sehingga pembuatan kantong dari kertas sebagai kampanye antiplastik bukan retorika belaka. Mereka menolak kantong plastik jika ditawari. Sebagai penggantinya, kantong berbahan kertas ia keluarkan.