Agama dan kekerasan sering dianggap sebagai dua paradoks atau barangkali semacam oksimoron yang nyaris tidak pernah ada keterkaitan, apalagi saling mempengaruhi. Tetapi tidak demikian kenyataannya. Diakui atau tidak, kekerasan atas nama agama adalah fenomena global yang galib.

Mark Jurgensmayer dalam bukunya yang fenomenal berujudul Terror on the Mind of God mendedahkan kasus-kasus kekerasan berlatar agama yang teradi di hampir semua agama besar di dunia, mulai dari Islam, Nasrani, Yahudi sampai Sikhs.

Bahkan hari-hari belakangan ini, kita menyaksikan di sudut-sudut dunia, mulai dari Jakarta, Paris sampai Rakhine agama dan kekerasan bertautan memperlihatkan diri dalam bentuknya yang paling menyeramkan: penindasan, teror dan genosida.

Tentu, agama bukan menjadi satu-satunya faktor dominan di balik semua itu. Namun, mengabaikan andil agama dalam berkobarnya kekerasan itu juga merupakan hipokrisi yang tidak bisa dimaafkan.

Setidaknya ada dua pandangan terkait fenomena kekerasan atas nama agama. Pandangan pertama meyakini bahwa agama tidak mungkin melahirkan kekerasan. Jika pun ada kekerasan yang dilatarbelakangi agama, hal itu lain karena kesalahan pengikutnya dalam memahami ajaran agama.

Pandangan ini biasanya disebut pandangan yang apologetik. Penganut pandangan ini biasanya yakin bahwa agama adalah konsep yang suci, mustahil dicemari ajaran tentang kekerasan. Agama telah tertakdir sebagai “yang baik”, tidak ada kemungkinan lain.  

Pandangan kedua meyakini bahwa ada unsur intrinsik dalam agama yang berpotensi melahirkan kekerasan. Artinya, agama bukan satu hal yang bebas nilai, melainkan dari sononya sudah mengandung hal-hal yang ambivalen, ambigu dan multitafsir.

R. Scott Appleby dalam The Ambivalence of the Sacred tanpa ragu menyebut bahwa agama secara intrinsik mengandung ambiguitas. Di satu sisi, agama bisa berpotensi melahirkan perdaiaman namun di sisi lain agama juga potensial melahirkan kekerasan. Konsep “the sacred” sebagai nyawa agama itu berpotensi menginspirasi manusia untuk menebar perdamaian dan kekerasan sekaligus.

Hal senada, diungkapkan oleh Rudolf Otto. Menurutnya konsep agama dilandasi oleh kepercayaan kepada apa yang disebutnya “mysterium”, sesuatu yang ghaib. Keyakinan pada sang ghaib itu melahirkan dua sikap, yakni ketakjuban (mysterium tremendum) dan ketakutan (mysterium fascinosum).

Dalam Islam, terutama dalam ranah tasawuf dikenal dua istilah khauf dan raja’, yakni hamba yang beribadah karena dorongan rasa takut namun juga berharap pada Tuhan. Dalam pandangan Otto, sikap ketakjuban maupun ketakutan sama-sama berpotensi melahirkan kekerasan.

Argumen bahwa agama secara intrinsik berpotensi melahirkan kekerasan ditegaskan ulang oleh John Shelby Spong dalam bukunya The Sins of Scripture. Semua agama, kata Spong memiliki sumber tekstual yang bisa atau setidaknya rawan dijadikan dasar untuk menjustifikasi tindakan-tindakan diskriminatif bahkan radikal. Ia mengistilahkannya sebagai “the terrible text”, ayat-ayat yang berpotensi melahirkan sikap diskriminatif, tindakan misoginis bahkan tindakan radikal pada liyan.  

Pandangan bercorak apologetis selain rancu juga cenderung tidak menyelesaikan masalah. Rancu karena mereka menampik kenyataan bahwa agama sebagai kumpulan sistem dan ajaran bersifat bebas nilai (value free). Jika ada kekerasan atas nama agama, kaum apologetis akan menuduh penganut agama untuk dijadikan pesakitan.

Analogi tentang pisau ini mungkin bisa membantu. Logikanya, pisau memang bisa untuk memotong buah sekaligus membunuh. Itu terjadi bukan karena semata-mata orang di balik pisau itu, namun juga karena konstruksi pisau tersebut memungkinkan bagi orang untuk menggunakannya sebagai alat untuk menghilangkan nyawa orang lain. .

Dari Mana Kekerasan Agama Bermula? 

Sebagai pengalaman spiritual, agama -kata William James sang pionir studi psikologi agama- punya kecenderungan untuk anti pada kekerasan. Orang-orang suci yang dipilih Tuhan merasakan agungnya nikmat saripati agama, selalu menunjukkan sikap dan perilaku yang penuh welas asih.

Dalam tradisi Islam, orang-orang yang biasa disebut sufi ini bahkan tidak lagi peduli dengan perkara surga atau neraka. Ini lantaran penghambaan yang mereka pesembahkan pada Tuhan didasarkan pada konsep cinta, bukan lagi pengharapan apalagi ketakutan. Agama bagi mereka bukan seperangkat aturan rigid, eksklusif dan penuh ancaman. Agama, adalah jalan menuju Tuhan.

Kondisi itu mulai berubah manakala pengalaman spiritual dilembagakan ke dalam institusi dan doktrin yang kaku, penuh larangan bahkan ancaman. Pada titik inilah bibit-bibit intoleransi, diskriminasi bahkan kekerasan mulai muncul dalam tubuh agama.

Dogma paling dasar dari semua agama, yakni klaim kebenaran (truth claim) itu pun sebenarya sudah mengandung unsur kekerasan, meski masih dalam level kognitif. Kekerasan kognitif itu bisa menjelma menjadi kekerasan fisik ketika ada unsur lain yang ikut memanaskan suasana. Sebut saja faktor politik-ekonomi yang kerap jadi langganan di balik panasnya konflik agama.

Kekerasan kognitif yang mewujud ke dalam klaim kebenaran agama-agama merupakan bukti nyata bahwa potensi kekerasan itu intrinsik dalam agama. Konsep ancaman, hukuman dan dosa menyumbang andil yang tidak sedikit dalam hal ini.

Barangkalis konsep reward and punishment ini pada mulanya dimaksudkan untuk kepentingan pedagogis. Namun tidak dapat ditampik bahwa dalam perkembangannya -terutama konsep punishment- telah membentuk semacam psikologi ketakutan di kalangan penganut agama.

Pada lingkup yang lebih luas, psikologi ketakutan yang membayangi kehidupan penganut agama itu lantas melahirkan semacam krisis identitas. Hal ini dicirikan dengan perangai penganut agama cenderung menjadi lebih sensitif, mudah diprovokasi bahkan pada titik terntentu tidak segan menunjukkan agresifitasnya.

Belum lagi ketika isu agama dibawa-bawa ke dalam isu ketimpangan global. Kesenjangan ekonomi-politik global, yang ditandai dengan betapa dominan dan hegemoniknya sejumlah kecil negara atas negara-negara lain telah melahirkan kecemburuan dan pada titik selanjutnya inferitas, sebuah sikap kehilangan kepercayaan diri.

Belum lagi tudingan atas ketidakberhasilan proyek negara bangsa dalam mewujudkan kesejahteraan dunia. Kenyataan itu telah membuat sebagian penganut agama, terutama Islam, berpaling dari tata modernitas dan kembali menaruh harapan pada agama. Dalam kontes komunitas Islam global, ide besar postsekulerisme itu segera mengejawantah ke dalam proyek romantisisme besar bertajuk negara Islam.

Kembali ke Islam dinilai merupakan solusi terbaik lantaran sistem yang (meminjam istilahnya Yusuf al Qardhawi) diimpor dari Barat justru menimbulkan kekacauan di dunia Islam. Pola pikir ini menegaskan kembali tentang bagaimana penganut agama rawah dihinggapi sindrom ketakutan dan inferioritas.

Menyebut demokrasi, negara bangsa atau dalam lingkup yang lebih luas social sciences, sebagai semata produk Barat adalah hal yang merendahkan diri sendiri. Nyata benar bahwa social science (dan tentunya juga nature sciences) adalah warisan dunia, di mana muslim juga banyak andil atas kemunculan dan perkembangannya.

Meredam Potensi Kekerasan Agama 

Bahwa secara intrinsik agama mengandung unsur yang potensial melahirkan kekerasan tampaknya tidak dapat ditolak. Sekali lagi, apologetisme terlalu rancu dan tidak memberikan tawaran apa-apa. Namun meski intrinsik, potensi kekerasan itu bukannya mustahil dipisahkan dari agama, atau setidaknya diredam. Manusia sebagai penganut agama memiliki pilihan untuk membentuk ulang citra agama.

Pada persoalan klaim kebenaran, para penganut agama harus sadar bahwa klaim itu idealnya berlaku ke dalam, bukan ke luar. Di ranah ruang publik, klaim kebenaran itu akan berbenturan dengan mekanisme kebenaran publik yang sangat relatif. Ini tidak sesederhana mengatakan bahwa kebenaran agama itu relatif, namun bagaimana nilai kebenaran agama bisa berpartisipasi secara elegan sebagai bagian dari masyarakat moderat.

Pendekatan atas teks-teks keagamaan mutlak perlu dalam hal ini. Sudah menjadi galibnya bahwa setiap pembacaan -atas teks apa pun- pasti didahului oleh pra-anggapan (pre assumption) yang menyelubungi penafsiran kita. Seringkali bahkan, aktivitas penafsiran itu sudah ditunggangi kepentingan-kepentingan tertentu.

Hal itu nampak jelas manakala kelompok radikal -di agama manapun- gemar mengutip teks suci yang secara eksplisit menyeru pada tindak kekerasan. Teks itu dijadikan alat untuk melegitimasi aksi kekerasan agar nampak seperti sebuah tindakan yang suci. Kekerasan bahkan kemudian dikesankan sebagai satu bentuk kesalehan.

Di dalam Islam, ayat-ayat tentang jihad selalu dijadikan argumen teologis atas tindakan teror kelompok-kelompok radikal. Mereka, kelompok radikal ini seolah lupa bahwa ada teks lain yang menyeru pada perdamaian, atau mereka lupa bahwa selalu ada cara baca lain untuk sebuah teks yang sama.

Mempopulerkan hermeneutika sebagai salah satu metode penafsiran ayat suci yang belakangan gencar dilakukan oleh sejumlah intelektual muslim moderat adalah upaya yang patut diapresiasi. Model penafsiran hermeutis memugkinkan untuk sebuah ayat ditafsirkan sampai pada makna yang paling dalam (the deepest meaning), alih-alih hanya sampai pada makna luar sebagaimana model penafsiran harfiah.

Ayat tentang jihad misalnya idealnya dibaca tanpa melupakan konteks ruang dan waktu sebagai penanda teks tersebut. Jika tidak, besar kemungkinan ayat tersebut akan dibajak demi melegitimasi kekerasan yang sebanarnya jauh dari kepentingan agama.  

Di level sosial-politiks, perlu upaya seserius mungkin untuuk memperkuat lembaga negara bangsa. Pola pikir regresif dengan romantisisme masa lalu seperti ide membentuk khilafah islamiyyah agaknya tidak bisa dianggap sebagai solusi generik. Masyarakat dunia modern hari ini lebih membutuhkan satu sistem politik yang menjamin keterpenuhannya hak-hak dasar, ketimbang artikulasi agama ke dalam hukum negara. Postsekulerisme bukan berarti kembali ke agama secara harfiah-simbolistik ala abad pertengahan.

Proyek jangka panjang yang tidak kalah urgen adalah memperadabkan masyarakat (civilizing society). Proses itu tentu harus disokong dengan landasan edukasi yang mapan. Sistem pendidikan baik umum maupun agama sedianya diarahkan untuk melahirkan pribadi-pribadi yang memiliki kecerdasan sosial. Modal sosial itulah yang nantinya diarahkan untuk membentuk satu jejaring toleransi.

Menggagas toleransi sebagai wacana mungkin semudah membalikkan telapak tangan. Namun, menjadikannya sebagai habitus, sebagai kebiasaan sosial, nyata tidak mudah. Banyak intelektual muslim hadir dengan gagasan tentang toleransi. Sayangnya, hampir tak ada satu pun gagasan mereka yang benar-benar menjadi habitus, alih-alih sebatas wacana teoretis.

Upaya memisahkan agama dan kekerasan memang bukan ikhtiar sesaat dengan hasil instan. Diperlukan tidak hanya niat baik dan kesungguhan namun juga kebersediaan untuk meleburkan egosentrisme keberagamaan kita. kut ambil bagian dalam percaturan ruang publik dengan elegan, dan sikap untuk tidak diskriminatif pada liyan.

Agama seharusnya menjadi tenda besar, payung bagi kemanusiaan. Seseorang atau sekelompok orang yang basah kuyup atau kepanasan oleh terik, sudah sepatutnya diperkenankan berteduh, tanpa harus ditanya apa institusi keimanannya. Ketika agama sampai pada kondisi itu, kondisi yang nir-kekerasan, pada  saat itulah marwah agama berada di puncak paling tinggi. Puncak bernama kewibawaan.

#LombaEsaiKonflik