Sensibilitas masyarakat pada sastra semakin pudar. Sesungguhnya, masyarakat sendirilah yang bertanggungjawab pada sustainabilitas dan tumbuh-tegaknya sastra, karena masyarakat merupakan objek dan subjek sastra. Sastra tentunya tidak bisa dipisahkan dari kehidupan manusia. Akan tetapi, kurangnya keterampilan dan kesukaan dalam dunia sastra adalah tantangan.

Tak seorang pun bisa mendefinisikan dengan jelas mengenai arti dan maksud dari kata sastra. Sebagaimana yang kita ketahui, kata sastra menyangkut tentang suatu karya yang mengunggulkan keindahan bahasa di dalamnya. Kata sastra dalam bahasa Indonesia berasal dari bahasa Sanskerta yang berarti mengarahkan, mengajar, memberi petunjuk atau instruksi. Di sini jelas bahwa sastra adalah sebuah sarana yang dapat mengarahkan orang pada hidup baik dan bahkan mampu mempengaruhi orang lain pada tujuan yang sama.

Di tengah peliknya persoalan bangsa yang kita hadapi sekarang, kita perlu menemukan sebuah solusi yang dapat meretas persoalan yang ada tanpa harus bersikap radikal. Kita mencari jalan yang sederhana, tetapi pasti. Tidak menjadikan orang lain sebagai objek dalam mencari kemenangan, kekuasaan dan kepentingan pribadi maupun kelompok.

Oleh karena itu, penulis mementaskan seorang filsuf yang kehidupannya sangat dekat dengan dunia sastra, bahkan sastra dijadikan sebagai solusi dalam kesuksesan dan kebebasan hidupnya. Mengapa kita tidak? Pertanyaan ini memotivasi kita untuk mengambil bagian dalam semangat dan cara Sartre yang menempatkan sastra sebagai sesuatu yang penting dalam hidupnya.

Akhir-akhir ini bangsa kita sungguh-sungguh ditantang dengan peliknya kebobrokan politik. Kehidupan abu-abu kini merengsek dan mendesak masuk dalam berbagai elemen masyarakat. Misalnya meningkatnya kasus-kasus intoleransi bahkan mulai dari pendidikan dasar, isu radikalisme agama yang membawa payung dan bendera keagamaan, ras dan budaya. Intoleran dan sektarian sungguh mencemaskan.

Cara berpikir dan bertindak seperti ini mengarah pada kerancuan otentik bangsa. Kita melupakan nilai-nilai luhur dari bangsa sehingga kita sering mengutamakan “keakuan.” Oleh karena itu, tak heran jika anomali kehidupan berbangsa ada.

Bagi penulis kita perlu belajar dari pengalaman J.P. Sartre. Ia memandang sastra sebagai salah satu solusi yang mampu meredam berbagai persoalan dalam hidup. Dalam bukunya “what is literature?”, ia mengatakan bahwa  adalah “sastra perpanjangan tubuhnya untuk menyentuh dunia; sastra adalah eksistensi tindakannya dalam memaknai dunia dan memberinya nama” (A. Setyo Wibowo, Filsafat Eksistensialisme, 2011, 99). Sastra mendapat tempat penting dalam hidup Sartre, karena ada nilai kehidupan yang terkandung di dalamnya.

Di lain sisi, ia melihat sastra sebagai karya seni, karena adanya energi imajinatif dan luapan perasaan pengarang yang disampaikan secara lisan dan tulisan ke tengah-tengah masyarakat. Sebagai karya seni, karya sastra memiliki peranan penting dalam kehidupan manusia. Efek penyumbangsihan pengarang pada kehidupan, nilai-nilai estetika dan etika serta kehidupan yang lengkap ini tidak begitu segera dapat dirasakan.

 Ia membutuhkan proses dan reproses serta perjalanan waktu (Suyitno, Sastra Tata Nilai dan Eksegesis, 1986, 9). Selain itu, sastra berfungsi sebagai pendukung nilai-nilai kultural yang bersifat efektif kumulatif. Artinya, sastra mempunyai kekuatan untuk mengungkapkan segala sesuatu yang terkait dengan kehidupan manusia serta dinamikanya.

Di samping menunjukkan sifatnya yang rekreatif, karya sastra juga merupakan penerang yang mampu membawa manusia mencari nilai-nilai yang dapat menolongnya untuk menemui hakikat kemanusiaan yang berkepribadian. Oleh karena itu, tidak salah apabila seseorang setelah membaca karya sastra mereka mampu menjadikan dirinya berintropeksi diri, berbenah diri karena fungsi sastra memberikan manfaat bagi pembaca.

Karya sastra merepresentasikan nilai-nilai budaya dan sosial kelompok orang tertentu. Sastra tidak hanya berfungsi sebagai agen pendidikan, membentuk keinsanan seseorang, tetapi juga memupuk kehalusan adab dan budi pekerti kepada individu serta masyarakat agar menjadi masyarakat yang beradab (Abu Ahmadi dan Widodo Supriyono, Psikologi Belajar, Rineka Cipta, Jakarta 2013, 20). Sastra dapat membina manusia untuk mengenal kehidupan yang bersifat multidimensi.

Sastra dapat membina kesanggupan rohani manusia untuk dapat menegendalikan segala segi kehidupan dan tata nilainya. Sastra secara endogenus mampu menanamkan kesadaran yang tumbuh tanpa paksaan tentang pentingnya pemahaman, penghayatan dan pengamalan tuntutan nilai-nilai idiola bangsa. Sastra tidak hanya sekadar memberikan kesenangan tetapi juga memberi pengetahuan serta pencernaan yang menghayat tentang hakikat kehidupan yang bernilai.

Oleh karena itu, kita perlu melihat dan menempatkan sastra sebagai dunia atau lapangan di mana kita dapat mengekspresikan kehidupan. Menjadikan sastra salah satu jalan  yang menghadirkan kedamaian, ketenangan dan kebebasan bagi diri sendiri dan bangsa. Jika kita telah menjadi pencinta sastra, maka kita telah menyuarakan kebaikan dan masa depan yang cerah.

Jadikanlah sastra sebagai agen pembawa kehidupan bagi diri sendiri dan orang lain. Belajarlah untuk menemukan nilai terdalam dari arena sastra dan berilah kepada orang lain. Salam literasi.