Kini Jokowi sedang menjalankan periode kedua masa jabatannya. Sebagai warga negara di negara demokrasi, setiap kita berhak memberi penilaian, terlepas apakah penilaian tersebut bersifat subjektif. Satu hal yang pasti, kebebasan berpendapat dijamin konstitusi kita.
Pada masa jabatan kali ini, Jokowi dapat leluasa bertindak. Pasalnya, rivalnya yang pernah mendukungnya menjadi gubenur Jakarta kini berada di dalam 'ketiak' Jokowi. Prabowo kini masuk dalam kabinet Jokowi.
Sementara itu, partai-partai lain juga tidak berani menjadi oposisi. Hanya sesekali teriak, itu pun mirip maling teriak maling. Kalaupun kritik, ya sekadar ingin populer; sekadar ingin dipuji para tifosi di dapil masing-masing.
Situasi itu harus kita syukuri. Mengapa? Jawabnya sederhana, peran oposisi dapat kita ambil meski suaranya tak terdengar di istana, meski sebagian sahabat bahkan keluarga kita menganggap itu sia-sia.
Namun tidak ada yang sia-sia apabila diniatkan untuk kebaikan. Kritik yang kita layangkan kepada pemerintah jangan dipahami sebagai kebencian. Justru kritik merupakan bentuk kepedulian kepada pemerintah meski kebanyakan elite tidak tahan kritik.
Tentu saja tidak semua elite memiliki 'wadah' yang luas, 'wadah' yang cukup untuk menampung segala perbedaan termasuk beda pemikiran. Karenanya, tak perlu heran apabila perbedaan menjadikan kita terpecah belah padahal perbedaan harusnya mendewasakan kita dalam bernegara.
Jika elite tidak siap dengan perbedaan, bagaimana mungkin mereka mengimbau dan berharap awam agar menerima perbedaan? Harusnya mereka menjadi teladan dalam kehidupan bernegara.
Sejauh ini, persoalan itu belum mampu ditanggulangi Jokowi. Sila pertama Pancasila yang harusnya menjadikan bangsa ini saling menghargai perbedaan agama maupun isme justru menjadi salah satu sumber konflik.
Bahkan konflik bukan hanya terjadi antar-agama namun seagama pun kerap kita saksikan lahir konflik. Adanya penolakan seorang dai/ustaz di sebuah daerah, belum nyamannya para penganut Syiah, dan masih banyak lagi konflik yang didasari keyakinan.
Sebenarnya, Jokowi memiliki modal besar dalam melaksanakan sila pertama dengan benar. Modal itu ialah Islam. Sebagai penganut agama Islam, Jokowi harusnya dapat menanamkan nilai-nilai toleransi yang termaktub dalam literatur Islam.
Jokowi harus menjadi pelopor warga negara yang memiliki 'wadah' besar. Semua keyakinan dapat diterima asalkan tidak merugikan negara. Penerimaan bukan berarti mengikuti, namun tidak mengusik keyakinan yang berbeda.
Agama-agama yang hari ini diakui negara dahulunya juga bertentangan dengan keyakinan yang sudah ada. Namun bisa hidup dan berkembang karena bangsa ini memiliki sikap toleransi.
Harusnya persoalan beda agama dan keyakinan sudah selesai. Tidak ada lagi pengusiran dan persekusi terhadap kelompok minoritas yang beda keyakinan maupun agama.
Jokowi harusnya dapat menjamin itu. Harusnya di periode ini, Jokowi menggunakan pendekatan medis, bukan lagi etis. Amputasi saja kelompok yang dapat merusak kerukunan Indonesia.
Namun jangan pula 'amputasi' dilakukan atas dasar like dan dislike. Jangan lagi ada Socrates yang terzalimi karena pemimpin yang hanya mengandalkan voting, hanya mengandalkan suara terbanyak dari para penasihat yang dungu maupun parlemen yang bego.
Apabila sila pertama dapat dipraktikan dalam kehidupan negara dengan benar, saya percaya Indonesia akan menjadi adidaya baru dalam percaturan internasional.
Janji Jokowi pada kampanye (2019), pada periode ini, ia akan fokus pada pembangunan manusia. Pembangunan manusia berarti fokus pada pendidikan. Dan hasil pendidikan itu harus melahirkan para ilmuwan.
Setidaknya, mereka yang terpapar pendidikan tidak lagi emosional buta terhadap perbedaan. Tidak perlu pula ketakutan pada buku-buku bacaan. Karena manusia pada dasarnya sudah paham mana baik dan tidak baik.
Sejauh ini, janji kampanye tersebut masih sebatas retorika. Benar bahwa retorika merupakan 'senjata' para politisi, namun rakyat tak butuh itu. Para investor juga tak butuh itu; mereka butuh iklim kondusif.
Ketika iklim tersebut masih jauh panggang dari api, maka negara akan selalu dalam ketidakjelasan visi. Karenanya, Jokowi mesti banyak merenung dan berpikir, apakah dirinya masih pantas memimpin negeri ini?
Jika Jokowi bingung dengan langkah selanjutnya, langkah taktis dan strategis, ada baiknya ia mencontoh para pendahulu. Misalnya mengapa Islam, Yunani, dan sekarang Barat unggul dalam peradaban.
Mereka unggul karena peduli pada ilmu dan mengistimewakan ilmuwan. Adanya penolakan para penceramah, perusakan rumah ibadah, merupakan contoh dangkalnya ilmu kita.
Karenanya, jika Jokowi peduli negara, maka ia harus peduli ilmu dan mengistimewakan ilmuwan. Para ilmuwan yang difasilitasi segala kebutuhan hidupnya dan tugas mereka hanya memikirkan negara. Mereka nantinya yang memberikan solusi-solusi, dan Jokowi tinggal mengeksekusinya.
Namun jika perusakan rumah ibadah masih terjadi, tokoh agama masih dipersekusi, selama itu pula Jokowi masih gagal. Ia gagal membangun manusia Indonesia, dan itu kegagalan yang harus diakui. Apalagi pelarangan buku bacaan hingga sweeping para pembawa buku.
Artinya, bangsa ini benar-benar tidak peduli pada ilmu, padahal ilmu berkontribusi atas peradaban suatu bangsa. Jadi, evaluasi kinerja Jokowi tak perlu pakai angka manipulasi ekonomi. Cukup lihat kepeduliannya pada ilmu dan sikapnya terhadap ilmuwan.
Sebagai evaluasi bersama, menurut Anda, sudahkah Jokowi peduli pada ilmu?